Kamis, 04 Februari 2010

Sesuatu yang Ditulis tentang ‘Rumah’

Rumah kami sederhana, kawan. Ukurannya tidak besar, karena hanya ada satu ruang tamu, dua kamar tidur, satu kamar mandi dan dapur. Atapnya terbuat dari seng. Jika siang, panasnya luar biasa menyengat. Jika malam, dingin kuat membekap. Lantai rumah kami tidak terbuat dari keramik. Bila musim hujan tiba, kadang air merendam sampai ke lutut orang dewasa karena sungai yang ada di dekat tikungan sana meluap hebat.
Di rumah kami tak banyak barang mewah. Yang mewah itu mungkin hanya sebuah televisi berukuran 14 inchi yang warnanya sudah mulai kabur, karena dibeli bekas oleh Ayah. Sisanya hanya kursi-kursi dan meja, serta satu buah kompor yang ada di dapur.
Rumah kami letaknya di samping sebuah sekolah dasar yang menghadap ke sebuah jalan kecil. Bila pagi datang, terdengar suara keras anak-anak sekolah menghafalkan perkalian. Bila siang hingga sore menjelang, lalu lalang gerobak kuda yang mengangkut jagung hasil perkebunan warga kampung di balik gunung. Beberapa meter di belakang rumah kami ada kandang kuda milik tetangga. Terkadang aku main kesana, melihat tingkah polah kuda-kuda dan anaknya, sebuah pemandangan yang tak pernah kulihat di tempat tinggal kami sebelumnya. Di samping rumah kami ada pohon kapuk. Jika angin bertiup agak kencang isi buahnya akan menghambur seperti salju kumal yang turun bergumpal dari langit. Ibu sering memungut kapuk-kapuk itu untuk dimasukkan ke dalam bantal dan menjahitnya di belakang rumah.
Rumah kami sederhana kawan, tapi aku tenang jika ada di dalamnya. Jika jenuh di sekolah karena kesal dengan teman-teman baru atau hampir ditampar guru karena lupa memasukkan baju, aku teringat rumah. Dan jika lonceng tanda pulang telah dibunyikan, aku segera lari menghambur keluar pagar sekolah menuju rumah. Menemui Ibu yang sedang mencuci, Kakak yang ternyata sudah pulang sekolah dari tadi, dan menyambut Ayah yang tampak letih sepulang bekerja.
Rumah kami memang sederhana, kawan, tapi aku senang ada di dalamnya. Menonton televisi yang hanya menyiarkan TVRI pun tak pernah aku sesali asalkan di rumah. Di luar kadang mengesalkan, tapi disini selalu menyenangkan.
***
Kini kami telah pindah rumah, kawan. Tapi perasaan cinta dan rinduku pada sesuatu bernama rumah tak pernah berubah, masih selalu sama. Tak peduli dimana letak dan bagaimana bentuk rumah kami kini. Hingga akhirnya aku sadar, ternyata bukan rumah itu yang aku cintai dan rindukan selama ini. Bukan rumah itu, tapi ‘rumah’ itulah. Suasana rumah buah karya para penghuninya yang selalu berusaha saling melengkapi di kala susah atau senang, di kala punya atau tak punya, saling membantu berdiri di kala salah seorang dari kami terjatuh dan kemudian memberi motivasi untuk tetap berlari. Suasana indah karya orang-orang di rumah yang selalu menghadirkan tawa dan canda itulah ternyata yang selalu aku rindukan selama ini. Suasana indah hasil karya orang-orang yang membuatku tak pernah merasa berjalan sendiri, karena kami saling memiliki.

“What can money buy, my friends? House, but not home..”


Jatinangor, 31 Januari 2010

1 komentar: