Sabtu lalu saat mampir ke sebuah toko buku di Bandung, tak sengaja saya melihat sebuah buku yang berisi pidato-pidato pemimpin ternama dunia. Cukup menarik, tapi saya punya waktu untuk baca halaman belakangnya saja.
Winston Churchill: bla..bla..bla..(saya tak ingat apa yang ia katakan)
Mikhail Gorbachev: bla..bla..bla..(saya tak ingat juga apa yang ia katakan)
Dan akhirnya sampailah saya pada penggalan pidato Barrack Obama, yang isinya kurang lebih seperti ini:
Saya terlahir dari seorang pria kulit hitam Kenya dan wanita kulit putih Amerika, dibesarkan oleh kakek dan nenek kulit putih Amerika. Saya pernah mengenyam pendidikan di sekolah terbaik di Amerika dan bahkan pernah tinggal di salah satu negara miskin di dunia..
Saya berpikir sejenak, apakah Obama pernah tinggal di Kenya? Ternyata tidak. Obama pernah tinggal di Hawaii, dan Hawaii adalah Amerika. Pilihan terakhir jatuh ke Indonesia, negara yang kita cintai ini, kawan. Oh tidak! Kesal campur tidak terima saya pertama kali memikirkannya. Ternyata seorang Barrack Obama, seseorang yang banyak orang Indonesia banggakan, gadang-gadang dan dukung habis-habisan menjadi pemimpin sebuah negara ‘satpam’ dunia karena pernah tinggal dan sekolah di Indonesia, tega sekali mengatakan bahwa negara kita adalah negara miskin. Saya kesal sekali pada Anda, Obama..
***
Hari sudah sore, saya harus pulang. Lama sekali menunggu sebuah alat transportasi publik milik pemerintah ini. Para calon penumpang termasuk saya sudah berjubel di pangkalan, tak sabar naik transportasi murah tapi tidak meriah ini. Dan ketika bis tua dengan asap hitam knalpot mengepul tampak tiba dari kejauhan, para calon penumpang berhamburan mengejar bis tersebut untuk berebut tempat duduk.
Keadaan di bis padatnya bukan main, dari depan sampai belakang bis ada penumpang yang berdiri. Bahkan ada beberapa penumpang yang duduk tepat membelakangi kaca depan bis, sampai-sampai Pak sopir agak kesulitan melihat kaca spion karena terhalang penumpang. Seorang anak yang tak kuat berdiri dan tampak mulai lemas duduk di lantai bis, dekat kaki saya. Penumpang sudah luar biasa penuh, tapi Pak sopir tetap mengangkut penumpang, sampai akhirnya ada yang harus berdiri di pintu, dan kena angin sepanjang perjalanan. Keadaan di dalam bis sangat tidak nyaman, agak sulit bernafas karena penumpang penuh sesak. “Tak ubahnya sekeranjang ikan-ikan teri”, lebih tepatnya mungkin begitu kata band punk Marjinal untuk menggambarkan keadaan penumpang dalam bis. Ya, memang inilah transportasi publik murah yang baru mampu diwujudkan pemerintah saat ini. Murah memang, tapi belum meriah. Saya jadi ingat, seorang teman pernah bilang, “kalau kamu mau menilai suatu negara sudah bisa dikatakan maju atau belum, lihat saja transportasi publiknya..”. Saat berbincang itu seketika saya langsung teringat Jepang, Singapura, negara-negara Eropa barat, dan negara-negara lain yang transportasi publiknya sudah sangat canggih. Ternyata memang tidak salah kalau hal itu dijadikan indikator. Sejenak saya memperhatikan bis yang nafasnya tersengal-sengal ini dan langsung menyimpulkan, “berarti bis ini kurang lebih juga mencerminkan negara kita ya, ada di strata yang mana.” Ah sudahlah..
Bis sudah berjalan cukup jauh, dan berhenti di sebuah lampu merah. Di lampu merah yang padat kendaraan itu banyak pengemis dan pengamen yang sebagian besar terdiri dari anak-anak, ada juga yang membersihkan kaca mobil dengan kemoceng. Saya berpikir, ini baru di satu lampu merah di satu kota, belum di lampu-lampu merah lain, dan belum termasuk kota-kota besar lain di negri ini. Ternyata jumlah mereka memang sangat banyak, dan ini realita..
Bis sudah berjalan meninggalkan lampu merah tersebut, dan hujan yang cukup deras mulai turun sepanjang jalan. Bis melewati sebuah pasar yang di depannya sampah berserakan, dan karena air hujan yang menggenang, sampah-sampah itu ikut tergenang hampir ke jalan. Sangat tidak indah. Beberapa meter dari pasar itu jalanan juga agak macet karena beberapa mobil angkutan parkir sembarangan untuk menunggu penumpang. Kumuh dan semrawut..
Sangat terasa, akhirnya bis sampai di tempat tujuan. Badan yang sudah letih disambut oleh puluhan tukang ojek yang menawarkan tumpangan. Jumlahnya jauh lebih banyak daripada jumlah penumpang yang hendak menggunakan jasa transportasi itu sendiri. Ironis memang..
Saya berjalan pulang menuju kosan, dan teringat kembali dengan potongan pidato Obama yang membuat saya kesal tadi. Saya berpikir apakah Obama salah, mengatakan negara kita ini negara miskin. Selama ini saya menganggap bahwa negara kita adalah negara berkembang, seperti yang didengung-dengungkan, bukan negara miskin. Tapi pengalaman yang cukup singkat selama perjalanan di bis tadi telah mengikis habis batasan kriteria negara berkembang dan negara miskin dalam pikiran saya. Istilah ‘negara berkembang’ mungkin memang hanya penghalusan dari ‘negara miskin’, atau kalaupun memang ada bedanya, mungkin hanya setipis hitung-hitungan pertumbuhan ekonomi dengan sempoa belaka. Anda boleh tidak terima, tapi bagi saya Obama memang tidak asal bicara..
Serang, 22 Januari 2010
heheee bagus.pilihan kata2nya menarik. kalo yang ini kirim ke koran2 aja. hehe
BalasHapusnegara kita lebih mentingin transportasi buat anggota DPR ama para menteri ketimbang buat rakyatnya.. tega sekali.
okelah,,, KEEP WRITING DEAR... ditunggu cerita2 berikutnya...