Minggu, 24 Maret 2013

Bangka-Pangkalpinang, Traveling Pangkal Senang!

"Di rumah, kamu tahu 'apa' Ayahmu. Tapi di perjalanan, kamu tahu 'siapa' Ayahmu" 
-Bayu Permana Sukma-


Tidak ada alasan diam di rumah untuk liburan kali ini. Setelah menghadapi badai kencang kuliah, tugas yang menumpuk selama hampir enam bulan, serta prahara –meminjam istilah berita-berita politik yang bombastis di televisi- UAS, saya memutuskan harus travelling bulan Februari ini. Meskipun belum punya destinasi dan partner berjalan, saya tetap optimis berangkat dari Bandung ke rumah dengan membawa ransel besar dan banyak pakaian.
Setitik cahaya terang akhirnya muncul di suatu pagi yang cerah, ketika Bapak saya yang baru saja pulang dari Padang beberapa hari lalu muncul di depan pintu kamar dan tiba-tiba berkata, “Coba dicek berapa harga tiket ke Pangkalpinang!” Nah, inilah dia travelmate saya kali ini, dan kesanalah saya akan pergi.
Destinasi utama yang telah lama saya idam-idamkan sendiri sebenarnya adalah Belitung, pulau yang terletak di sebelah kanan Bangka. Tapi tidak masalah, kami berencana akan tetap kesana dengan kapal dari Pangkalpinang, dan pulang ke Jakarta dari Tanjungpandan, Belitung. Walhasil, terpesanlah tiket Lion Air tujuan Jakarta-Pangkalpinang untuk keberangkatan tanggal 2 Februari dan tiket Batavia Air tujuan Tanjungpandan-Jakarta untuk keberangkatan tanggal 8 Februari. Namun malang tak dapat ditolak, belum lagi kami berangkat, berita bahwa Batavia Air tak lagi beroperasi alias gulung tikar sampai juga di telinga. Itu artinya kami belum punya tiket pulang, dan tiket yang sudah dibayarkan untuk sementara harus rela diikhlaskan. Meskipun demikian, kami memutuskan tetap berangkat karena menjunjung tinggi prinsip “sekali layar terkembang, pantang untuk bersurut” yang diinspirasi oleh sebuah jargon salah satu ormas. Wow bukan?

Pangkalpinang, 2 Februari 2013
Pesawat yang kami tumpangi mendarat di bandara Depati Amir, Pangkalpinang, tepat pukul empat sore. Waktu tempuh Jakarta-Pangkalpinang sendiri adalah satu jam sepuluh menit. Cuaca kota Pangkalpinang menyambut cerah dengan sedikit awan. Saya heran juga, karena di Jakarta sendiri sebelumnya langit sangat gelap dan hujan deras sedari pagi. Setibanya di Depati Amir, kami langsung dijemput oleh sepupu saya, alias keponakan Bapak saya, alias anak dari adik Bapak saya, atau cucu dari Mbah saya. Oke, cukup Ani!
Kota Pangkalpinang kurang lebih mirip dengan kota-kota ibukota kabupaten (meskipun kota ini sudah berubah status menjadi ibukota propinsi sejak kepulauan Bangka-Belitung membentuk propinsi sendiri) lain di pulau Sumatra: tidak besar, tapi setidaknya menjanjikan ketenangan.
Mungkin tidak banyak objek wisata di Pangkalpinang. Namun bagi saya sendiri, melihat-lihat kota yang baru pertama kali saya kunjungi sudah cukup menjadi hiburan tersendiri.  Kalau ke Pangkalpinang, mampirlah ke Taman Merdeka alias alun-alun kota untuk sekedar duduk-duduk menikmati suasana kota di sore atau malam hari. Di kota Pangkalpinang juga terdapat Museum Timah, lokasinya tidak jauh dari rumah sepupu saya, tapi sayang saya tidak sempat kesana.
Untuk soal makanan, disini ada mpek-mpek, otak-otak dan banyak lagi. Tapi pemuncak klasemen kuliner yang sangat saya rekomendasikan jikakalian  berkunjung ke Pangkalpinang adalah mie kobak. “Mie Kobak adalah mie yang dibuat dengan cara dikobok-kobok” kata Bapak saya. Hahahaha, tapi sebenarnya tidak demikian. Itu cuma analisa serampangan beliau belaka. Mie kobak adalah mie yang disiram dengan kuah ikan dan disajikan dengan telur rebus. Untuk rasa, jangan ditanya. Apalagi kami ditraktir, hahaha lagi.
Saat kami ke Pangkalpinang, disana juga sedang musim durian, jadi para pedagang durian beserta duriannya  mudah dijumpai di pinggir-pinggir jalan. Rasanya tak kalah lezat dibanding durian di kedai Durian Jatohan Haji Sulam.
Selain mie kobak dan durian, yang terkenal di Bangka (khususnya kota Sungai Liat) adalah kue Hoklopan alias martabak Bangka. Buat kalian pecinta martabak Bangka, belum lengkap rasanya jika ke Bangka tidak mencoba martabak langsung dari tempat kemunculannya. Martabak Bangka sendiri disini kebanyakan dibuat oleh etnis Tionghoa, mungkin karena itulah makanan ini disebut Hoklopan. Kalau orang Jepang yang membuat, mungkin namanya jadi Hokahokabento, atau jika dibuat oleh orang Indian, namanya jadi Hokahontas. Kalau orang Sunda yang membuat, mungkin namanya Hoksiahkuaing. (untuk nama-nama lainnya, silakan mengarang sendiri sesuai kemampuan. Zzzzz...)

