
Aku selalu bertanya pada Ibu, apa makna kelam pada malam yang selalu tampak penuh misteri dalam diam. Tapi Ibu tak pernah menjawab, justru Ia hanya tersenyum, lantas berbalik badan dan menutup pintu kamar dan berlalu.
Aku terdiam, berusaha merenungkan makna malam dan kelamnya dalam-dalam. Aku selalu bertanya setiap malam. Setiap lampu kamar mulai Ibu buat padam. Aku selalu bertanya padanya, tiap kali selimut mulai Ia tutupkan ke seluruh badan. Namun, Ia masih tetap diam, lantas tersenyum, kemudian berbalik badan, dan menutup pintu kamarku dalam diam. Itulah yang selalu Ibu lakukan, dan begitulah setiap malam aku saksikan, dan akhirnya kembali aku bertanya, juga dalam diam.
Tapi tidak malam ini, karena Ibu kini bernyanyi. Mendendangkan lagu tentang bulan dan bintang. Tentang bulan, tentang bintang, yang tampak terang benderang di kala malam, di kala orang-orang telah membaringkan badan dengan mata terpejam. Namun aku masih bertanya-tanya dalam diam di kediaman yang dalam.
Setelah berdendang tentang bulan dan bintang itu, Ibu menyelimutiku. Aku heran, karena lampu kamar belum lagi Ia padamkan, saat berlalu dan berdiri di depan pintu. Lama Ia diam di sana, mengembangkan senyum sampai sesaat kemudian lampu kamar Ia padamkan, hingga kamar kembali kelam, kelam dengan perlahan.
Tapi di sana, di ujung kamar, aku melihat segenggam cahaya. Indah sekali, luar biasa indah. Ternyata itu sebuah lampu tidur, kawan. Lampu tidur mungil yang dulu Ibu pernah beli. Bukan main, kawan, tak kusangka benda itu akan bersinar sedemikian indahnya, justru di saat lampu kamar telah padam, di saat malam telah datang, dan di saat langit telah berubah kelam..
Tuhan ternyata mengajarkanku tentang makna kelam lewat tangan-tangan mungil itu, tangan Ibu..
Jatinangor, 7 Mei 2010
Aku terdiam, berusaha merenungkan makna malam dan kelamnya dalam-dalam. Aku selalu bertanya setiap malam. Setiap lampu kamar mulai Ibu buat padam. Aku selalu bertanya padanya, tiap kali selimut mulai Ia tutupkan ke seluruh badan. Namun, Ia masih tetap diam, lantas tersenyum, kemudian berbalik badan, dan menutup pintu kamarku dalam diam. Itulah yang selalu Ibu lakukan, dan begitulah setiap malam aku saksikan, dan akhirnya kembali aku bertanya, juga dalam diam.
Tapi tidak malam ini, karena Ibu kini bernyanyi. Mendendangkan lagu tentang bulan dan bintang. Tentang bulan, tentang bintang, yang tampak terang benderang di kala malam, di kala orang-orang telah membaringkan badan dengan mata terpejam. Namun aku masih bertanya-tanya dalam diam di kediaman yang dalam.
Setelah berdendang tentang bulan dan bintang itu, Ibu menyelimutiku. Aku heran, karena lampu kamar belum lagi Ia padamkan, saat berlalu dan berdiri di depan pintu. Lama Ia diam di sana, mengembangkan senyum sampai sesaat kemudian lampu kamar Ia padamkan, hingga kamar kembali kelam, kelam dengan perlahan.
Tapi di sana, di ujung kamar, aku melihat segenggam cahaya. Indah sekali, luar biasa indah. Ternyata itu sebuah lampu tidur, kawan. Lampu tidur mungil yang dulu Ibu pernah beli. Bukan main, kawan, tak kusangka benda itu akan bersinar sedemikian indahnya, justru di saat lampu kamar telah padam, di saat malam telah datang, dan di saat langit telah berubah kelam..
Tuhan ternyata mengajarkanku tentang makna kelam lewat tangan-tangan mungil itu, tangan Ibu..
Jatinangor, 7 Mei 2010
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapussilakan dipahami makna kelam ini dalam2, azzuhra..
BalasHapus