Minggu, 24 Maret 2013

Melangkah ke Bromo # Last Part


“Berapa lama waktu yang kita butuhkan buat keliling disini?” tanya bule Prancis pada saya dan Diga segera setelah jeep hardtop sampai di area parkir di sebuah padang pasir luas. “Oh ya sebaiknya kita berunding dulu, pukul berapa harus kembali ke jeep” bule wanita Austria tiba-tiba menambahkan. Sepertinya Ia tidak ingin kejadian di Penanjakan tadi terulang lagi. Waduh saya bingung juga menentukan berapa lama waktu yang bisa kami habiskan di spot terakhir ini, karena saya sendiri belum pernah kemari sebelumnya. Pak sopir malah tampaknya pasrah sekali, semua diserahkan saja pada kami. Setelah berunding beberapa saat lewat perdebatan yang sudah barang tentu tidak alot, akhirnya kami memutuskan untuk berkeliling selama setengah jam saja.  APA!? SETENGAH JAM??? Ya, setengah jam saja. Saya mengiyakan, karena berpikir waktu setengah jam mungkin cukup untuk berjalan dari tempat parkir menuju puncak Bromo. Selain itu juga kami memang agak buru-buru, karena berencana tiba di Malang siang nanti. Oke akhirnya kami berpencar menuju tempat masing-masing yang kami inginkan. Bule-bule Austria langsung tancap gas sewa kuda. Bule-bule Prancis yang tampaknya berbudget minim lebih memilih jalan-jalan keliling padang pasir sambil foto-foto. Sementara saya dan Diga langsung berjalan menuju puncak Bromo. “Ah deket lah ini mah, 15 menit juga sampe” kata saya dalam hati sambil memasang ekspresi wajah licik ala rentenir haus riba.

padang pasir Bromo 1

padang pasir Bromo 2

jeep-jeep warna-warni


15 menit kemudian..(diiringi suara angin bertiup sepi)

Puncak Bromo masih jauh di atas, kami bahkan belum naik tangga. Suram. Pandangan memang menipu. Badan sudah lemah, letih, lesu. Ditambah lagi kami lupa bawa air minum. Ingin membeli, disini tidak ada warung.  Medan berdebu menambah perjuangan berat kami menempuh puncak Bromo (asikk..haha). Perut rasanya kenyang sekali karena terus-menerus menghisap debu yang berhamburan akibat langkah kaki orang-orang dan kuda yang bersliweran dari bawah ke atas maupun sebaliknya. Kalau debu saja mungkin saya tidak kenyang, tapi kalau ditambah ‘abon’ berupa debu bercampur kotoran-kotoran kuda yang sudah kering tapi baunya masih orisinil, siapa yang tak kenyang? Badan rasanya benar-benar lemas karena kadar oksigen juga rasanya agak terbatas. Rasanya saya ingin turun lagi ke bawah, tapi si Diga ini keukeuh mau naik ke puncak melihat kawah. “Masa udah jauh-jauh kemari ngga naik ke atas ngliat kawah Bromo,” katanya. Oke baiklah, lagipula kami ternyata sudah berjalan cukup jauh. Jeep-jeep hardtop yang terparkir di bawah sudah tampak mengecil. Akhirnya kami putuskan untuk teruskan perjalanan.

padang pasir dilihat dari kaki Bromo

lalu-lintas padat

Lama kemudian kami tiba di ujung bawah tangga. Waduh ternyata lalu-lintas orang menuju atas maupun bawah kawah padat sekali sehingga kami harus antri. Kami mulai menaiki tangga sedikit demi sedikit, setiap dua langkah berhenti karena padatnya jumlah manusia. Di tangga yang panjang dan curam sekali ini saya melihat banyak pasangan bule yang hendak naik maupun turun tangga. Usia mereka tua-tua, tapi salut karena masih kuat menghadapi jalan curam sperti ini, walaupun muka sudah merah-merah merona. Saya sempat melihat seorang wanita bule tua terpeleset hingga jatuh terduduk karena tangga ini memang agak licin akibat ditutupi debu. Suami dan orang-orang di sampingnya berusaha membantunya berdiri. Cukup lama ia mampu memaksakan diri, bersusah payah akhirnya ia mampu tegak dan meneruskan perjalanan. Begitu pula halnya dengan saya, penuh perjuangan juga menaiki tangga ini, susah payah saya mengatur nafas. Hingga sekira lima belas menit kemudian, akhirnya saya dan Diga tiba di puncak kawah.