Pangkalpinang, 3 Februari 2013
Hari kedua di Bangka kami habiskan dengan jalan-jalan menengok pantai seharian, karena itulah kami berangkat keluar rumah sedari pagi. Pantai yang akan kami kunjungi sendiri terletak di kota Sungai Liat, sebuah ibukota kabupaten lain di pulau Bangka. Konon katanya, pantai-pantai yang bagus di Bangka sebagian besar memang berada di kota Sungai Liat. Terdapat juga pantai-pantai yang bagus di daerah Muntok, Bangka bagian Timur. Namun sayang jarangnya cukup jauh dari Pangkalpinang, yaitu sekitar 3 jam perjalanan dengan mobil.
Pangkalpinang-Sungai Liat sendiri dapat ditempuh dalam waktu sekira 30 menit saja dengan menggunakan mobil. Pantai yang terkenal disini adalah Pantai Parai dan Pantai Matras.
Pantai Parai yang berpasir putih  memang indah. Lokasinya cukup eksklusif, karena berada dalam kawasan sebuah hotel mewah. Karena itu biaya masuknya pun cukup menohok, Rp 25.000 per orang! Karena tidak begitu banyak pengunjung, suasana di sekitaran pantai begitu tenang dan sangat bersih. Sangat cocok untuk menjemur pakaian, eh berjemur maksudnya. Di pantai ini terdapat sebuah jembatan buatan kecil yang menghubungkan pantai dengan ‘pulau’ batu. Pemandangan dari pulau batu ke arah laut sangat indah. Birunya air laut seakan membaur dengan birunya langit jika cuaca sedang cerah.  Jika kalian kemari, duduklah di batu-batu besar. Biarkan angin meniup lembut rambut kalian dan gunakanlah momen-momen tersebut untuk melamun atau sekedar merenung. InsyaAllah hanyut.
Setelah selesai berurusan dengan Pantai Parai, kami melanjutkan kunjungan ke Pantai Matras. Lokasi pantai ini tidak jauh dari Pantai Parai. Untuk masuk ke kawasan Pantai Matras, kita harus membayar Rp 10.000 per orang (kalau tidak salah, soalnya lupa lagi. Maklum dibayarin). Jika Pantai Parai dikelola swasta, maka Pantai Matras dikelola oleh pemerintah daerah. Pantai Matras tentu saja tidak sebagus Pantai Parai. Berbeda dengan pantai Parai, di pantai ini tidak terdapat batu-batu besar, melainkan pasir putih yang memanjang jauh. Disini suasananya lebih ramai. Banyak juga pedagang-pedagang makanan, dari baso sampai jagung bakar di tepi-tepi jalan. Beberapa keluarga menggelar tikar di bawah pohon sambil menyantap bekal makan siang yang sudah disiapkan dari rumah. Di pantai ini juga terdapat orang-orang yang menyewakan kuda. Barangkali ingin mencoba naik kuda laut, alias kuda di tepi laut, silakan mencoba. Untuk ongkosnya, silakan saja tanya mamangnya.
Sesuai rencana, Mas Hudi alias sepupu saya, akan membawa saya dan putranya ke pantai yang jauh lebih ekslusif, tapi enak untuk berenang. Maka setelah makan baso di Pantai Matras, kami pun beranjak ke sebuah pantai yang tersembunyi di balik ilalang dan diapit oleh batu-batu besar. Lokasinya mungkin terletak di antara Pantai Matras dan Pantai Parai.  Begitu sampai di pantai ini, tanpa ba-bi-bu lagi saya pun langsung “byur!”, karena tidak ada pengunjung lain. Eksklusif habis, sudah macam pantai pribadi.
Sore mulai menjelang, kami pun beranjak pulang ke Pangkalpinang. Di kota Sungai Liat sebelum pulang kami mampir dulu di sebuah warung makan yang menyediakan menu utama pindang patin. Rasanya? Cukup aneh, hahaha. Mungkin karena saya memang tidak suka ikan patin. Tapi bagi kalian penggemar Patin Shidqia, si kontestan lomba nyanyi di X-Factor itu, tentu wajib mencoba. Ngga ada hubungannya juga sih, da eta mah Fatin, lain Patin! #okegaring.
Pada perjalanan pulang ke Pangkalpinang ini kami mengambil jalur timur yang berbeda dengan jalur keberangkatan sebelumnya. Kata Mas Hudi, pemandangan di jalan lintas timur lebih bagus dan banyak yang bisa dilihat, meskipun jaraknya bertambah jauh. Di sepanjang jalan pulang ini terdapat garis-garis pantai yang memanjang, perkampungan orang-orang Tionghoa, kuburan Cina, klenteng besar berwarna merah menyala, sebuah jembatan panjang, dan di kiri kanan, tambang-tambang timah yang masih aktif maupun yang sudah ditinggalkan berbekas serta menyisakan danau-danau kaolin berwarna biru muda cerah.

Pangkalpinang 4 Februari 2013
Saya sudah mulai berkemas sedari pagi, mandi dan dandan rapi. Siang pukul satu, kami akan ke Belitung dengan menggunakan jetfoil alias kapal cepat. Tiket sudah dipesan dari kemarin. Harganya kalau tidak salah sekitar Rp 230.000 untuk satu orang. Cukup mahal memang, karena kami membeli tiket untuk kelas VIP. Untuk kelas ekonomi, harganya di kisaran seratus ribuan. Atau bisa juga gratis, kalau pintar menyamar jadi barang atau awak kapal.
Kami harus berangkat hari itu juga, karena esok harinya tidak akan ada jadwal pelayaran ke Belitung. Setiap hari Selasa jadwal pelayaran memang tidak ada, jadi aturlah jadwal trip kalian setepat mungkin jika hendak transit di Pangkalpinang sebelum ke Tanjungpandan.
Sebagai informasi, selain menggunakan jasa transportasi kapal, kita juga bisa menggunakan pesawat. Namun harganya tentu lebih mahal. “Bisa seharga tiket Tanjungpandan-Jakarta!” kata sepupu saya. Selain itu, pesawat yang digunakan adalah pesawat ukuran ¾ (hahaha, bis kali, ¾.) Yang pasti ukuran pesawatnya jauh lebih kecil, hanya bisa menampung sekitar 30-40 orang. Waktu tempuh Pangkalpinang-Tanjungpandan dengan menggunakan pesawat kecil sama dengan waktu tempuh Pangkalpinang-Jakarta dengan menggunakan pesawat besar. Wuaduh bukan?
 Mendengar cerita-cerita sepupu saya saat menggunakan pesawat tersebut dari Pangkalpinang ke Tanjungpandan dan sebaliknya membuat nyali saya ciut mengkerut sperti siput ditabur garam, dan akhirnya membuat saya mantap memilih jalur laut. “Mas juga baru dua kali tuh pakai pesawat, pulang sama pergi ke Tanjungpandan. Di dalam pesawat mas sampe keringetan, abis panas banget. Yang lebih lucu lagi, masa ada lalat dalam pesawat! Hahahaha” kenangnya. Hanya ada satu kata yang melintas dalam pikiran saya setelah mendengar cerita inspiratif tersebut: EBUSET!
Setelah menunggu agak lama karena satu dan lain hal, akhirnya kami berangkat juga menuju pelabuhan Pangkal Balam. Adegan-adegan di mobil dari rumah sepupu saya menuju pelabuhan sudah seperti adegan remaja tampan  ketinggalan pesawat di sinetron FTV, karena kami hampir terlambat sampai di pelabuhan.  Beberapa menit lagi kapal akan segera lepas tali alias take off alias “lepas landas” dalam istilah dunia penerbangan.
Begitu sampai di tempat parkir, kami langsung menurunkan barang-barang. Setelah berpamitan dan berpelukan bersama  layaknya teletubies yang sedih akibat turun rating karena anak-anak jaman sekarang lebih senang nonton konser Coboy Junior dan Cherrybelle, kami langsung masuk menuju kapal yang berukuran lebih kecil dari kapal ferry tersebut.

NB: tiket VIP kapal cepat bisa dibeli di agen-agen terdekat kesayangan Anda di Pangkalpinang, sedangkan tiket ekonomi bisa dibeli langsung di pelabuhan.


Perairan Timur Bangka, 4 Februari
Mesin kapal sudah menyala. Perlahan kami meninggalkan dermaga jauh di belakang. Langit berwarna biru cerah dan matahari bersinar terang. Ini adalah cuaca yang sangat pas untuk berlayar. Pemandangan di luar kaca kapal tak bosan-bosannya memikat pandangan saya. Kapal nelayan dan kapal timah yang lalu lalu lalang, pantai-pantai yang sepi dengan pasir coklat menjorok jauh ke lautan, serta garis horizon yang seolah tak kentara karena warna laut dan langit yang sama biru. Pelayaran dengan jetfoil ini akan memakan waktu sekitar empat jam. Lumayan. Lumayan lama.
Sementara di dalam ruangan VIP kapal ini, pramugari kapal sibuk hilir-mudik membagikan snack untuk para penumpang. Saya baru tahu, ternyata di kapal juga ada pramugari. Tapi berbeda dengan tugas pramugari di pesawat, tugas pramugari di kapal ini adalah membagikan snack dan mengganti kaset DVD jika sudah habis diputar. Jika tugasnya sudah selesai, ia kembali ke bangku belakang, menarik selimut dan melanjutkan tidur. Grok!
Suasana di kabin VIP ini cukup nyaman, dilengkapi pendingin ruangan dan LCD TV plus pemutar DVD. Video-video klip yang diputar juga cukup up-to-date pada zamannya, seperti video klip dari Stinky waktu jaman Andre Taulany masih kurus, hits-hits dari Fatur dan Nadila, serta lagu Ungu waktu Pasha masih kurus dan gondrong. Yang tidak kalah terbaru adalah lagu-lagu dari band-nya Kak Ian Kasela dan Kak Moldy, waktu formasi band-nya masih lengkap. Tapi meskipun demikian, setidaknya secara keseluruhan suasana di ruang VIP ini jauh lebih nyaman ketimbang kelas ekonomi yang saya lihat begitu sumpek dan panas.
Kapal terus melaju. Ombak masih tenang, karena masih berlayar di tepian tidak jauh dari pantai. Iseng-iseng, saya buka twitter via HP dan melihat akun info BMKG. Di layar handphone tertera gambar “info tinggi gelombang laut di perairan Indonesia per 4 Februari 2013” yang di-tweet BMKG lewat akunnya. Daaan..Jengjeng! Mata saya langsung tertuju ke arah laut di antara pulau Bangka dan Belitung yang tertera pada gambar di ponsel. Di gambar itu laut di Selat Gaspar (selat yang memisahkan pulau Bangka dan Belitung) tampak berwarna kuning. Berdasarkan keterangan, warna kuning berarti ketinggian ombak mencapai 1,5-2 meter. Dengan tenang seolah tak ada masalah saya masukkan handphone kedalam saku celana, kemudian berteriak dalam hati: KYAAAAAAAAAAAA...! Ombak sampai 2 meter mah atuh lumayan bro, bikin kapal oleng. Dorman Borisman!

Selat Gaspar, 4 Februari
Tidak terasa sudah kurang lebih dua jam kapal berlayar. Andre sudah serak, Pasha sudah nyerah, Fatur dan Nadila sudah berpisah, sedangkan Kak Ian dan Kak Moldy tak tahu dimana rimbanya. DVD player sekarang sudah berganti memutar film box office berjudul “Dendam Transformer”. Di luar, daratan yang sedari tadi menghiasi kaca jendela sudah tak tampak lagi. Kami sudah mulai masuk laut lepas, melintas Selat Gaspar.
Langit pun secara ajaib yang tadinya biru cerah kini berganti warna menjadi gelap. Di kejauhan, sejauh mata memandang hanya langit hitam pekat. Tidak lama kemudian, hujan turun dengan deras disertai badai yang cetar membahana dan terpampang nyata dalam bayang-bayang wajah Syahrini. Ternyata benarlah  itu tweet si BMKG. Ombak di selat Gaspar ternyata memang sedang tinggi. Kapal terasa goyang sekali. Beberapa kali jetfoil ini bahkan terhentak keras seperti mau terbelah karena menabrak ombak yang tinggi. Lutut saya rasanya lemas sekali. Meskipun  sesekali berusaha tenang  dan mencari kesibukan dengan memainkan handphone, tapi gerak-gerik tetap tak bisa berdusta. Berkali-kali saya salah memencet tombol karena tangan gemetaran, hahaha.
Seketika timbul dorongan yang begitu kuat dalam hati untuk membangunkan Bapak saya yang tidur sedari kapal berangkat dari pelabuhan Pangkal Balam tadi, untuk sekedar mengucapkan  kata-kata yang sudah begitu lama ingin saya ucapkan, “Papa, selamat hari Valentine.” Walaupun beliau pasti akan protes dan bereaksi kritis dengan menjawab, “Terimakasih, Nak. Tapi ini kan bukan tanggal 2 April!”  *lantas kami berdua langsung nyebur dan berenang-renang dengan kawanan dugong*

***

Badai insyaAllah berlalu. Setelah melewati ombak tinggi dan cuaca yang kurang bersahabat beberapa jam yang lalu, kapal akhirnya kembali berlayar dengan tenang. Awan-awan pekat sudah ditinggalkan, berganti langit jingga pertanda senja akan segera tiba. Ada rasa damai menyeruak dalam dada saya ketika itu. Rasa damai saat menyaksikan pemandangan di luar jendela kaca. Kapal-kapal kecil nelayan hendak pulang dari mencari ikan, yang menyisakan riak air di laut tenang, serta burung-burung yang  akan pulang ke peraduan dipayungi langit usai hujan. Sebuah daratan luas mulai tampak menghampar di hadapan. Entah kenapa, tiba-tiba saya merasa seperti pulang ke kampung halaman, yang lucunya tidak pernah saya kunjungi sama sekali sebelumnya. Lucu sekali memang.
Tak lama kemudian, mesin kapal dimatikan, pertanda dermaga kian dekat dan kapal akan segera merapat. Saya membalikkan badan, dan bertanya kepada seorang pemuda yang duduk tepat di belakang sambil menunjuk ke arah daratan di depan untuk meyakinkan diri, “Bang, itu Belitung?” Ia tersenyum ramah, lantas merapikan barang dan menjawab, “Ya, sampai kita di Belitong..”


Bersambung..

1 komentar: