
“Memang seharusnya kita tak membuang semangat masa silam..bermain dalam dada, setelah usai mengantar kita tertatih-tatih sampai disini..”
( Ebiet G. Ade, ‘Tatkala Letih Menunggu’ )
Bis yang kami tumpangi dari Terminal Melaka Sentral akhirnya tiba di Jalan Kota, saat mentari sore mulai bersinar panas-panasnya. Di depan sebuah bangunan besar dengan arsitektur khas zaman kolonial yang berwarna merah bata, kami memutuskan turun. Orang-orang menamakan bangunan merah ini Stadhuys. Entah apa artinya. Saya juga tidak tahu apa fungsi bangunan ini dulunya. Namun yang pasti, Stadhuys dengan sebuah gereja tua berwarna merah bata yang terletak tepat di sebelahnya, kini telah menjelma menjadi landmark kota Melaka dan merupakan magnet bagi para wisatawan.
Stadhuys sebagai bangunan tua tidak berdiri sendiri disana, di tempat-tempat yang lokasinya berdekatan di sepanjang sungai Melaka juga terdapat situs-situs bersejarah lain, seperti benteng-benteng tua dan kincir air warisan masa penjajahan. Ternyata memang inilah ‘jualan’ Melaka, sebuah kota yang menawarkan sensasi nostalgia, romantisme kembali ke masa lalu.
Melaka di masa kini adalah bentukan dari budaya ‘nano-nano’. Masyarakatnya beragam, baik ras maupun agama. Di kota ini, anak Cina, India, dan Melayu campur aduk jadi satu, setidaknya itulah yang saya amati saat di bis dalam perjalanan dari Melaka Sentral menuju pusat kota Melaka. Keragaman dan keunikan mewujud dalam arsitektur bangunan-bangunannya, dimana bangunan-bangunan khas Cina, India, Melayu dan sentuhan Eropa yang diwakili Belanda dan Portugis menghiasi pemandangan kota. Memasuki kota Melaka seakan bertualang menembus masa lalu, dengan sebuah mesin waktu.
GADIS PERKASA NAN SUPEL DAN HUMORIS ITU BERNAMA BIBI
Setelah turun dari bis Panorama, kami berencana mengantar Bibi terlebih dahulu ke hotelnya, hotel yang sudah ia pesan jauh-jauh hari sebelum sampai disini. Hotelnya terletak tidak jauh dari Jalan Kota. “Biar saya naik taksi saja,” katanya, menolak bantuan kami kali ini. Mungkin ia merasa tidak enak, takut merepotkan barangkali. Lagipula kami sendiri belum mendapatkan penginapan untuk tidur malam ini. “Jadi kalian akan tidur dimana malam ini? Akan ‘menggembel’ lagi seperti di Singapura kemarin?” tanyanya sambil tertawa bercanda. Dicky sepertinya bercerita banyak selama di bis dari Johor menuju Melaka tadi, termasuk pengalaman kami tidur di bandara tadi malam. “Entahlah...” jawab Dicky sambil tertawa. Tawa kami pecah disambut kening yang mengkerut menahan silau matahari sore ini. Bibi memang seorang gadis yang supel dan humoris. Ia mudah tertawa dan kerap membuat jokes-jokes.
***
Kami secara tidak sengaja bertemu Bibi di immigration checkpoint Johor Bahru, karena kebetulan bernasib sama: tertinggal bis yang kami tumpangi. Proses pemeriksaan imigrasi yang mengharuskan pelintas batas Singapura-Malaysia (maupun sebaliknya) untuk turun naik bis berkali-kali memang kerap membuat penumpang tertinggal, dan hal ini akhirnya menimpa kami. Tapi penyebab Bibi dan kami tertinggal bis berbeda. Ia terlambat naik bis karena harus menghadapi pemeriksaan imigrasi yang cukup lama, sedangkan kami, meskipun melewati permeriksaan imigrasi dengan lancar, hampir saja keluar kantor imigrasi menuju kota Johor Bahru karena salah memilih jalur platform bis di dalam gedung kantor imigrasi yang besar itu.
“Mau ke Melaka juga?” tanya Dicky pada Bibi saat kami berdiri di platform bis SJE menanti bis berikutnya.
“Ya. Kamu juga?” ia balik bertanya.
“Kami juga mau ke Melaka. Sendirian saja? Mau bareng dengan kami?”
