"Di
rumah, kamu tahu 'apa' Ayahmu. Tapi di perjalanan, kamu tahu 'siapa'
Ayahmu"
-Bayu
Permana Sukma-
Tidak
ada alasan diam di rumah untuk liburan kali ini. Setelah menghadapi badai
kencang kuliah, tugas yang menumpuk selama hampir enam bulan, serta prahara
–meminjam istilah berita-berita politik yang bombastis di televisi- UAS, saya
memutuskan harus travelling bulan
Februari ini. Meskipun belum punya destinasi dan partner berjalan, saya tetap
optimis berangkat dari Bandung ke rumah dengan membawa ransel besar dan banyak
pakaian.
Setitik
cahaya terang akhirnya muncul di suatu pagi yang cerah, ketika Bapak saya yang
baru saja pulang dari Padang beberapa hari lalu muncul di depan pintu kamar dan
tiba-tiba berkata, “Coba dicek berapa harga tiket ke Pangkalpinang!” Nah,
inilah dia travelmate saya
kali ini, dan kesanalah saya akan pergi.
Destinasi
utama yang telah lama saya idam-idamkan sendiri sebenarnya adalah Belitung,
pulau yang terletak di sebelah kanan Bangka. Tapi tidak masalah, kami berencana
akan tetap kesana dengan kapal dari Pangkalpinang, dan pulang ke Jakarta dari
Tanjungpandan, Belitung. Walhasil, terpesanlah tiket Lion Air tujuan
Jakarta-Pangkalpinang untuk keberangkatan tanggal 2 Februari dan tiket Batavia
Air tujuan Tanjungpandan-Jakarta untuk keberangkatan tanggal 8 Februari. Namun
malang tak dapat ditolak, belum lagi kami berangkat, berita bahwa Batavia Air
tak lagi beroperasi alias gulung tikar sampai juga di telinga. Itu artinya kami
belum punya tiket pulang, dan tiket yang sudah dibayarkan untuk sementara harus
rela diikhlaskan. Meskipun demikian, kami memutuskan tetap berangkat karena
menjunjung tinggi prinsip “sekali layar terkembang, pantang untuk bersurut”
yang diinspirasi oleh sebuah jargon salah satu ormas. Wow bukan?
Pangkalpinang,
2 Februari 2013
Pesawat
yang kami tumpangi mendarat di bandara Depati Amir, Pangkalpinang, tepat pukul
empat sore. Waktu tempuh Jakarta-Pangkalpinang sendiri adalah satu jam sepuluh
menit. Cuaca kota Pangkalpinang menyambut cerah dengan sedikit awan. Saya heran
juga, karena di Jakarta sendiri sebelumnya langit sangat gelap dan hujan deras
sedari pagi. Setibanya di Depati Amir, kami langsung dijemput oleh sepupu saya,
alias keponakan Bapak saya, alias anak dari adik Bapak saya, atau cucu dari
Mbah saya. Oke, cukup Ani!
Kota
Pangkalpinang kurang lebih mirip dengan kota-kota ibukota kabupaten (meskipun
kota ini sudah berubah status menjadi ibukota propinsi sejak kepulauan
Bangka-Belitung membentuk propinsi sendiri) lain di pulau Sumatra: tidak besar,
tapi setidaknya menjanjikan ketenangan.
Mungkin
tidak banyak objek wisata di Pangkalpinang. Namun bagi saya sendiri,
melihat-lihat kota yang baru pertama kali saya kunjungi sudah cukup menjadi
hiburan tersendiri. Kalau ke Pangkalpinang, mampirlah ke Taman Merdeka
alias alun-alun kota untuk sekedar duduk-duduk menikmati suasana kota di sore
atau malam hari. Di kota Pangkalpinang juga terdapat Museum Timah, lokasinya
tidak jauh dari rumah sepupu saya, tapi sayang saya tidak sempat kesana.
Untuk
soal makanan, disini ada mpek-mpek, otak-otak dan banyak lagi. Tapi pemuncak
klasemen kuliner yang sangat saya rekomendasikan jikakalian berkunjung ke
Pangkalpinang adalah mie kobak. “Mie Kobak adalah mie yang dibuat dengan cara
dikobok-kobok” kata Bapak saya. Hahahaha, tapi sebenarnya tidak demikian. Itu
cuma analisa serampangan beliau belaka. Mie kobak adalah mie yang disiram dengan
kuah ikan dan disajikan dengan telur rebus. Untuk rasa, jangan ditanya. Apalagi
kami ditraktir, hahaha lagi.
Saat
kami ke Pangkalpinang, disana juga sedang musim durian, jadi para pedagang
durian beserta duriannya mudah dijumpai di pinggir-pinggir jalan. Rasanya
tak kalah lezat dibanding durian di kedai Durian Jatohan Haji Sulam.
Selain
mie kobak dan durian, yang terkenal di Bangka (khususnya kota Sungai Liat)
adalah kue Hoklopan alias martabak Bangka. Buat kalian pecinta martabak Bangka,
belum lengkap rasanya jika ke Bangka tidak mencoba martabak langsung dari
tempat kemunculannya. Martabak Bangka sendiri disini kebanyakan dibuat oleh
etnis Tionghoa, mungkin karena itulah makanan ini disebut Hoklopan. Kalau orang
Jepang yang membuat, mungkin namanya jadi Hokahokabento, atau jika dibuat oleh
orang Indian, namanya jadi Hokahontas. Kalau orang Sunda yang membuat, mungkin
namanya Hoksiahkuaing. (untuk nama-nama lainnya, silakan mengarang sendiri
sesuai kemampuan. Zzzzz...)
Pangkalpinang,
3 Februari 2013
Hari
kedua di Bangka kami habiskan dengan jalan-jalan menengok pantai seharian,
karena itulah kami berangkat keluar rumah sedari pagi. Pantai yang akan kami
kunjungi sendiri terletak di kota Sungai Liat, sebuah ibukota kabupaten lain di
pulau Bangka. Konon katanya, pantai-pantai yang bagus di Bangka sebagian besar
memang berada di kota Sungai Liat. Terdapat juga pantai-pantai yang bagus di
daerah Muntok, Bangka bagian Timur. Namun sayang jarangnya cukup jauh dari
Pangkalpinang, yaitu sekitar 3 jam perjalanan dengan mobil.
Pangkalpinang-Sungai
Liat sendiri dapat ditempuh dalam waktu sekira 30 menit saja dengan menggunakan
mobil. Pantai yang terkenal disini adalah Pantai Parai dan Pantai Matras.
Pantai
Parai yang berpasir putih memang indah. Lokasinya cukup eksklusif, karena
berada dalam kawasan sebuah hotel mewah. Karena itu biaya masuknya pun cukup
menohok, Rp 25.000 per orang! Karena tidak begitu banyak pengunjung, suasana di
sekitaran pantai begitu tenang dan sangat bersih. Sangat cocok untuk menjemur
pakaian, eh berjemur maksudnya. Di pantai ini terdapat sebuah jembatan buatan
kecil yang menghubungkan pantai dengan ‘pulau’ batu. Pemandangan dari pulau
batu ke arah laut sangat indah. Birunya air laut seakan membaur dengan birunya
langit jika cuaca sedang cerah. Jika kalian kemari, duduklah di batu-batu
besar. Biarkan angin meniup lembut rambut kalian dan gunakanlah momen-momen
tersebut untuk melamun atau sekedar merenung. InsyaAllah hanyut.
Setelah
selesai berurusan dengan Pantai Parai, kami melanjutkan kunjungan ke Pantai
Matras. Lokasi pantai ini tidak jauh dari Pantai Parai. Untuk masuk ke kawasan
Pantai Matras, kita harus membayar Rp 10.000 per orang (kalau tidak salah,
soalnya lupa lagi. Maklum dibayarin). Jika Pantai Parai dikelola swasta, maka
Pantai Matras dikelola oleh pemerintah daerah. Pantai Matras tentu saja tidak
sebagus Pantai Parai. Berbeda dengan pantai Parai, di pantai ini tidak terdapat
batu-batu besar, melainkan pasir putih yang memanjang jauh. Disini suasananya
lebih ramai. Banyak juga pedagang-pedagang makanan, dari baso sampai jagung
bakar di tepi-tepi jalan. Beberapa keluarga menggelar tikar di bawah pohon
sambil menyantap bekal makan siang yang sudah disiapkan dari rumah. Di pantai
ini juga terdapat orang-orang yang menyewakan kuda. Barangkali ingin mencoba
naik kuda laut, alias kuda di tepi laut, silakan mencoba. Untuk ongkosnya,
silakan saja tanya mamangnya.
Sesuai
rencana, Mas Hudi alias sepupu saya, akan membawa saya dan putranya ke pantai
yang jauh lebih ekslusif, tapi enak untuk berenang. Maka setelah makan baso di
Pantai Matras, kami pun beranjak ke sebuah pantai yang tersembunyi di balik
ilalang dan diapit oleh batu-batu besar. Lokasinya mungkin terletak di antara
Pantai Matras dan Pantai Parai. Begitu sampai di pantai ini, tanpa
ba-bi-bu lagi saya pun langsung “byur!”, karena tidak ada pengunjung lain.
Eksklusif habis, sudah macam pantai pribadi.
Sore
mulai menjelang, kami pun beranjak pulang ke Pangkalpinang. Di kota Sungai Liat
sebelum pulang kami mampir dulu di sebuah warung makan yang menyediakan menu
utama pindang patin. Rasanya? Cukup aneh, hahaha. Mungkin karena saya memang
tidak suka ikan patin. Tapi bagi kalian penggemar Patin Shidqia, si kontestan
lomba nyanyi di X-Factor itu, tentu wajib mencoba. Ngga ada hubungannya juga
sih, da eta mah Fatin, lain Patin! #okegaring.
Pada
perjalanan pulang ke Pangkalpinang ini kami mengambil jalur timur yang berbeda
dengan jalur keberangkatan sebelumnya. Kata Mas Hudi, pemandangan di jalan
lintas timur lebih bagus dan banyak yang bisa dilihat, meskipun jaraknya
bertambah jauh. Di sepanjang jalan pulang ini terdapat garis-garis pantai yang
memanjang, perkampungan orang-orang Tionghoa, kuburan Cina, klenteng besar
berwarna merah menyala, sebuah jembatan panjang, dan di kiri kanan, tambang-tambang
timah yang masih aktif maupun yang sudah ditinggalkan berbekas serta menyisakan
danau-danau kaolin berwarna biru muda cerah.
Pangkalpinang
4 Februari 2013
Saya
sudah mulai berkemas sedari pagi, mandi dan dandan rapi. Siang pukul satu, kami
akan ke Belitung dengan menggunakan jetfoil alias kapal cepat. Tiket sudah
dipesan dari kemarin. Harganya kalau tidak salah sekitar Rp 230.000 untuk satu
orang. Cukup mahal memang, karena kami membeli tiket untuk kelas VIP. Untuk
kelas ekonomi, harganya di kisaran seratus ribuan. Atau bisa juga gratis, kalau
pintar menyamar jadi barang atau awak kapal.
Kami
harus berangkat hari itu juga, karena esok harinya tidak akan ada jadwal
pelayaran ke Belitung. Setiap hari Selasa jadwal pelayaran memang tidak ada,
jadi aturlah jadwal trip kalian setepat mungkin jika hendak transit di
Pangkalpinang sebelum ke Tanjungpandan.
Sebagai
informasi, selain menggunakan jasa transportasi kapal, kita juga bisa
menggunakan pesawat. Namun harganya tentu lebih mahal. “Bisa seharga tiket
Tanjungpandan-Jakarta!” kata sepupu saya. Selain itu, pesawat yang digunakan
adalah pesawat ukuran ¾ (hahaha, bis kali, ¾.) Yang pasti ukuran pesawatnya
jauh lebih kecil, hanya bisa menampung sekitar 30-40 orang. Waktu tempuh
Pangkalpinang-Tanjungpandan dengan menggunakan pesawat kecil sama dengan waktu
tempuh Pangkalpinang-Jakarta dengan menggunakan pesawat besar. Wuaduh bukan?
Mendengar
cerita-cerita sepupu saya saat menggunakan pesawat tersebut dari Pangkalpinang
ke Tanjungpandan dan sebaliknya membuat nyali saya ciut mengkerut sperti siput
ditabur garam, dan akhirnya membuat saya mantap memilih jalur laut. “Mas juga
baru dua kali tuh pakai pesawat, pulang sama pergi ke Tanjungpandan. Di dalam
pesawat mas sampe keringetan, abis panas banget. Yang lebih lucu lagi, masa ada
lalat dalam pesawat! Hahahaha” kenangnya. Hanya ada satu kata yang melintas
dalam pikiran saya setelah mendengar cerita inspiratif tersebut: EBUSET!
Setelah
menunggu agak lama karena satu dan lain hal, akhirnya kami berangkat juga menuju
pelabuhan Pangkal Balam. Adegan-adegan di mobil dari rumah sepupu saya menuju
pelabuhan sudah seperti adegan remaja tampan ketinggalan pesawat di
sinetron FTV, karena kami hampir terlambat sampai di pelabuhan. Beberapa
menit lagi kapal akan segera lepas tali alias take off alias “lepas landas” dalam
istilah dunia penerbangan.
Begitu
sampai di tempat parkir, kami langsung menurunkan barang-barang. Setelah
berpamitan dan berpelukan bersama layaknya teletubies yang
sedih akibat turun rating karena anak-anak jaman sekarang lebih senang nonton
konser Coboy Junior dan Cherrybelle, kami langsung masuk menuju kapal yang
berukuran lebih kecil dari kapal ferry tersebut.
NB:
tiket VIP kapal cepat bisa dibeli di agen-agen terdekat kesayangan Anda di
Pangkalpinang, sedangkan tiket ekonomi bisa dibeli langsung di pelabuhan.
Perairan
Timur Bangka, 4 Februari
Mesin
kapal sudah menyala. Perlahan kami meninggalkan dermaga jauh di belakang.
Langit berwarna biru cerah dan matahari bersinar terang. Ini adalah cuaca yang
sangat pas untuk berlayar. Pemandangan di luar kaca kapal tak bosan-bosannya
memikat pandangan saya. Kapal nelayan dan kapal timah yang lalu lalu lalang,
pantai-pantai yang sepi dengan pasir coklat menjorok jauh ke lautan, serta
garis horizon yang seolah tak kentara karena warna laut dan langit yang sama
biru. Pelayaran dengan jetfoil ini akan memakan waktu sekitar empat jam.
Lumayan. Lumayan lama.
Sementara
di dalam ruangan VIP kapal ini, pramugari kapal sibuk hilir-mudik
membagikan snack untuk
para penumpang. Saya baru tahu, ternyata di kapal juga ada pramugari. Tapi
berbeda dengan tugas pramugari di pesawat, tugas pramugari di kapal ini adalah
membagikan snack dan
mengganti kaset DVD jika sudah habis diputar. Jika tugasnya sudah selesai, ia
kembali ke bangku belakang, menarik selimut dan melanjutkan tidur. Grok!
Suasana
di kabin VIP ini cukup nyaman, dilengkapi pendingin ruangan dan LCD TV plus
pemutar DVD. Video-video klip yang diputar juga cukup up-to-date pada
zamannya, seperti video klip dari Stinky waktu jaman Andre Taulany masih kurus,
hits-hits dari Fatur dan Nadila, serta lagu Ungu waktu Pasha masih kurus dan
gondrong. Yang tidak kalah terbaru adalah lagu-lagu dari band-nya Kak Ian
Kasela dan Kak Moldy, waktu formasi band-nya masih lengkap. Tapi meskipun
demikian, setidaknya secara keseluruhan suasana di ruang VIP ini jauh lebih
nyaman ketimbang kelas ekonomi yang saya lihat begitu sumpek dan panas.
Kapal
terus melaju. Ombak masih tenang, karena masih berlayar di tepian tidak jauh
dari pantai. Iseng-iseng, saya buka twitter via
HP dan melihat akun info BMKG. Di layar handphone tertera
gambar “info tinggi gelombang laut di perairan Indonesia per 4 Februari 2013”
yang di-tweet BMKG
lewat akunnya. Daaan..Jengjeng! Mata saya langsung tertuju ke arah laut di
antara pulau Bangka dan Belitung yang tertera pada gambar di ponsel. Di gambar
itu laut di Selat Gaspar (selat yang memisahkan pulau Bangka dan Belitung)
tampak berwarna kuning. Berdasarkan keterangan, warna kuning berarti ketinggian
ombak mencapai 1,5-2 meter. Dengan tenang seolah tak ada masalah saya
masukkan handphone kedalam
saku celana, kemudian berteriak dalam hati: KYAAAAAAAAAAAA...! Ombak sampai 2
meter mah atuh lumayan bro, bikin kapal oleng. Dorman Borisman!
Selat
Gaspar, 4 Februari
Tidak
terasa sudah kurang lebih dua jam kapal berlayar. Andre sudah serak, Pasha
sudah nyerah, Fatur dan Nadila sudah berpisah, sedangkan Kak Ian dan Kak Moldy
tak tahu dimana rimbanya. DVD player sekarang
sudah berganti memutar film box
office berjudul “Dendam Transformer”. Di luar, daratan yang
sedari tadi menghiasi kaca jendela sudah tak tampak lagi. Kami sudah mulai
masuk laut lepas, melintas Selat Gaspar.
Langit
pun secara ajaib yang tadinya biru cerah kini berganti warna menjadi gelap. Di
kejauhan, sejauh mata memandang hanya langit hitam pekat. Tidak lama kemudian,
hujan turun dengan deras disertai badai yang cetar membahana dan terpampang
nyata dalam bayang-bayang wajah Syahrini. Ternyata benarlah itu tweet si BMKG. Ombak
di selat Gaspar ternyata memang sedang tinggi. Kapal terasa goyang sekali.
Beberapa kali jetfoil ini bahkan terhentak keras seperti mau terbelah karena
menabrak ombak yang tinggi. Lutut saya rasanya lemas sekali. Meskipun
sesekali berusaha tenang dan mencari kesibukan dengan memainkan handphone, tapi
gerak-gerik tetap tak bisa berdusta. Berkali-kali saya salah memencet tombol
karena tangan gemetaran, hahaha.
Seketika
timbul dorongan yang begitu kuat dalam hati untuk membangunkan Bapak saya yang
tidur sedari kapal berangkat dari pelabuhan Pangkal Balam tadi, untuk sekedar
mengucapkan kata-kata yang sudah begitu lama ingin saya ucapkan, “Papa,
selamat hari Valentine.” Walaupun beliau pasti akan protes dan bereaksi kritis
dengan menjawab, “Terimakasih, Nak. Tapi ini kan bukan tanggal 2 April!”
*lantas kami berdua langsung nyebur dan berenang-renang dengan kawanan
dugong*
***
Badai
insyaAllah berlalu. Setelah melewati ombak tinggi dan cuaca yang kurang
bersahabat beberapa jam yang lalu, kapal akhirnya kembali berlayar dengan
tenang. Awan-awan pekat sudah ditinggalkan, berganti langit jingga pertanda
senja akan segera tiba. Ada rasa damai menyeruak dalam dada saya ketika itu.
Rasa damai saat menyaksikan pemandangan di luar jendela kaca. Kapal-kapal kecil
nelayan hendak pulang dari mencari ikan, yang menyisakan riak air di laut
tenang, serta burung-burung yang akan pulang ke peraduan dipayungi langit
usai hujan. Sebuah daratan luas mulai tampak menghampar di hadapan. Entah
kenapa, tiba-tiba saya merasa seperti pulang ke kampung halaman, yang lucunya
tidak pernah saya kunjungi sama sekali sebelumnya. Lucu sekali memang.
Tak
lama kemudian, mesin kapal dimatikan, pertanda dermaga kian dekat dan kapal
akan segera merapat. Saya membalikkan badan, dan bertanya kepada seorang pemuda
yang duduk tepat di belakang sambil menunjuk ke arah daratan di depan untuk
meyakinkan diri, “Bang, itu Belitung?” Ia tersenyum ramah, lantas merapikan
barang dan menjawab, “Ya, sampai kita di Belitong..”
Bersambung..
Bangka keren
BalasHapus