Sabtu, 20 November 2010

Mimpi Buruk Kehidupan Materialistik

Kehidupan 'kekinian' yang modern abad ini dan ke depan, mulai saya rasakan makin materialistik saja. Televisi yang saya pandangi sekali-sekali terasa kentara, baik dalam acara, seperti sinetron-sinetron andalan dan iklan-iklan yang ditampilkannya senantiasa menggadang-gadang materi melulu di garis depan. Sebuah iklan misalnya, menggambarkan sebuah keluarga yang menjadi 'bahagia' karena memakai produk-produk elektronik yang mempermudah kehidupan mereka. Masih banyak lagi aneka iklan berbagai produk, tidak hanya produk elektronik tentunya, yang mengaitkan kebahagiaan hidup dengan produk, atau benda , atau materi.
Saya jadi ingat sebuah 'pelatihan dunia kerja' yang saya ikuti di kampus beberapa minggu lalu. Luar biasa sekali nuansa 'materialistik'-nya. Bapak pembicara secara tersirat bahkan kadang tersurat selalu bicara kebahagiaan dikaitkan dengan pendapatan. Alhasil hidup pun akhirnya diukur dari hitung-hitungan matematis-kapitalistik semata. Setiap tahapan hidup didasarkan pada biaya dan tetekbengeknya melulu. Kehidupan yang dideskripsikan si bapak pembicara sepertinya mengusung slogan 'sukses = bergelimpangan harta'!
Kecemasan akan kehidupan 'gila materi' ini mulai menghantui, ketika orang-orang, yang kata Muhammad Asad, mulai menjadikan 'masjid' nya pabrik-pabrik raksasa, bioskop-bioskop, laboratorium-laboratorium kimia, rumah-rumah dansa, karya-karya hydro-elektrik; kyai-kyainya adalah para bankir, insinyur-insinyur, bintang-bintang film, industriawan-industriawan, atau ahli-ahli penerbangan. Masih kata Asad, kebudayaan yang dihasilkan dari kehidupan seperti ini akhirnya menciptakan suatu tipe manusia yang moralitasnya terbatas pada masalah kepentingan praktis melulu, dan kriterianya yang tertinggi tentang baik dan buruk adalah sukses material.
Begitulah materialisme, apapun bentuknya, baik yang mewujud dalam kapitalisme atau komunisme, memang sungguh mengerikan. Materi memang kita butuhkan dalam menjalani kehidupan, tetapi posisinya tentu bukan di garis depan, yang akhirnya justru malah memperbudak dan mendikte hidup kita.
Kita memang sedang berdiri di simpang jalan yang banyak cabang, persis seperti yang digambarkan Asad. Silakan direnungkan..

Jatinangor, 21 November 2010

Selasa, 01 Juni 2010

Ketidaknyambungan sebagai Sebuah Humor


Obrolan yang awalnya mengenai pesawat kenegaraan Polandia yang jatuh dan menewaskan presiden, ibu Negara dan para petinggi lain dari Negara tersebut membuat pembicaraan sedikit demi sedikit mengarah pada status Polandia sebagai Negara yang lumayan miskin karena kekurangan dana untuk membeli pesawat baru. Tapi entah darimana asalnya, topik yang sangat serius tersebut tiba-tiba beralih menjadi pembicaraan mengenai baju balap Rossi yang bertuliskan ‘semakin di depan’, yang membuat seorang teman merasa bangga (entah kenapa). Tapi topik tersebut juga tidak berlangsung lama, ketika seorang teman membahas piala dunia 2010, dan memprediksi Argentina akan kocar-kacir pada perhelatan tersebut meski punya segudang pemain yang ber-skill di atas rata-rata kelas. Seorang teman yang duduk di ujung bangku bambu membenarkan, “iya ya, padahal mereka punya Messi, Tevez, dan Riquelme.” Saya ikut membenarkan, “iya, ada Ariel Ortega, Mario Kempes dan Daniel Pasarella. Yang lain ikut nimbrung, “Maradonna, Evita Peron.” Yang tidak kalah kurang warasnya nyeletuk “ Che Guevara..” Teman yang lain mencoba menyebrang benua, “ Lenin, Stalin, Mussolini..” Yang cinta tanah air dan semakin ngawur bilang “ Asep Sunarya, Andre Hehanusa, Utha Likumahua, Sule..” Nah, berakhirlah perbincangan paling ngawur itu di nama Sule.

Saya sangat menikmati lelucon-lelucon seperti ini, karena saya menyukai ketidaknyambungan sebagai sebuah humor. Mungkin banyak orang menilai aneh, tapi bagi orang-orang yang ingin melucu untuk dirinya sendiri, sifat asimetris humor “yang lucu bagi penutur belum tentu lucu bagi petutur” tak perlu dipatuhi.

Saya lupa lagi nulis ini tanggal berapa.

Perjalanan Brebes-Cilacap

Sinar matahari sore pukul setengah lima yang kian lembut menerpa kaca mobil. Cahayanya tak lagi menyilaukan mata.
Angin sore meniup rambut dari sela-sela kaca mobil.
Alunan lagu godan daginn milik Sigur ros mengalir lembut masuk telinga.
Jalanan yang sedikit berkelok dengan pemandangan sungai yang mengalir tenang dan dibatasi alang-alang di kiri-kanan terasa teduh ditutupi bayangan pohon-pohon besar yang diterpa cahaya matahari.
Di depan dan jalan bagian kanan, orang tua dan anak-anak mengendarai ontel, sebagian mengangkut bawang.

Betapa saya cinta perjalanan Brebes-Cilacap..

SOBO BOYS’ LORD OF THE LINE #1


Akhirnya, sebuah kompetisi roda-rodaan alias skateboard pertama yang murni diadakan oleh komunitas skateboard paling keren di Jatinangor, Sobo Boys, berhasil dilaksanakan dengan sukses pada tanggal 30 Mei 2010. Kompetisi skateboard yang diberi judul Sobo Boys Lord of the Line #1 ini diadakan di jalan dekat tikungan ATM BNI gerbang UNPAD, tempat komunitas ini memang biasa main dan nongkrong berjamaah.Sesuai nama acaranya, kompetisi ini memang hanya diperuntukkan bagi para member Sobo Boys sendiri, atau istilah kerennya, ‘private’. Kontes yang diperlombakan sendiri adalah lord of the line, game of skate dan best trick. Dengan membayar uang pendaftaran sebesar Rp. 5000,00 (lima ribu perak) per kontes, para rider roda-rodaan ini sudah bisa meluncur dengan bebas tapi bertanggung jawab.
Pengundian peserta yang akan bertanding dilaksanakan pada malam sebelum hari HA. Dengan penuh degdegser, nama-nama para rider yang akan bertarung di babak penyisihan pun diumumkan. Beberapa nama rider unggulan ternyata bertemu dalam satu grup, seperti Agung vs Al, Tommy vs Yomas, dan Yayat vs Ivan.
Sampailah kita pada hari berlangsungnya hajat. Karena satu dan lain hal, acara harus dimulai pada pukul kurang lebih 10 pagi WIB, dua jam lebih lambat dari waktu yang dijadwalkan. Matahari yang mulai naik pun membuat acara ternyata semakin panas.
Partai penyisihan yang dilaksanakan tengah hari tetap berlangsung semangat, meskipun sesekali diselingi dengan beberapa adegan iklan kendaraan roda dua dan empat, serta aksi tanya jawab alamat antara pengendara kendaraan dan rider peserta (harap maklum karena kompetisinya dilaksanakan di jalanan). Partai penyisihan ini juga diwarnai oleh bails yang sebenarnya tidak bahaya-bahaya amat, seperti tidurnya Dori dengan nyaman di atas up box, bersimpuhnya Kubil di pangkuan aspal panas dengan khusyuk, serta aksi terjun bebas Eka dari up box menuju aspal kasar yang telah disediakan panitia.
Setelah berakhirnya partai penyisihan pada kontes lord of the line, nama-nama unggulan seperti Agung, Indra Dabo, Yayat, dan rider muda berbakat, Adit, berhasil masuk putaran final. Dan sesuai yang telah diprediksikan, pertandingan final yang dilaksanakan pada pukul 5 sore WIB ini pun berlangsung seru, karena para rider begitu menggebu-gebu dan tampak sangat bersemangat. Adit yang mendapatkan kesempatan pertama untuk melakukan best line-nya tampil begitu percaya diri meskipun bertarung dengan para seniornya dengan me-landing-kan trik-trik andalannya seperti 50-50, 5-0, smith grind, dan frontboard di up box dengan konsisten, mulus dan kecepatan yang tetap terjaga. Yayat yang agak terseok-seok di menit-menit awal akhirnya berhasil bangkit dengan trik-trik nollie dan switch khas Padang style-nya. Indra a.k.a Dabo, yang difavoritkan menjadi juara karena permainannya yang aduhai setiap bermain ternyata tampil kurang percaya diri, sehingga beberapa trik andalannya gagal landing di up box. Namun trik-trik gahar yang dipadu dengan kecepatan tinggi khasnya seperti backside 50-50, backside 5-0, backside smith grind dan smith grind to lipslide-nya di box dan handrail tetap mampu menghibur para pemirsa baik di rumah maupun di studio. Dan inilah rider yang juga teman satu kampung Dabo dan sangat diunggulkan dalam kompetisi ini, Agung. Dengan penuh percaya diri, Agung dengan kecepatan tinggi secara pasti me-landing-kan trik-trik mautnya, seperi K-grind, over K-grind, frontside bluntslide, tailslide, dan frontside K-grind. Gantap man! Secara keseluruhan, penampilan para rider ini di putaran final sangat memukau meski hujan rintik-rintik membasahi dan membuat licin arena pertarungan.
Ketika juri mengumumkan pemenang, Agung keluar sebagai juara pertama dari kompetisi ini. Agung pun menorehkan namanya dalam sejarah per’papan’an Sobo Boys sebagai juara pada kompetisi skateboard Sobo Boys’ Lord of the Line yang pertama. Juara kedua diikuti kompatriotnya, Indra Dabo, diikuti Yayat Pedeng di tempat ketiga, dan Adit di tempat keempat (I have to say that this boy is totally talented).

para finalis Lord of the Line
dari kiri ke kanan: Indra Dabo, Adit, Agung, Yayat.

Sedangkan pada kontes game of skate yang terpaksa harus dilanjutkan di kampus tetangga karena hujan sempat menyapa, juara pertama diraih oleh Tommy setelah mengalahkan rider Baker dan Nike SB (hehe..), Andro, di final.
Kontes best trick yang diadakan di up box selepas maghrib juga berlangsung panas, karena Randy yang bertindak sebagai juri malah membelot sebagai peserta. Tapi Randy memang total gokil siah dengan trik kickflip noselide dan trik muter-muternya yang sulit sekali saya sebutkan. Yomas ikut unjuk ‘kawat gigi’-nya dengan mengeluarkan kickflip backside 5-0 yang lazis mantap kali. Dan Agung, kembali menggila dengan backside tailslide shove it out-nya yang dihasilkan dari kecepatan tinggi dan mewujud dalam trik nan mulus, sehingga juri pun akhirnya memilih Agung sebagai juara best trick yang menunjukkan bahwa kompetisi kali ini memang milik Agung. Congrats dude!
Juri telah mengumumkan para juara dan membagikan hadiahnya. Maka dengan diiringi menggelapnya langit Jatinangor dan suara sendu si tukang putu, berakhir pulalah kompetisi skateboard pertama yang murni diadakan oleh Sobo Boys’ ini. Segenap crew dan begundal Sobo Boys mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada Tuhan Yang Maha Kuasa atas izinnya menurunkan hujan yang cuma sebentar, sehingga acara dapat dilanjutkan kembali. Selain itu Sobo Boys juga mengucapkan banyak terimakasih pada teman-teman yang telah turut membantu kelancaran acara ini, khususnya Aa pemilik warung Sobo beserta keluarganya yang secara tidak langsung telah kami bantu dalam melariskan dagangannya.
Sampai jumpa di kompetisi Sobo Boys’ Lord of the Line berikutnya, YEAH!

Jatinangor 31 Mei 2010

Sabtu, 08 Mei 2010

Makna Kelam



Aku selalu bertanya pada Ibu, apa makna kelam pada malam yang selalu tampak penuh misteri dalam diam. Tapi Ibu tak pernah menjawab, justru Ia hanya tersenyum, lantas berbalik badan dan menutup pintu kamar dan berlalu.

Aku terdiam, berusaha merenungkan makna malam dan kelamnya dalam-dalam. Aku selalu bertanya setiap malam. Setiap lampu kamar mulai Ibu buat padam. Aku selalu bertanya padanya, tiap kali selimut mulai Ia tutupkan ke seluruh badan. Namun, Ia masih tetap diam, lantas tersenyum, kemudian berbalik badan, dan menutup pintu kamarku dalam diam. Itulah yang selalu Ibu lakukan, dan begitulah setiap malam aku saksikan, dan akhirnya kembali aku bertanya, juga dalam diam.

Tapi tidak malam ini, karena Ibu kini bernyanyi. Mendendangkan lagu tentang bulan dan bintang. Tentang bulan, tentang bintang, yang tampak terang benderang di kala malam, di kala orang-orang telah membaringkan badan dengan mata terpejam. Namun aku masih bertanya-tanya dalam diam di kediaman yang dalam.

Setelah berdendang tentang bulan dan bintang itu, Ibu menyelimutiku. Aku heran, karena lampu kamar belum lagi Ia padamkan, saat berlalu dan berdiri di depan pintu. Lama Ia diam di sana, mengembangkan senyum sampai sesaat kemudian lampu kamar Ia padamkan, hingga kamar kembali kelam, kelam dengan perlahan.

Tapi di sana, di ujung kamar, aku melihat segenggam cahaya. Indah sekali, luar biasa indah. Ternyata itu sebuah lampu tidur, kawan. Lampu tidur mungil yang dulu Ibu pernah beli. Bukan main, kawan, tak kusangka benda itu akan bersinar sedemikian indahnya, justru di saat lampu kamar telah padam, di saat malam telah datang, dan di saat langit telah berubah kelam..

Tuhan ternyata mengajarkanku tentang makna kelam lewat tangan-tangan mungil itu, tangan Ibu..

Jatinangor, 7 Mei 2010

Rabu, 05 Mei 2010

nice quotation

Beberapa hari yang lalu saat pulang ke rumah, tak sengaja saya temukan skripsi Papa saya dulu di lantai atas rumah, di kamar yang memang berantakan penuh buku-buku. Dan di awal-awal halaman skripsi itu saya temukan sebuah motto dari penulisnya:

"KEMARIN ADALAH PENDERITAAN, HARI INI ADALAH PERJUANGAN, ESOK ADALAH KEMENANGAN"

Saya tersentak,"Wow,what a quotation!" You know, Papa..You are my Che Guevara, and your voice reminds me to keep struggling..

Senin, 22 Februari 2010

Senja di Sebuah Jembatan Kecil

Di atas trotoar sebuah jembatan kecil, seorang anak muda berjaket jeans lusuh tampak duduk termenung dengan sebuah tas yang cukup besar di punggungnya. Sesekali ia terbangun dari lamunannya dan mengedarkan pandangan ke segala arah seperti hendak mencari seseorang. Dan ia tampak mulai gelisah, sebelum akhirnya melihatku di kejauhan berlari dengan terengah-engah.

“Maaf membuatmu lama menunggu, Gil, Ayah baru mengizinkanku menutup warung pukul lima” ujarku dengan nafas tersengal.

“Tidak apa-apa, kawan” balasnya dengan senyum yang sangat ramah.

“Bis terakhir akan lewat pukul berapa?” Tanyaku lagi..
“Mungkin pukul setengah enam, sebentar lagi” jawabnya lagi dengan senyuman yang ramah.

“Kau benar-benar sudah yakin akan tetap berangkat sekarang? Tidak mau tunggu sampai ujian akhir dan ijazah SMA mu kau peroleh?” aku bertanya kembali dengan nada menyesal.

Ia menjawab, tapi kali ini cukup lama. “Tidak, aku sudah memikirkannya matang-matang. Bapak sudah benar-benar tak mampu membiayai sekolahku lagi. Kelima adikku sudah mulai besar-besar, dan mereka juga butuh pendidikan seperti aku dulu. Akan sangat sulit bagi seorang buruh tani untuk menyekolahkan semua anaknya sampai tamat SMA. Biarlah aku yang mengalah, karena memang harus aku yang mengalah.” ujarnya sambil menatap langit di arah matahari mulai memerah.

Anak muda itu masih saja selalu tersenyum, meskipun kerasnya hidup kerap menghancurkan kebahagiaan dan semangat masa mudanya. Berkali-kali ia sebenarnya sudah harus putus sekolah, bahkan dari SD, tapi berkali-kali pula ia masih mampu bertahan.

“Aku ingin selamanya menjadi anak kecil, Gil. Selamanya menjadi anak SD, yang sering berenang di sungai atau memanjat pohon asam di belakang sekolah. Tidak pernah memikirkan kerasnya hidup, apalagi mencoba berdamai dengannya.” ujarku dengan nada datar.

Agil hanya tersenyum. “Seandainya saja bisa..” jawabnya.
“Tapi kenyataannya inilah kita sekarang, dua orang anak muda yang sudah beranjak dewasa, kau dan aku. Tidak bisa tidak. Hidup sudah menunggu di depan sana, menunggu untuk dilawan atau diajak berdamai. Dan kali ini aku harus mengajaknya berdamai” ia meneruskan kata-katanya sambil melihat ke sungai kecil di bawah jembatan.

Agil adalah sahabatku sejak kecil. Sahabat yang selalu bersamaku mewarnai indahnya masa-masa kecil di kota kecil ini. Kami selalu satu sekolah, dari SD sampai SMA, hingga akhirnya ia harus pergi dan memilih untuk tidak menyelesaikan SMA-nya karena beban keluarga yang tidak tertanggungkan lagi. Sebulan lalu, abangnya yang sulung, yang bekerja sebagai buruh perkebunan kelapa sawit di sebuah negri yang sangat jauh dari kotaku ini mengiriminya surat. Dalam surat itu, abangnya mengajak Agil ikut bekerja di tempat ia bekerja, untuk meringankan beban bapak mereka yang sudah mulai benar-benar kesulitan menanggung beban tujuh orang dalam keluarga, terlebih karena musim kemarau berkepanjangan kerap mengacaukan masa panen sawah-sawah yang mulai menyempit di kota kecil ini. Dan waktu satu bulan sudah cukup bagi Agil untuk memikirkan matang-matang apa yang harus ia lakukan.

“Ini untukmu, Gil.” Ujarku sambil menyerahkan dua buah buku yang kubawa. Dan ia dengan senyum sumringah menerima buku itu. Buku yang satu adalah buku yang berisi kumpulan tulisan dan pemikiran Marx dan Engels, dan buku yang kedua adalah kumpulan cerpen Sobron Aidit.

Buku-buku itu kuberikan padanya karena kehidupannya nanti di negri yang jauh itu pasti akan sangat keras dan rawan mengalami penindasan. Pekerjaan sebagai buruh kasar di manapun jelas bukan pekerjaan yang menyenangkan, di belahan bumi manapun.

“Buku-buku itu kuberikan untukmu, agar kelak jika sudah berada di sana, kau tahu bila kau sedang diinjak, kau ditindas, dan hak-hakmu dirampas, sehingga kelak kau berani melawan dan berontak atas nama keadilan. Banyak orang tidak melawan bukan karena tidak berani, tapi justru karena tidak tahu bahwa mereka sedang diinjak-injak.”
Aku menghela nafas sejenak dan meneruskan kata-kataku. “Aku tak mengharapkanmu jadi pahlawan bagi orang lain, yang aku ingin kau cukup jadi pahlawan bagi dirimu sendiri.”

Agil mengangguk.

“Ingat, ‘baca dan lawan!’, jangan lari seperti Forrest Gump” kupukul bahunya pelan.

Agil mengangguk sekali lagi tanda paham.

“Oh iya ini satu lagi” aku mengeluarkan sebuah buku tentang akhlak Rasulullah dari tas kecilku. “Ini untukmu juga”
“Belajar Marxisme juga harus disertai dengan moral yang kuat, dan banyak orang justru melupakan hal itu” tambahku. “Bacalah buku-buku itu olehmu”
Agil kembali mengangguk paham sambil memasukkan buku-buku itu ke dalam tas besarnya.
Sebuah plastik berisi uang kertas dan koin berbagai pecahan yang berjumlah seratus ribu
aku masukkan paksa ke dalam tasnya. “Ini hasil kerjaku menjual cengkeh sebulan ini, jangan kau tolak, dan pergunakanlah sebaik-baiknya.” Ujarku.

Agil terdiam menahan haru, sampai sesaat kemudian suara bis kencang menderu dari kejauhan terdengar mendekat.
“Terima kasih banyak, sahabat..” ujar Agil padaku.
Aku balas menjawab, “ Berjanjilah padaku bahwa kau akan baik-baik saja, kembali ke tempat ini dan menemuiku di jembatan kecil ini. Berjanjilah padaku bahwa beratnya hidup juga tidak akan membunuh mimpimu.”

“Untuk jadi Steinbeck?” Tanyanya.

“Ya, untuk jadi Steinbeck berikutnya” jawabku.

“Memang ada saat kita harus harus berdamai dengan hidup, tapi tetap berjuang melawannya untuk menyalakan mimpi-mimpi yang kian meredup” jawab Agil sambil tersenyum.

Aku memeluk anak muda itu erat sekali. Tak terasa waktu begitu cepat mengubah kami yang rasanya baru kemarin masih bocah kini menjadi dua anak muda yang beranjak dewasa. Tak terasa pula aku mulai menitikkan air mata.

Dan bis kumal yang sudah terdengar derunya dari kejauhan tadi mulai menampakkan batang hidungnya di tikungan jalan, lima ratus meter dari jembatan, hingga akhirnya berhenti dan membawa sahabat masa kecilku itu.

Agil tersenyum dari jendela sambil melambaikan tangan tanda perpisahan. Aku balas tersenyum dan lambaikan tangan padanya sambil berusaha merekam ingatan akan perpisahan ini untuk menagih janjinya bertemu kembali di jembatan ini, meskipun kelak kami tidak muda lagi. Kami berdua telah berjanji untuk tetap bertahan hidup, sampai tiba waktu yang tak ditentukan untuk bertemu kembali di tempat ini.

Suara adzan maghrib sayup-sayup berkumandang di seluruh penjuru kota kecil ini. Tapi disini aku masih berdiri, terpaku, menatap bis yang kian lama kian menjauh itu. Bis itu bergerak cepat ke arah matahari yang kian berwarna merah dan mulai terbenam, seperti hendak menabraknya, mengantar Agil untuk menabrak hidup dan kemudian mencoba berdamai dengannya.


Jatinangor, 17 Februari 2010

untuk kakak saya, Adhi Permana Yudha, dan sahabat-sahabat masa kecil di berbagai kota..

Kamis, 04 Februari 2010

Sesuatu yang Ditulis tentang ‘Rumah’

Rumah kami sederhana, kawan. Ukurannya tidak besar, karena hanya ada satu ruang tamu, dua kamar tidur, satu kamar mandi dan dapur. Atapnya terbuat dari seng. Jika siang, panasnya luar biasa menyengat. Jika malam, dingin kuat membekap. Lantai rumah kami tidak terbuat dari keramik. Bila musim hujan tiba, kadang air merendam sampai ke lutut orang dewasa karena sungai yang ada di dekat tikungan sana meluap hebat.
Di rumah kami tak banyak barang mewah. Yang mewah itu mungkin hanya sebuah televisi berukuran 14 inchi yang warnanya sudah mulai kabur, karena dibeli bekas oleh Ayah. Sisanya hanya kursi-kursi dan meja, serta satu buah kompor yang ada di dapur.
Rumah kami letaknya di samping sebuah sekolah dasar yang menghadap ke sebuah jalan kecil. Bila pagi datang, terdengar suara keras anak-anak sekolah menghafalkan perkalian. Bila siang hingga sore menjelang, lalu lalang gerobak kuda yang mengangkut jagung hasil perkebunan warga kampung di balik gunung. Beberapa meter di belakang rumah kami ada kandang kuda milik tetangga. Terkadang aku main kesana, melihat tingkah polah kuda-kuda dan anaknya, sebuah pemandangan yang tak pernah kulihat di tempat tinggal kami sebelumnya. Di samping rumah kami ada pohon kapuk. Jika angin bertiup agak kencang isi buahnya akan menghambur seperti salju kumal yang turun bergumpal dari langit. Ibu sering memungut kapuk-kapuk itu untuk dimasukkan ke dalam bantal dan menjahitnya di belakang rumah.
Rumah kami sederhana kawan, tapi aku tenang jika ada di dalamnya. Jika jenuh di sekolah karena kesal dengan teman-teman baru atau hampir ditampar guru karena lupa memasukkan baju, aku teringat rumah. Dan jika lonceng tanda pulang telah dibunyikan, aku segera lari menghambur keluar pagar sekolah menuju rumah. Menemui Ibu yang sedang mencuci, Kakak yang ternyata sudah pulang sekolah dari tadi, dan menyambut Ayah yang tampak letih sepulang bekerja.
Rumah kami memang sederhana, kawan, tapi aku senang ada di dalamnya. Menonton televisi yang hanya menyiarkan TVRI pun tak pernah aku sesali asalkan di rumah. Di luar kadang mengesalkan, tapi disini selalu menyenangkan.
***
Kini kami telah pindah rumah, kawan. Tapi perasaan cinta dan rinduku pada sesuatu bernama rumah tak pernah berubah, masih selalu sama. Tak peduli dimana letak dan bagaimana bentuk rumah kami kini. Hingga akhirnya aku sadar, ternyata bukan rumah itu yang aku cintai dan rindukan selama ini. Bukan rumah itu, tapi ‘rumah’ itulah. Suasana rumah buah karya para penghuninya yang selalu berusaha saling melengkapi di kala susah atau senang, di kala punya atau tak punya, saling membantu berdiri di kala salah seorang dari kami terjatuh dan kemudian memberi motivasi untuk tetap berlari. Suasana indah karya orang-orang di rumah yang selalu menghadirkan tawa dan canda itulah ternyata yang selalu aku rindukan selama ini. Suasana indah hasil karya orang-orang yang membuatku tak pernah merasa berjalan sendiri, karena kami saling memiliki.

“What can money buy, my friends? House, but not home..”


Jatinangor, 31 Januari 2010

Jumat, 22 Januari 2010

Bukan Salah Obama

Sabtu lalu saat mampir ke sebuah toko buku di Bandung, tak sengaja saya melihat sebuah buku yang berisi pidato-pidato pemimpin ternama dunia. Cukup menarik, tapi saya punya waktu untuk baca halaman belakangnya saja.
Winston Churchill: bla..bla..bla..(saya tak ingat apa yang ia katakan)
Mikhail Gorbachev: bla..bla..bla..(saya tak ingat juga apa yang ia katakan)
Dan akhirnya sampailah saya pada penggalan pidato Barrack Obama, yang isinya kurang lebih seperti ini:
Saya terlahir dari seorang pria kulit hitam Kenya dan wanita kulit putih Amerika, dibesarkan oleh kakek dan nenek kulit putih Amerika. Saya pernah mengenyam pendidikan di sekolah terbaik di Amerika dan bahkan pernah tinggal di salah satu negara miskin di dunia..

Saya berpikir sejenak, apakah Obama pernah tinggal di Kenya? Ternyata tidak. Obama pernah tinggal di Hawaii, dan Hawaii adalah Amerika. Pilihan terakhir jatuh ke Indonesia, negara yang kita cintai ini, kawan. Oh tidak! Kesal campur tidak terima saya pertama kali memikirkannya. Ternyata seorang Barrack Obama, seseorang yang banyak orang Indonesia banggakan, gadang-gadang dan dukung habis-habisan menjadi pemimpin sebuah negara ‘satpam’ dunia karena pernah tinggal dan sekolah di Indonesia, tega sekali mengatakan bahwa negara kita adalah negara miskin. Saya kesal sekali pada Anda, Obama..

***
Hari sudah sore, saya harus pulang. Lama sekali menunggu sebuah alat transportasi publik milik pemerintah ini. Para calon penumpang termasuk saya sudah berjubel di pangkalan, tak sabar naik transportasi murah tapi tidak meriah ini. Dan ketika bis tua dengan asap hitam knalpot mengepul tampak tiba dari kejauhan, para calon penumpang berhamburan mengejar bis tersebut untuk berebut tempat duduk.

Keadaan di bis padatnya bukan main, dari depan sampai belakang bis ada penumpang yang berdiri. Bahkan ada beberapa penumpang yang duduk tepat membelakangi kaca depan bis, sampai-sampai Pak sopir agak kesulitan melihat kaca spion karena terhalang penumpang. Seorang anak yang tak kuat berdiri dan tampak mulai lemas duduk di lantai bis, dekat kaki saya. Penumpang sudah luar biasa penuh, tapi Pak sopir tetap mengangkut penumpang, sampai akhirnya ada yang harus berdiri di pintu, dan kena angin sepanjang perjalanan. Keadaan di dalam bis sangat tidak nyaman, agak sulit bernafas karena penumpang penuh sesak. “Tak ubahnya sekeranjang ikan-ikan teri”, lebih tepatnya mungkin begitu kata band punk Marjinal untuk menggambarkan keadaan penumpang dalam bis. Ya, memang inilah transportasi publik murah yang baru mampu diwujudkan pemerintah saat ini. Murah memang, tapi belum meriah. Saya jadi ingat, seorang teman pernah bilang, “kalau kamu mau menilai suatu negara sudah bisa dikatakan maju atau belum, lihat saja transportasi publiknya..”. Saat berbincang itu seketika saya langsung teringat Jepang, Singapura, negara-negara Eropa barat, dan negara-negara lain yang transportasi publiknya sudah sangat canggih. Ternyata memang tidak salah kalau hal itu dijadikan indikator. Sejenak saya memperhatikan bis yang nafasnya tersengal-sengal ini dan langsung menyimpulkan, “berarti bis ini kurang lebih juga mencerminkan negara kita ya, ada di strata yang mana.” Ah sudahlah..

Bis sudah berjalan cukup jauh, dan berhenti di sebuah lampu merah. Di lampu merah yang padat kendaraan itu banyak pengemis dan pengamen yang sebagian besar terdiri dari anak-anak, ada juga yang membersihkan kaca mobil dengan kemoceng. Saya berpikir, ini baru di satu lampu merah di satu kota, belum di lampu-lampu merah lain, dan belum termasuk kota-kota besar lain di negri ini. Ternyata jumlah mereka memang sangat banyak, dan ini realita..

Bis sudah berjalan meninggalkan lampu merah tersebut, dan hujan yang cukup deras mulai turun sepanjang jalan. Bis melewati sebuah pasar yang di depannya sampah berserakan, dan karena air hujan yang menggenang, sampah-sampah itu ikut tergenang hampir ke jalan. Sangat tidak indah. Beberapa meter dari pasar itu jalanan juga agak macet karena beberapa mobil angkutan parkir sembarangan untuk menunggu penumpang. Kumuh dan semrawut..

Sangat terasa, akhirnya bis sampai di tempat tujuan. Badan yang sudah letih disambut oleh puluhan tukang ojek yang menawarkan tumpangan. Jumlahnya jauh lebih banyak daripada jumlah penumpang yang hendak menggunakan jasa transportasi itu sendiri. Ironis memang..

Saya berjalan pulang menuju kosan, dan teringat kembali dengan potongan pidato Obama yang membuat saya kesal tadi. Saya berpikir apakah Obama salah, mengatakan negara kita ini negara miskin. Selama ini saya menganggap bahwa negara kita adalah negara berkembang, seperti yang didengung-dengungkan, bukan negara miskin. Tapi pengalaman yang cukup singkat selama perjalanan di bis tadi telah mengikis habis batasan kriteria negara berkembang dan negara miskin dalam pikiran saya. Istilah ‘negara berkembang’ mungkin memang hanya penghalusan dari ‘negara miskin’, atau kalaupun memang ada bedanya, mungkin hanya setipis hitung-hitungan pertumbuhan ekonomi dengan sempoa belaka. Anda boleh tidak terima, tapi bagi saya Obama memang tidak asal bicara..

Serang, 22 Januari 2010

Kamis, 14 Januari 2010

mengawali 2010..

Tak perlu terompet, tak perlu kembang api, tak perlu ke pantai atau gunung, tak perlu begadang sampai tengah malam..
Yang anda perlukan hanyalah momentum..
SELAMAT DATANG DI 2010!