Dicky berinisiatif mengajak Bibi, mungkin karena kasihan melihat gadis bule itu hanya seorang diri, tampak kebingungan sambil menggendong dua ransel berukuran besar. Nalurinya sebagai lelaki sejati muncul seketika untuk menawarkan bantuan pada wanita. Ternyata Bibi mengiyakan, dan setuju ikut dengan kami. Penampilan kami memang sederhana, ramah, dan tidak kriminil, mungkin.
Saya tidak percaya ketika Dicky mengatakan bahwa Bibi sudah berkeliling hampir seluruh dunia. Bagaimana mungkin seorang gadis mungil untuk ukuran orang Eropa itu bisa melakukannya? Ia bahkan mengenakan rok dan bersepatu high heel! Tapi saya mulai percaya kemudian, ketika membantu menurunkan dua tas ransel Deuter-nya yang luar biasa berat. Saya juga percaya jika ia memang benar-benar telah berkeliling dunia ketika melihat semangatnya. Berkali-kali ia menolak kursi yang ditawarkan penumpang lain yang mungkin tidak tega melihat wanita dengan dua ransel besar berdiri sepanjang jalan dari Melaka sentral menuju jalan Bunga Raya yang jaraknya lumayan jauh.
Dicky dan Bibi tampak langsung akrab. Mereka banyak bercakap di bis sepanjang jalan dari Johor menuju Melaka yang menghabiskan waktu kurang lebih 4 jam. Saya yang duduk persis di belakang sesekali mendengar percakapan mereka. Mereka bicara tentang banyak hal, dari perkuliahan, politik internasional, hingga citra Islam di Jerman, negara asal Bibi. Ada rasa bangga dalam dada saya, ketika melihat sang ‘dun sanak’ berinteraksi dan bercakap penuh percaya diri dengan seorang gadis bule tanpa rasa canggung. Sekali lagi dia menunjukkan darah ‘Hubungan Internasional’- nya.
***
Taksi Bibi telah menghilang di tikungan jalan di sebelah gedung tua berwarna putih. Tapi kami sepakat berjumpa kembali nanti malam di Stadhuys untuk menghabiskan malam bersama, mencari makan malam atau sekedar berkeliling menikmati suasana tenang kota Melaka. Namun ada satu pertanyaan sederhana yang masih menghantui pikiran saya, Yudha dan Dicky: “Tidur dimana kita malam ini???”
DISCOVERY, HOSTEL MURAH DENGAN PELAYANAN RAMAH
“Ooo..dari Indonesia? Apa kabar?” tanya resepsionis yang merupakan seorang pemuda Melayu berdarah Filipin dengan anting di telinga. Dengan senyum ramah ia berusaha berbicara bahasa Indonesia, tapi gagal. Kami tentu saja membalas usahanya untuk menjalin keakraban dengan senyuman. “Kamar yang disini sudah penuh, tapi nanti kalian bisa tidur di dormitory room yang ada di hostel kami yang lain. Letaknya dekat, ada di belakang gedung ini” jelasnya sambil menunjuk ke arah seberang hostel. “Kalian bisa masuk kesana lewat dua jalan. Lewat jalan sini..” ia menunjuk jalan di depan hostel, “...atau lewat Little India, di sebelah sana” jelasnya panjang lebar.
Atas rekomendasi seorang teman, yang juga seorang backpacker dan penulis buku tentang backpacking, akhirnya kami memilih hostel ini. Sebuah hostel bernama Discovery, yang terletak di jalan Hang Jebat. “Cari saja bangunan dengan gambar tapak kaki besar! Dekat sebuah jembatan, tidak jauh dari Stadthuys.” Kurang lebih begitu sarannya. Harga menginap di hostel ini sangat murah, jika dikurskan ke rupiah tidak sampai lima puluh ribu per malam untuk satu orang.
Hostel ini juga unik, persis seperti yang teman tersebut katakan. Banyak pejalan dari seluruh dunia datang dan menginap silih berganti disini. Di ruang lobi, pernak-pernik unik yang sepertinya dikumpulkan dari seluruh dunia sibuk menghiasi ruangan. Pandangan saya tertuju pada sebuah globe alias bola dunia yang tergantung di atas ruang lobi. Ketika berputar tak sengaja karena tertiup angin, ia seperti seolah sedang berkata: “Dunia tak selebar daun kelor. Ambillah ransel, kemasi barang dan mulailah berjalan!”.
***
Saya terkejut bukan main, saat penghuni dormitory room lain membukakan pintu. Ternyata di dalam kamar sudah ada tiga muda-mudi bule. Dua laki-laki dan satu perempuan. Hostel ini tidak menyediakan dorm roomkhusus perempuan, jadi laki-laki dan perempuan harus tidur satu kamar. Apa daya, kami tidak punya pilihan lain. Sepasang bule yang ternyata berpacaran ini berasal dari Belanda, sedangkan seorang lelaki lain berasal dari Jerman. Lucunya, pasangan Belanda dengan pemuda Jerman ini baru bertemu di hostel ini, didorm room ini, namun keakraban tampak sudah terjalin begitu kuat. Saat memperkenalkan diri dan memulai percakapan-percakapan ringan, saya tahu, bahwa malam ini akan jadi begitu panjang, sepanjangtali baruak.
MENIKMATI MALAM DI MELAKA
Jam di tangan mulai merangkak ke arah angka tujuh. Gelap sudah mulai jatuh di langit Melaka.
“Biar saya lihat dulu ke Stadhuys, mungkin Bibi sudah disana” ujar Dicky pada kami. Saya dan Yudha memutuskan untuk menunggu saja di sebuah kursi panjang di pinggir sungai Melaka, tidak jauh dari Stadhuys. Sementara Dicky bergegas menjemput Bibi.
Beberapa menit kemudian, ia kembali namun hanya seorang diri, tanpa Bibi. Gadis itu tak kunjung muncul rupanya. Tengah malamnya ia baru memberi kabar via message facebook. Rupanya ia terlambat mengecekmessage yang kami kirim via jejaring sosial tersebut (esoknya Bibi mengirim kami message untuk mengajak makan sebelum kami kembali ke Singapura, namun kali ini giliran kami yang terlambat mengecek inbox, sehingga akhirnya kami tidak sempat lagi bertemu. Ini jadi pelajaran berharga, bahwa jangan pernah berkomunikasi via jejaring sosial untuk keperluan yang cepat dan mendesak, karena kemungkinan besar akan seperti ini jadinya.) Apa boleh buat, kami akhirnya memutuskan untuk menghabiskan malam ini tanpa Bibi. Bertiga saja.
***
Sepiring nasi goreng, satai celup isian ketam dan ikan khas Malaysia, serta segelas es teh manis menjadi menu makan malam kami. Dengan merogoh kocek tidak dalam, kami sudah bisa makan enak sekaligus mengenyangkan. Semuanya terasa lebih baik untuk soal makanan dan keuangan setelah kami melintas dari Singapura menuju Malaysia. Biaya hidup disini memang jauh lebih ‘bersahabat’, kurang lebih sama seperti di Indonesia.
Tempat kami makan malam ini merupakan sebuah foodcourt di area terbuka yang terletak di pinggir sungai yang mengarah ke laut, dimana sungai Melaka bermuara. Angin sepoi-sepoi, riak-riak sungai yang bersuara dan membentuk ombak kecil di tepian, serta lantunan lagu-lagu Melayu yang mendayu membuat ritme malam ini terasa lamban, sesekali bahkan memancing perenungan.
Ibu-ibu penjaga kantin bertanya pada saya, “dari mana?”
“Indonesia” jawab saya.
Ia kemudian membalas “Sayeu dari ... (sang ibu menyebut nama sebuah pulau yang terdengar asing di telinga saya)”
“Tanjung Karang, Lampung..” ia menambahkan, sebagai sebuah jawaban atas kebingungan yang tergambar dalam ekspresi wajah saya.
Sang ibu bicara dengan logat Melayu yang begitu kental. Ia berbicara persis seperti orang Malaysia betulan. Apakah sudah berganti kewarganegaraan? Ah, entahlah. Perkara berganti kewarganegaraan saya kira adalah isu yang sensitif. Tapi satu yang saya yakini, kampung halaman telah lama ia tinggalkan. Entah kapan mungkin terakhir kali ia pulang. “Ah, itu wajar, manusiawi, dan dapat diterima” saya mencoba memaklumi dalam hati.
MELAKA RIVER CRUISE
Jika Anda singgah ke Melaka pada malam hari, jangan lupa naik Melaka River Cruise. Dengan uang sekira tujuh puluh lima ribu (jika dikurskan ke rupiah) , Anda dapat menikmati suasana malam kota Melaka dengan perahu. Rasanya seperti di Venezia, barangkali. Menawarkan romantisme ala Eropa dengan cita rasa Asia.
***
Perahu kami berlayar mengikuti sungai Melaka, merangkak lamban di bawah jembatan-jembatan kecil yang sudah mulai sepi dari pejalan kaki. Di kiri dan kanan, rumah-rumah berjajar rapi seolah begitu setia memandangi kami. Beberapa cafe bercahaya temaram di sepanjang sungai ikut menemani perjalanan. Bule-bule dan warga lokal duduk bersama dan bercengkrama di teras-teras halamannya, tampak larut dalam obrolan ringan seraya menenggak aneka minuman yang sudah di.pesan.
Ada sisi yang begitu menarik dari kota Melaka, yaitu kelihaiaan mereka melihat keunikan sekecil apapun sebagai potensi wisata. Mereka tampaknya anti merobohkan bangunan-bangunan tua. Sungai Melaka, dimana perahu ini berlayar begitu bersih meskipun pemukiman penduduk hadir di sepanjang alirannya, karena warganya tidak membuang sampah ke dalamnya. Mereka bahkan tidak membabat semak-semak yang tumbuh di tepian sungai, karena tetumbuhan itu telah menjadi tempat burung-burung beristirahat di malam hari. Kota ini jadi rumah yang nyaman bagi ratusan ekor burung. Di siang hari unggas-unggas itu bertebaran di pepohonan dekat perempatan jalan Hang Jebat, dekat hostel kami menginap. Tidak ada satupun warga yang berusaha mengambil, menembak atau sekedar mengganggu. Jogging track dibangun di sepanjang tepian sungai, berikut pondok-pondok untuk beristirahat atau sekedar tempat ‘duduk-duduk’ untuk warganya. Kota ini tampak begitu siap menyambut para wisatawan.
Satu persatu tempat kami lalui: kampung Malaysia dengan rumah-rumah panggung kayunya, hingga taman-taman kecil dengan lampu warna-warni, air mancur dan komidi putar – yang membuat lagu Hoppippola dari Sigurros seketika terngiang di telinga saya (Sebenarnya lagu yang diputar di perahu ini adalah lagu lama dari seorang penyanyi Indonesia berjudul ‘madu dan racun’. Malaysia sepertinya tidak bisa benar-benar berlepas diri dari musik Indonesia. Siangnya pun di sebuah kantin di terminal Melaka Sentral, saya juga mendengar lagu-lagu Ungu diputar di radio lokal.)
***
Hari sudah benar-benar malam saat kami memutuskan kembali ke hostel. Jalanan sudah lengang. Satu-satunya hal yang membuat suasana meriah hanyalah cahaya benderang dari lampion-lampion yang digantung melintang di jalan, dan replika naga seperti barong sai raksasa yang tampak di kejauhan, di daerah kampung Cina Melaka yang terletak di seberang jembatan.
Sebaliknya, suasana di cafe milik Discovery yang terletak di sebelah hostel ternyata masih ramai, karena mereka mengadakan live music setiap malamnya. Bule-bule masih tampak begitu asyik dengan gelas-gelas bir seukuran ‘termos’ mereka. Tidak lama kemudian suara sayup-sayup terdengar memanggil kami. Ternyata itu suara si resepsionis hostel.
“Hey. Bir dulu!” ujarnya sambil tersenyum ramah dan memperagakan gaya orang sedang mengangkat gelas besar dengan satu tangan. Kami menolak tawarannya. Dengan memperagakan gaya orang tidur, kami beralasan sudah ngantuk berat.
Hari ini cukup melelahkan, karena kami memang banyak berjalan. Namun malam ini sudah cukup meninggalkan kesan mendalam. Tenaga harus kembali dikumpulkan, karena besok pagi kami harus kembali berkemas, menempuh perjalanan kurang lebih 4 jam untuk kembali ke Singapura.
Saya menoleh sekali lagi ke belakang, memandang Melaka ketika orang-orang sudah terkulai pulas di peraduannya. Memandang Melaka yang tidak membuang semangat masa silam, karena bagaimanapun sejarah lah yang telah membesarkan mereka. Melaka yang sesekali menoleh ke belakang menatap masa lalu, kemudian melambaikan tangan dan tersenyum sembari berbalik menatap masa depan dengan kepala tegak. Ah, mengapakah kita tidak bisa menjadi seperti demikian?
Saya tiba-tiba rindu kampung halaman. Indonesia saya, Indonesia Anda, Indonesia kita. Selamat malam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar