Sabtu, 20 November 2010

Mimpi Buruk Kehidupan Materialistik

Kehidupan 'kekinian' yang modern abad ini dan ke depan, mulai saya rasakan makin materialistik saja. Televisi yang saya pandangi sekali-sekali terasa kentara, baik dalam acara, seperti sinetron-sinetron andalan dan iklan-iklan yang ditampilkannya senantiasa menggadang-gadang materi melulu di garis depan. Sebuah iklan misalnya, menggambarkan sebuah keluarga yang menjadi 'bahagia' karena memakai produk-produk elektronik yang mempermudah kehidupan mereka. Masih banyak lagi aneka iklan berbagai produk, tidak hanya produk elektronik tentunya, yang mengaitkan kebahagiaan hidup dengan produk, atau benda , atau materi.
Saya jadi ingat sebuah 'pelatihan dunia kerja' yang saya ikuti di kampus beberapa minggu lalu. Luar biasa sekali nuansa 'materialistik'-nya. Bapak pembicara secara tersirat bahkan kadang tersurat selalu bicara kebahagiaan dikaitkan dengan pendapatan. Alhasil hidup pun akhirnya diukur dari hitung-hitungan matematis-kapitalistik semata. Setiap tahapan hidup didasarkan pada biaya dan tetekbengeknya melulu. Kehidupan yang dideskripsikan si bapak pembicara sepertinya mengusung slogan 'sukses = bergelimpangan harta'!
Kecemasan akan kehidupan 'gila materi' ini mulai menghantui, ketika orang-orang, yang kata Muhammad Asad, mulai menjadikan 'masjid' nya pabrik-pabrik raksasa, bioskop-bioskop, laboratorium-laboratorium kimia, rumah-rumah dansa, karya-karya hydro-elektrik; kyai-kyainya adalah para bankir, insinyur-insinyur, bintang-bintang film, industriawan-industriawan, atau ahli-ahli penerbangan. Masih kata Asad, kebudayaan yang dihasilkan dari kehidupan seperti ini akhirnya menciptakan suatu tipe manusia yang moralitasnya terbatas pada masalah kepentingan praktis melulu, dan kriterianya yang tertinggi tentang baik dan buruk adalah sukses material.
Begitulah materialisme, apapun bentuknya, baik yang mewujud dalam kapitalisme atau komunisme, memang sungguh mengerikan. Materi memang kita butuhkan dalam menjalani kehidupan, tetapi posisinya tentu bukan di garis depan, yang akhirnya justru malah memperbudak dan mendikte hidup kita.
Kita memang sedang berdiri di simpang jalan yang banyak cabang, persis seperti yang digambarkan Asad. Silakan direnungkan..

Jatinangor, 21 November 2010

2 komentar:

  1. yaa,,, good one. hope to see kinda this in newspaper, magazine or even your own published book, oneday.

    BalasHapus
  2. hehe..makasi juro..amin.smoga bisa mnulis lbh bnyak&bermutu lg y..

    BalasHapus