Kamis, 29 Januari 2015

Jawaban di Ujung Perjalanan

Perasaan apa yang muncul di hatimu jika mendengar kata Ramadhan? Sebagian besar tentu menjawab, kebahagiaan. Tapi bagiku, kata Ramadhan memunculkan dua mata perasaan. Tidak hanya kebahagiaan, tapi juga kesedihan. Terlebih jika aku harus mengingat-ingat kisah masa lalu.  Kisah  yang sudah lama berlalu, tapi tetap membekas di hatiku. Kisah yang mengejutkan di malam awal Ramadhan.
***
“Hati-hati ya, Nak. Hati-hati, Nak” berulangkali ibu mengucapkan kata-kata itu seraya memeluk erat, mengusap rambutku berkali-kali dan mencium keningku penuh haru. Air mata mengalir deras di sudut matanya. Ia tak sanggup lagi menahan ledakan emosi dalam dadanya. Perpisahan ini seolah-olah adalah pertemuan terakhir kami. Seolah-olah kami tak akan pernah bertemu lagi. Aku tak mengerti, apa yang sebenarnya terjadi. “Bukankah kami hanya pergi beberapa hari saja untuk menghabiskan liburan sekolahku dan kembali saat Ramadhan tiba?” tanyaku dalam hati.
Suara pria yang menyebalkan itu tiba-tiba memecah kesenduan.“Sudah siang! Mau berangkat jam berapa?” tanyanya nyinyir dengan nada tinggi bahkan setengah membentak. Aku menoleh padanya dengan wajah memerah dan balas membentak “Sabar! Ini juga udah mau jalan!” Setengah berlari akhirnya kususul ia yang tengah menaikkan dua buah koper berukuran jumbo ke mobil. Aku memandang koper-koper itu sekilas. Jumlah dan ukuran koper yang terlalu besar. Bahkan terlalu besar jika hanya untuk bepergian beberapa hari saja, pikirku.

Di depan pintu rumah, ibu berdiri lunglai. Ia tak henti meneteskan air mata saat melihat dua laki-laki yang begitu ia cintai dalam hidupnya berlalu dan perlahan hilang dari pandangan. Dua orang lelaki, yang sepertinya tidak akan pernah bersatu. Dua orang yang selalu saling tatap dengan penuh rasa benci.  Dada ibu semakin terasa sesak, mengingat buruknya hubunganku dengan pria itu selama ini.  Di usiaku kini yang sudah menginjak tujuh belas tahun, aku tak pernah merasa benar-benar memiliki seorang ayah. Begitupun dengan pria itu, ia juga sepertinya tak pernah merasa punya seorang anak. Seseorang yang bisa ia banggakan. Ada dinding yang begitu besar dan kokoh terbangun di antara kami berdua. Dinding yang membuat hubungan kami tak ubahnya air dan api.
Air semakin deras mengalir dari mata ibu, saat ia mulai menyalahkan suaminya, pria yang sedang bersamaku. Pertanyaan yang menyakitkan terus menghantuinya. “Mengapa suamiku tak pernah mampu melakukan apa yang aku lakukan: menghancurkan dinding penghalang itu?”
***
Mobil jeep yang kami kendarai melindas jalan-jalan tak beraspal dan berliku membelah hutan. Sudah dua hari kami menghabiskan waktu di perjalanan, masuk hutan keluar hutan, tapi tak satu katapun terucap dari mulut kami masing-masing. Takada percakapan apapun. Soal sekolah, pekerjaan atau sekedar obrolan-obrolan ringan dan hangat layaknya seorang ayah dan putranya. Selama perjalanan, aku hanya sibuk dengan musik dari mp3 player yang mengalir lewat earphone-ku. Sementara pria itu, tetap larut di balik kemudi dengan berbatang-batang rokok yang entah keberapa ia hisap. Suasana di luar begitu hening, tapi atmosfer di dalam mobil takkalah dingin. Aku memandang wajahnya sesekali, sembunyi-sembunyi. Ia tampak kelelahan menahan beban ribuan ton di pelupuk matanya, karena perjalanan berhari-hari diselingi hanya beberapa kali istirahat.
Tiba-tiba..BRAAAAK!!! Suara yang sangat keras terdengar hebat. Kepalaku terasa berputar-putar. Seluruh badanku terasa remuk.  Setelah itu, aku tak ingat apa-apa lagi.
***
Mataku sedikit demi sedikit terbuka. Perlahan aku bisa melihat dengan jelas sekelilingku. Kami berada di hutan yang sangat lebat. Matahari hanya mampu mengintip sedikit saja karena pepohonan begitu rapat. Aku melihat pria itu sedang berusaha mengeluarkan beberapa peralatan dari mobil yang sudah terjungkal dan ringsek parah. Mobil kami terjerembab ke jurang dalam. Namun beruntung kami berdua masih selamat. Karena melihatku sudah sadar, ia menghampiri dengan tertatih. Kakinya pincang. Lukanya tampak serius.
“Kamu sudah bangun, Jane?” tanyanya datar, berusaha terlihat dingin. Aku melihat tanganku yang sudah dipenuhi luka-luka kering. Kepalaku pun, ternyata sudah dibalut kain. Kami memang selamat, tapi persoalan berikutnya menanti. Bagaimana bertahan di jurang berhutan rapat ini sampai bantuan datang?
Bertahan hidup di hutan belantara dengan fisik penuh luka sungguh mengerikan. Terlebih lagi kami hanya bertahan dengan sisa tiga bungkus roti dan satu botol air mineral. Berkali-kali aku putus asa, jika mengingat sudah berhari-hari kami terjebak di sini, namun belum ada satu orangpun yang datang menolong. Tapi di balik situasi mengerikan ini, ada hikmah terselubung bagi diriku, bagi pria itu. Ganasnya hutan, keadaan yang serba tak pasti perlahan mencairkan hubungan kami. Setiap usaha bahu-membahu untuk bertahan hidup ternyata menyatukan emosi kami. Dan dalam situasi seperti ini, perlahan aku mulai melihat sisi yang lain dari dirinya. Sisi berbeda yang tak pernah kuketahui sebelumnya. Kasih sayang, perhatian, dan kelembutan, yang aku pikir ia tidak terlahir untuk miliki. Aku melihat ketulusan dalam dirinya.
Puncak mencairnya hubunganku dengan pria itu adalah malam ini, di malam keempat kami terjebak di tempat ini. Keputusasaanku sudah sampai di titik puncaknya. Bagaimanapun aku hanya seorang anak muda berumur tujuh belas tahun. Keadaan ini begitu mengerikan bagiku. Sudah tiga hari, kami tidak lagi makan dan minum. Mencari makan di alam liar tak semudah seperti di film Rambo. Badanku luar biasa lemasnya. Kami berbaring di lantai hutan beralaskan baju yang sudah berhari-hari tak diganti. Ia terbaring di sampingku. Mata kami tertuju ke langit malam yang dipenuhi bintang.
“Dua hari lagi Ramadhan..” setengah berbisik aku berkata, seolah bicara pada diriku sendiri. “Yah..” tanpa sadar aku memanggilnya dengan sebutan itu. Mungkin ini yang pertama kali dalam hidupku. Ia memandangku dengan lemah. Ada raut bahagia yang tak bisa ia sembunyikan saat mendengar panggilan itu.“Kalau kita selamat, aku ingin Ramadhan nanti jadi titik awal permulaan hidupku. Aku ingin memulai hidupku yang baru, bersamamu..” aku berucap setengah terbata.
“Aku ingin menikmati setiap momen di bulan Ramadhan nanti bersamamu, bersama ibu juga, kalau kita memang diberi kesempatan kedua, kesempatan untuk melanjutkan hidup. Tapi jika Tuhan menginginkan yang lain, aku tetap bahagia. Setidaknya aku mati di sampingmu. Diberi kesempatan untuk mengenalmu lebih dalam. Melihat sisi lain yang tak pernah kutemui pada dirimu sebelumnya. Dan, setidaknya aku telah melihat sosok ayah yang nyata dalam hidupku sebelum aku pergi” aku meneruskan ucapanku dalam hati. Tak terasa pipiku terasa hangat. Air mata ternyata telah membasahi. Aku pejamkan mata agar tak mengalir semakin deras. Tapi itu tak menolong.
“Kita akan selamat, Nak. Kita akan selamat.” Pendengaranku mulai tak jelas, tapi aku bisa mendengar panggilan ‘Nak’ itu. Untuk pertama kalinya aku mendengar kata itu keluar dari mulutnya. Aku tak bisa berucap apa-apa lagi. Aku tak punya energi lagi. Bibirku mengeras karena lama tak tersentuh air. Rasanya sulit untuk tersenyum. Mataku mulai layu, tapi langit malam itu tampak begitu jernih sehingga bintang-bintang terlihat sangat bercahaya. Aku menggigil kedinginan dan mulai terpejam, tapi bisa merasakan seseorang menyelimutiku dengan sebuah jaket dan mengusap kepalaku sambil berkata, “kita akan baik-baik saja. Kita akan baik-baik saja, Nak.” Malam itu, cinta, kepedulian, kehangatan dan kasih sayang mengudara. Akhirnya aku menemukannya, dan ia menemukanku, di tengah perjalanan panjang ini.
Tak disangka, keesokan harinya, setengah sadar aku mendengar suara orang ramai-ramai. Para pembuka ladang yang sedang menyusuri hutan secara tak sengaja menemukan kami siang itu.
***
“Ayah capek ngga? Kalau capek, kita istirahat saja dulu sebentar” tanyaku padanya yang sudah terlihat sangat kelelahan.
Ngga kok. Kita lanjutkan saja. Rumah teman ayah sudah dekat. Sebentar lagi kita sampai”  jawabnya hangat.
Setelah cukup jauh berjalan, akhirnya kami sampai di teras sebuah rumah kayu di atas bukit. Rumah itu adalah ujung dari perjalanan ini. Ada hawa yang begitu aneh menyeruak dalam hatiku sedari masuk pekarangan rumah itu. Tapi aku taktahu itu apa.
Lama ayah baru mengetuk pintu. Getaran tangannya mengisyaratkan sebuah keraguan yang besar. Taklama kemudian langkah seseorang terdengar dari balik pintu. Sseorang pria seumuran ayah. Ia tampak bersahaja dengan baju muslimnya, bersiap menuju mesjid untuk menunaikan salat tarawih pertama di bulan Ramadhan ini.Wajahku layu seketika berhadapan dan berbagi pandang dengan lelaki itu. Aku melihat diriku dalam dirinya. Ia seperti replika saat aku kelak dimakan usia. Belum lagi keterkejutan yang luar biasa menghampiri, seorang wanita seumuran ibuku muncul dari dari belakang punggung pria itu. “Siapa, Pak?” tanyanya lembut penuh hormat pada suaminya.
Keterkejutanku semakin menjadi-jadi, saat tatapanku jauh masuk ke dalam mata wanita itu. Kupandang lekat-lekat bola matanya. Coklat muda. Warna yang sama dengan yang kupunya. Aku hilang tenaga. Raut wajahku kini sangat kontras dengan wajah sumringah kedua orang di hadapanku yang seolah kedatangan tamu yang telah lama mereka tunggu-tunggu. Semua puzzle kini telah terkumpul, membentuk sebuah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan: Apa tujuan perjalanan panjang ini? Untuk apa aku dibawa ke tempat asing ini? Apa isi dua koper berukuran besar yang dibawa ayah? Dan mengapa ibu tak kuasa menahan kesedihan saat melepasku?
Perasaan yang bergejolak dalam dada tak lagi mampu kutahan. Air mata ternyata telah membasahi pipi. Kulayangkan pandangan ke arah ayah yang tepat berdiri di sampingku, memberi isyarat untuk meminta penjelasan. Ia tampak gugup dan berusaha mengalihkan pandangan. Sesekali ditengadahkannya wajah, menahan air mata. Kini aku sadar, apa yang menyebabkanku dan dirinya begitu berbeda dan sulit untuk bersatu. Mengapa selama ini –bahkan sampai saat usiaku menginjak dewasa- selalu ada semacam penghalang yang membuatku merasa jauh darinya. Penghalang yang aku sendiri tidak tahu itu apa.
Adzan Isya di malam pertama Ramadhan sayup-sayup sampai di telinga, menambah sendu suasana. Hatiku hancur berkeping-keping. Mengapa harus kuterima kejutan pahit ini, saat kasih sayang dan kedekatan itu sudah mulai terbangun di hatiku, pun di hatinya. Saat tembok penghalang yang kokoh itu sudah mulai berhasil kami robohkan.

Kini kutahu, mengapa tak semua pertanyaan harus menemukan jawaban.
        
         Bandung, 4 Juli 2013

*Dimuat dalam buku antologi cerpen Kejutan Sebelum Ramadhan oleh penerbit independen Nulisbuku


Bayu Permana Sukma lahir di Lubuksikaping, sebuah kota kecil di utara Sumatra Barat. Satu setengah tahun belakangan sibuk merenung di Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran, sambil sesekali mengunjungi tempat-tempat baru untuk menikmati matahari terbenam.

14 komentar:

  1. Balasan
    1. Terima kasih banyak sudah mampir, saudari hikeniye.

      Hapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Mengharukan...
    Seolah ikut terbawa oleh suasananya... Ditunggu kelanjutan kisahnya ya jika ada...

    BalasHapus
  4. Unpredictable at the end, but nice. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Looking forward to reading your other short-story fictions, Sir. Hehehee...

      Hapus
  5. Keep writting sir.. i'm waitin'..

    BalasHapus
  6. Dibuat penasaran. Unpredictable ending.

    visit back ya Pak http://uyoyahya.blogspot.com

    BalasHapus
  7. Saya berhasil masuk ke dalam ceritanya dan ketika saya kembali ke dunia nyata, saya sadar pipi saya sudah basah. Saya terharu.

    BalasHapus
  8. Trimakasih untuk sepenggal cerita yg mengharukan ini.

    BalasHapus