kawah Bromo yang mendidih

MAKHLUK BERTANGAN ‘KOROSIF’ ITU BERNAMA MANUSIA
Pagar-pagar yang membatasi jalan setapak yang mengelilingi kawah Bromo ternyata sudah tidak ada, sehingga kami para pengunjung harus sangat berhati-hati. Salah-salah bisa nyemplung dan jadi daging rebus bau blerang yang ngga enak dimakan. Dari ketinggian sini pemandangan jadi lebih luas dan indah. Puncak Bromo ini dikelilingi oleh bukit-bukit hijau yang jika dilihat dari kejauhan seperti kulit nenek-nenek keriput. Namun agak disayangkan juga di tempat yang indah ini saya mendapati beberapa sampah sedang asyik berserakan, seperti sampah-sampah snack dan bungkus nasi yang sudah dibuang tidak dimakan (si pengunjung ini mungkin sudah agak kenyang, jadi bungkusnya ngga dia makan). Agak miris juga melihatnya, bagaimana tempat yang bagus seperti ini malah tidak dijaga kebersihannya. Kalau terus-menerus dibiarkan, lama-kelamaan kawah Bromo yang besar ini dipakai untuk TPA alias Tempat Pembuangan Akhir. Hii..jangan sampai deh!
Hanya sebentar kami berada di atas puncak, karena waktu sudah mepet. Teringat janji bahwa kami hanya punya waktu berkeliling selama 30 menit. Setelah atur nafas sedikit dan ambil foto, kami kembali turun ke bawah.
Waduh ternyata lalu lintas orang menuruni puncak juga sama padat. Lagi-lagi kami harus antri. Oke lah. “Maafkan kami bule-bule Prancis dan Austria, terpaksa melanggar kesepakatan”  ujar saya dalam hati.
Saat menuruni tangga dari atas puncak Bromo, lagi-lagi saya melihat ulah iseng manusia. Pegangan tangga ini banyak dicorat-coret oleh ABG-ABG labil dengan tulisan-tulisan semacam “Asep Codet was here, Nanang (lambang lope) Atmaji forever.” Adapula yang sekedar memajang nomer HP atau pin BB yang jelas-jelas sangat tidak manfaat. Entahlah, mungkin remaja atau pemuda-pemudi alay ini berharap ada gadis Tengger yang sudi mengirim sms atau BBM pada mereka. Syukur-syukur bisa jadian. Aih makjang, macam FTV sahaja!
Pegangan tangga menuju atas dan bawah kawah ini tampak sudah tidak utuh lagi, sebagian tampak hancur. Tidak seperti foto-foto yang saya lihat di internet. Gas dan material-material korosif Bromo yang tersembur dari kawah saat aktivitas gunung ini meningkat mungkin telah menggerogotinya satu persatu. Saya bertanya dalam hati, “Apakah tangan-tangan kita, makhluk bernama manusia ini, juga ditakdirkan bersifat korosif sehingga apa saja yang kita pegang, kita injak bahkan sekedar lihat seketika akan menjadi rusak, sama seperti material-material dalam kawah Bromo ini? Saat antrian berjalan terhenti, saya memandang ke sekeliling dari atas ketinggian. Pemandangan di sekitar gunung Bromo memang sangat indah. Saya ingin anak-cucu saya kelak dapat melihat sama persis apa yang saya lihat saat ini, tidak kurang sedikitpun. Bukankah mereka bisa melihat ini semua, jika segalanya tetap terjaga?
Tidak terasa, kami akhirnya telah melewati tangga. Saya pun pasang langkah cepat setengah berlari menuruni gunung karena merasa sangat tidak enak pada bule-bule yang satu jeep dengan kami. Sambil setengah berlari saya juga memikirkan alasan keterlambatan ini. Malu juga rasanya karena kami berdua malah ikut-ikutan mempertontonkan budaya ‘jam karet’ pada mereka.
HUHAH! Akhirnya kami sampai di parkiran. Cukup sulit menemukan dimana jeep kami berada, karena kami lupa model dan warnanya. Setelah cukup lama berkeliling dan belum juga menemukan jeep tersebut, kami mulai pesimis. Jangan-jangan para bule dan Pak sopir telah meninggalkan kami di padang luas berdebu, yang sunyi dan dingin ini, hahaha. Ah mungkin ini salah kami juga karena melanggar kesepakatan. Sambil berjalan lemas campur pesimis kami tetap berkeliling. Hei Hei siapa dia! Ternyata kami menemukan jeep kami. Katakan jeep! Katakan jeep! Alhamdulillah kami tidak ditinggal. Saya katakan maaf berkali-kali pada pria Austria dan Prancis atas keterlambatan yang tidak elegan ini. Mereka balas “It’s okay, no problem.” Si pria Austria yang senang bercanda bilang “Karena kamu sudah terlambat, kamu jalan saja ya!” katanya sambil pasang wajah sok serius sambil menunjuk ke arah padang pasir yang luas. Saya balas lelucon tersebut dengan menggaruk perutnya. Kami kemudian tertawa bersama. Saya jadi lega, walaupun tidak tahu apa yang mereka lakukan selama menunggu kami. Mungkin mereka tadi mulai nyeduh pasir Bromo lalu diminum hangat-hangat saking frustasinya, atau juga garuk-garuk muka pakai parutan kelapa untuk membunuh waktu. Ah entahlah, yang penting kami sekarang sudah berada di jeep dan bisa pulang ke kampung Tengger.
Seperti biasa, perjalanan pulang selalu terasa lebih singkat daripada berangkat. Tidak terasa kami sudah sampai di kampung Tengger. Di depan sebuah hotel, Pak Sopir menurunkan keempat bule Prancis dan Austria. Kami mengucapkan salam perpisahan pada mereka. Meskipun pertemuan ini singkat, tapi terasa sangat berkesan. Sayang sekali kami lupa menanyakan ‘Facebook-nya apa, nomernya berapa?’ #NP: Coboy Junior. Saking sibuknya, kami bahkan lupa menanyakan nama mereka! Hahaha.
Kami bertiga: Pak Sopir, Diga, dan saya kemudian melanjutkan perjalanan dan tidak lama kemudian tiba di tempat kami menginap. Saat kami tiba di depan penginapan, sebuah bison sudah terparkir dengan banyak barang-barang di atasnya. Ternyata ini bison yang telah disewa Vebri dan kawan-kawan untuk menuju terminal Probolinggo. Mereka sudah berkemas dan hendak berangkat pulang ke Jakarta pagi ini juga. Vebri keluar dari penginapan. Sebelum menuju bison, ia menghampiri kami dan berkata, “Add pin BB gua ya, nanti gua confirm, soalnya sekarang BB gua lagi mati.” Ia kemudian menyebutkan beberapa huruf dan angka, dan berlalu menuju bisonnya. Kami kembali mengucap salam perpisahan. Pertemanan memang bisa ditemukan dimana saja, seperti cahaya hangat matahari pagi Bromo yang datang dan pergi menerpa wajah kami.
Setelah berpisah dengan Vebri dan kawan-kawan, kami memasuki penginapan dan membereskan barang-barang, kemudian menuju terminal bison di atas, tidak jauh dari penginapan kami yang bisa ditempuh dengan jalan kaki.

***
Kami sudah duduk di bison. Seperti biasa, moda transportasi yang punya motto ‘pantang jalan, sebelum penumpang pingsan karena bosan’ ini cuek saja ngetem lama menunggu penumpang. Baru setelah penumpang benar-benar-benar penuh (kenapa harus pakai kata ‘benar’sampai tiga kali? Karena tiga orang harus duduk di atas bison!), barulah mobil ini sudi berjalan.
Perjalanan menuruni kampung Tengger menuju terminal Probolinggo kembali saya lalui dengan keadaan menahan kantuk yang luar biasa. Saya kesulitan menahan kepala yang lari ke kiri, ke kanan, ke depan dan ke belakang karena saking ngantuknya. Oh iya, ternyata di bison menuju pulang ini kami kembali satu rombongan dengan pemuda-pemudi Jombang yang juga satu bison dengan kami sewaktu berangkat dari Terminal Probolinggo. #Toss dulu biar ngga selek, Bro and Sist!
Di bison ini kesadaran saya seperti terang-redup karena 'tidur-tidur ayam' di sepanjang perjalanan. Angin membelai lembut rambut dan suara dua pasangan Finlandia yang duduk di depan saya sayup-sayup masuk ke dalam telinga. Sumpah, bahasa mereka sangat aneh. Kosakatanya sangat tidak familiar di telinga saya, logatnya sekilas terdengar seperti logat Jampangkulon di Sukabumi. Mungkin inilah yang disebut Finnish.
Bison semakin menjauh dari Bromo, menuruni jalan-jalan berbukit, membelah ladang-ladang sayuran di kiri kanan, dan merambat perlahan di tepian jurang. Setelah melalui perjalanan yang lumayan melelahkan, sekira satu jam kemudian kami kembali menginjakkan kaki di terminal Probolinggo. Bromo menjauh di atas sana, tapi butiran-butiran pasir yang terselip dan tidak sengaja terbawa di lipatan kaki celana membawa serta semua keindahan dan cerita-cerita menarik tentangnya. Sampai jumpa lagi, kawan!



*Photos by Diga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar