Minggu, 24 Maret 2013

PERJALANAN MELIHAT NEGERI TETANGGA #2: SELAMAT PAGI, SINGAPURA!


Pagi ini kami bertiga akan mengunjungi Haji Lane, sebuah gang yang penuh coretan dinding alias grafiti. Daerah ini merupakan kawasan street art di Singapura, dimana banyak terdapat distro-distro dan tempat pembuatan tato. Tapi kami kesana tentu saja tidak untuk membuat tato, karena tanda lahir kami sudah terlalu artistik untuk diutak-atik. Jauh lebih keren daripada tato tentunya. *Duar!
Untuk menuju Haji Lane, kami harus menaiki MRT tujuan akhir stasiun Joo Koon dan turun di stasiun Bugis. Namun sebelum menuju Bugis, kami harus transit terlebih dahulu di stasiun Tanah Merah. Terkesan agak ribet memang, tapi jangan cemas, semua informasi cukup jelas di dalam peta. Selain itu, informasi mengenai rute-rute MRT yang terpampang di setiap stasiun juga sangat membantu. Yang penting perhatikan rute-rute MRT ini dengan seksama, dan jangan lupa berdoa.
Hal pertama yang kami lakukan sebelum menaiki MRT adalah membeli tiket terlebih dahulu, dari sebuah mesin yang disebut GTM a.k.a General Ticketing Machine. Mesin ini bisa menerima beberapa uang pecahan, maksimal 10 SGD alias Dollar Singapura. Jangan khawatir, berapapun uang kalian, ia akan kembalikan sesuai ongkos perjalanan kalian. Saya salut dengan kejujuran mesin ini, karena ia tidak suka nilep uang siapapun. Nah buat kalian yang masih sering nilep uang orang tua atau teman atau saudara atau tetangga atau rakyat, malu lah kalian, karena harga diri kalian tidak lebih tinggi dari sebuah mesin. #nguomongnaon
Eh ternyata asik juga mengoperasikan mesin ini, apalagi mencet-mencet touchscreen-nya. Saking keasikan menggunakan mesin ini, kami menghabiskan waktu yang cukup lama *pura-pura bilang asik, padahal ngga tau cara mengoperasikannya, hahaha.
Setelah tiket kami dapat dalam waktu yang relatif tidak singkat, kami masuk ‘pintu’ stasiun MRT dengan menempelkan kartu pada sensor yang telah tersedia dan mencari platform MRT menuju stasiun Joo Koon.
 Tidak lama, MRT tujuan Joo Koon pun tiba. Sungguh ajaib, bombastis, dan spektakuler pemirsa! Bukan sulap bukan sihir, pintu terbuka secara otomatis #norakstadium12. Di dalam MRT, kondisi ternyata sudah ramai dipenuhi penumpang, dari anak sekolah sampai orang kantoran, dari warga sipil sampai anak muda yang sepertinya abis pulang dari asrama (lagi-lagi korban wajib militer), dari Melayu, Tiongkok sampai India. Semua ada disini, tua-muda, beda tapi tidak berbahaya. Meskipun penumpang MRT ini berbeda-beda dalam hal profesi dan warna kulit, mereka tetap kompak dalam satu hal, yaitu ngantuk. Semua penumpang terlihat sempoyongan menahan kantuk. Ada apa gerangan?
Di luar MRT, pemandangan masih gelap gulita, mobil yang tampak lalu-lalang di jalanan pun tidak begitu ramai. Disini saya merasakan sebuh keganjilan. Jam-jam di tangan dan dinding orang-orang Singapura sepertinya telah mengkhianati matahari. Bagaimana mungkin waktu telah menunjukkan pukul enam, namun suasana di luar masih begitu gelap seperti pukul lima. Orang Singapura sepertinya telah ‘memaksakan’ waktu mereka satu jam lebih cepat. Walhasil, hampir semua penumpang MRT terkantuk-kantuk. Padahal waktu sekarang ngga subuh-subuh amat.
Sambil menikmati perjalanan dengan MRT di pagi buta ini, sesekali saya mengedarkan pandangan ke sekitar. Busyet, ternyata yang gendong ransel segede markas Zordon cuma kami bertiga. Penumpang yang lain semuanya siap menuju tempat kerja dengan setelannya masing-masing, tapi Alhamdulillah tidak ada yang gendong ransel. Malu-maluin juga sebenarnya, tapi apa daya, urat malu kami sepertinya sudah putus sejak tidur di bandara Changi tadi malam, hahaha.
Tiba-tiba pandangan saya terhenti di arah pukul 10. Ada apakah geraman? Ternyata, seorang gadis manislah penyebabnya. Seorang gadis berseragam sekolah (entah SMA atau SMP, hahaha lagi) berdiri beberapa meter di gerbong sebelah karena tidak kebagian tempat duduk. Ia tampak sibuk memainkan hape, mungkin sedang update status di friendster: “Nyebelin ban9edh eaa, pagi2 udh Gug keb4gean tmpt dudux! Yeyeye..Lalala”. Saya ingin sekali menawari dia tempat duduk, tapi bagaimana mungkin, saya sendiri juga berdiri. Terharu sekali, akhirnya bisa menemukan native Singapura nan rancak, lucu dan imut, persis seperti personel girlband JKT48. Saya bertanya dalam hati, mungkinkah AKB48 kembali membuka frenchisedi Singapura dengan nama SG48 setelah sukses buka cabang di Indonesia? Ah entahlah. Ini adalah berkah di pagi hari nan gelap gulita, pengobat stres di kala pusing terus-menerus memandang abah-abah Singapura yang sibuk baca koran berbahasa Mandarin.
Agar tidak terlihat terlalu mencurigakan seperti seorang copet freelance karena terus-menerus memandangi si gadis manis, sesekali saya kembali memandang ke luar jendela MRT untuk melihat-lihat pemandangan kota Singapura yang masih ‘ngantuk’. Namun tiba-tiba suara ibu-ibu paruh baya dengan logat bicara macam Cinta Laura menggema di dalam MRT (setiap MRT akan berhenti di stasiun berikutnya, suara seorang wanita akan muncul untuk memberi tahu penumpang). Suara itu berucap dua kata: ‘Tanah Merah’, yang berarti MRT akan segera berhenti di stasiun Tanah Merah.
Ini adalah dua kata ringan yang mudah diucapkan, tapi bagi saya ini bermakna dalam, yaitu perpisahan #asedap. Saya harus berpisah dengan si gadis manis, karena saya, Dicki dan Yudha harus turun di stasiun MRT Tanah Merah untuk berpindah MRT menuju stasiun Joo Koon. Sedih juga, ini adalah pertemuan yang singkat. Saya padahal belum sempat menanyakan dia kelas berapa, dimana sekolahnya, siapa guru matematikanya, apakah dia lebih suka ksatria baja hitam RX Robo atau RX Bio, pilih mana: Ipin, Upin, atau Upil. Dan yang lebih menyedihkan lagi, kami bahkan belum sempat menari Heavy Rotation bersama. *backsound sendu*
Pintu otomatis telah menutup. Lewat kaca-kaca MRT yang perlahan mulai bergerak maju meneruskan perjalanan, saya kembali sekilas memandang wajah si gadis manis yang akhirnya dapat tempat duduk. Perlahan ia menghilang dari pandangan. Sampai kiteu berjumpeu puleu, duhai gadis manis!
Kami kembali meneruskan perjalanan dengan menyambung MRT tujuan akhir stasiun Joo Koon, dan akhirnya turun di stasiun Bugis saat langit masih tetap gelap.
Stasiun MRT Bugis ini ternyata terletak tepat di bawah sebuah pertokoan. Kami sempat bingung karena setelah menaiki eskalator tiba-tiba ada di sebuah pertokoan. Namun karena saat ini masih pagi, belum satu toko pun yang buka, dan belum ada pengunjung yang datang. Ternyata kami berangkat dari Changi terlalu pagi, sehingga belum ada satu toko pun yang buka.
Saat saya membuka-buka lembaran peta untuk mencari tahu dimana tepatnya lokasi Haji Lane, Yudha meminta untuk mencarikan toilet, karena panggilan alam tiba-tiba saja datang. Dicki juga mengiyakan. Ternyata mereka satu misi, harus cari toilet sekarang juga! Aduh cilaka, karena kami sudah keluar dari stasiun MRT, untuk menemukan toilet disini tentu bukan hal yang mudah. Kami berinisiatif mencari mesjid terdekat untuk sekalian solat Subuh. Alhamdulillah ketemu juga mesjidnya, sebuah mesjid dengan arsitektur klasik dan unik bernama Masjid Sultan. Walaupun jam di tangan sudah menunjukkan pukul setengah tujuh, tapi suasana masih cukup gelap. Mungkin ini sekira jam setengah enam waktu Indonesia. Masih ada sedikit waktu untuk solat.
Setelah solat subuh, kami tidur-tiduran di mesjid karena mata sedikit ngantuk. Lagipula toko-toko sekarang belum ada yang buka, jadi kami habiskan waktu sedikit untuk tidur-tiduran menunggu agak siangan. Tapi sayang sekali, saat mata belum lagi mau terpejam, Mas-mas merbot mesjid sudah datang untuk membangunkan, “Bang, Bang. Bangun Bang, sudah siang” katanya. O walah, karena hari sudah siang, tidak boleh ada orang yang tidur di mesjid. Bahkan orang-orang yang tidur di teras mesjid pun ikut dibangunkan. Adoh kaka, orang lagi enak tidur-tidurin kok dibangunan..
Akhirnya kami memutuskan untuk kembali melanjutkan perjalanan, mencari daerah bernama Haji Lane. Sebenarnya Haji Lane tidak jauh dari Masjid Sultan, tapi karena salah membaca peta, kami harus berjalan cukup jauh.

dimanakah Haji Lane?

mencari alamat palsu

jalanan masih lengang


Wadoh, ternyata Haji Lane juga masih sepi, belum ada toko yang buka. Daripada tidak sama sekali, kami akhirnya tetap melihat-lihat jejeran etalase toko-toko yang belum buka, hahaha. Di tembok-tembok gang Haji Lane ini tertempel pamflet-pamflet event musik yang akan dimeriahkan oleh salah satu band asal Indonesia, The Changcuters. Keren ya? Ah ngga juga, band sepupu saya juga udah pernah ngadain tur Singapura-Malaysia, hahahaha. #LajuUrangKuduNgumbahPiring?

Haji Lane

Puas memandangi etalase toko yang belum buka, kami kembali ke daerah Bugis, tepatnya ke Bugis Street untuk membeli sedikit oleh-oleh. Biar ada bukti kalo kami beneran ke Singapur gitu, hahaha.
Berjalan dari Haji Lane menuju Bugis Street ternyata cukup menguras keringat, tapi kami jalani itu semua dengan penuh kesabaran, ketabahan, ketampanan dan keprihatinan. Karena perut agak keroncongan, kami berhenti sejenak di pinggir trotoar dekat jalan raya yang sedikit demi sedikit mulai dipadati kendaraan. Disini tidak ada tukang siomay atau cuanki asongan yang sedang mangkal, tapi untung saya ingat bahwa di dalam ransel ada sebuah kotak ajaib. Kotak ini berisi roti yang dibelikan abang saya waktu di bandara Soetta kemarin. Alhamdulillah, isinya pas masih ada tiga. Kamipun sarapan mewah pagi ini di pinggir jalan raya kota metropolitan Singapura dengan lahap. *terharu*
Warga Singapura yang lalu-lalang dengan berjalan kaki atau bersepeda di trotoar sesekali memandang ke arah kami. Saya bisa membaca apa yang mereka katakan dalam hati saat memandang kami. “Sanguan, Bro!” mungkin kurang lebih begitu bunyinya, hahaha.
Akhirnya kami tiba di Bugis Street, salah satu daerah penjual oleh-oleh yang katanya lumayan murah di Singapura. Lagi-lagi, toko-toko disini juga belum semuanya buka. Ondeh mande! Untuk menunggu sampai toko-toko buka, kami lagi-lagi memutuskan nongkrong di seberang Bugis Street. Suasana nongkrong disini ternyata lebih-lebih membetot urat malu, hahaha. Karena hari sudah mulai siang, banyak sekali orang-orang yang lalu-lalang untuk beraktivitas. Semuanya tampak sibuk, sangat kontras dengan kami bertiga yang leyeh-leyeh duduk di pinggir jalan. Macam gembel, tapi ganteng.
Setelah toko-toko sudah banyak yang buka, kami kembali beredar di Bugis Street. Disini saya membeli oleh-oleh gantungan kunci saja, karena dengan mengeluarkan uang yang tidak terlalu banyak, bisa dapat barang banyak, hahahaha. *tertawa licik*
Kami akhirnya mengubah rencana. Awalnya kami akan berangkat ke Melaka sehabis dzuhur, tapi karena oleh-oleh sudah didapat, kami memutuskan untuk mempercepat keberangkatan. Lagipula perjalanan dari Singapura menuju Melaka akan memakan waktu cukup lama, yaitu sekira empat jam dan mengharuskan kami turun-naik kendaraan. Selain itu kami juga berencana sampai di Melaka paling lambat sore hari, supaya dapat menikmati sunset di pinggir sungai Melaka. Aseeeek..
Segera setelah membeli oleh-oleh, kami langsung menuju terminal Queen Street yang jaraknya tidak terlalu jauh dari Bugis. Terminal Queen Street ini sangat ‘Cina’ sekali, sampai-sampai saya merasa bukan sedang ada di Singapura, melainkan di Cina. Dari penjaga toilet, penjual karcis, semuanya seperti orang Cina.
Begitu sampai di terminal, kami langsung membeli tiket tanpa pilih-pilih bis lagi. Bis mana yang akan berangkat segera, itu yang akan kami naiki. Kebetulan bis yang ada di antrian terdepan adalah bis bernama SJE, kependekan dari Singapore-Johor Express. Di bawah tulisan SJE terdapat tulisan mandarin. Cina banget.
Where’s the seat number, Sir?” tanya saya pada si abah penjual tiket saat menerima tiga buah tiket darinya sesaat setelah menyerahkan uang. Saya takut tidak kebagian tempat duduk di bis, atau dituduh menyerobot kursi penumpang lain.
No. No seat number! You buy the ticket, you sit ha..” Ujarnya dengan logat Mandarin sambil tertawa lebar seakan memamerkan salah satu gigi emasnya. Si abah yang duduk di sampingnya juga ikut-ikutan tertawa. Kami juga ikut-ikutan tertawa, walaupun tidak tahu bagian mana dari percakapan ini yang lucu.
Bis ternyata sudah benar-benar hendak berangkat. Tanpa babibu lagi kami langsung lari menuju bis, dan segera naik setelah menunjukkan tiket pada kondektur. Nah sang kondektur ternyata juga Tiongkok. Pas naik bis, saya kaget lagi, sopirnya juga Tiongkok. Saat berjalan dari depan bis menuju kursi belakang, saya lebih-lebih kaget lagi. Penumpangnya semuanya Tiongkok! “Waduh ini bis jangan-jangan mau ke Makau, bukan ke Johor Bahru” bisik saya dalam hati. Alhamdulillah banget tapi kalau memang ke Makau, soalnya kami beli tiketnya cuma seharga 1 SGD., hahaha.
Bis telah menjauh dari terminal Queen Street menuju ke arah Woodland, sebuah daerah di utara Singapura yang berbatasan dengan Malaysia. Di luar, cuaca agak gelap diiringi rintik-rintik kecil hujan yang yang mulai turun. Sementara di dalam sini, jantung kembali berdebar.

Bersambung..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar