Minggu, 22 November 2009

Kecuali cinta..

di Malang..
Lelaki itu tampak sedang melamun di sebuah tempat berukuran sempit yang dipenuhi buku-buku dan anak kecil yang sedang membaca. Pikirannya tampak kalut, tergambar dari raut wajahnya. Berita dari seorang teman di Surabaya kemarin mengusik pikirannya. Sejenak dilihatnya anak-anak yang sedang membaca, buku-buku yang tersusun rapi, dan ruangan sempit itu. Tidak rela Ia menutup taman bacaan yang sudah diperjuangkannya selama tujuh tahun itu. Ia sudah pernah diusir oleh ayah ibunya, menjual televisi dan apapun yang dimilikinya, bekerja serabutan menjaga stand buku dari satu pameran ke pameran lain hanya untuk mempertahankan taman bacaan itu. Dan kini pantang terasa olehnya untuk menyerah mempertahankan taman bacaan yang sudah mempunyai anggota ribuan anak itu, hanya karena tak ada lagi uang untuk membayar sewa tempat. Tak ada uang yang diperolehnya, karena memang tak pernah ada sepeser pun uang yang Ia pungut dari anak-anak. Ia menarik nafas dalam, membulatkan tekadnya. Besok Ia akan menghubungi temannya di Surabaya itu, dan mengatakan bahwa Ia siap menjual ginjalnya, demi sebuah tempat yang bagi sebagian orang dianggap tak penting.

di Gunung Kidul..
Ini sudah yang kali kelima belas wanita itu jatuh dari sepeda motornya sejak sebulan ini. Lima belas kali terjatuh, dan lima belas kali terluka tentunya. Jalan yang sangat buruk membuatnya sangat sulit mengendarai motornya. Namun kali ini sulit sekali ia membangunkan motornya, makan waktu cukup lama. Ia merasa lelah sekali dan memutuskan untuk beristirahat sejenak. Seketika teringat olehnya kenangan sebulan lalu, sebelum motor itu dibelinya, ketika ia harus menumpang mobil truk setiap hari. Truk apa saja ia tumpangi, truk sayuran bahkan truk pasir sekalipun.
Tapi tidak lama, Ia berhenti bernostalgia ketika dilihatnya jam tangan sudah menunjukkan pukul 06.45. Ia bangun segera dari duduknya, sambil tersenyum Ia meraih sepeda motornya, membangunkan, dan mengendarainya cukup cepat hingga sampai di sebuah tempat yang hendak ditujunya tersebut tepat pukul tujuh. Di sana anak-anak yang
hanya berjumlah enam orang sudah menunggu dan siap menerima pelajaran darinya. Ya, tempat itu adalah sebuah sekolah dasar di sebuah desa yang sangat terpencil. Anak-anak tersebut tampak sangat gembira ketika wanita itu memasuki ruang kelas yang tak tampak seperti ruang kelas. Anak-anak sangat gembira, tapi wanita itu jauh lebih gembira ketika menyaksikan senyuman terkembang dari wajah mereka.


di Jakarta..
Hari masih menunjukkan pukul enam pagi, ketika seorang pemuda berambut gondrong, tato dan anting di telinga kanan-kiri keluar dari kontrakannya yang kumuh. Ia membawa sebuah gitar yang penuh dengan stiker. Hari ini Ia sengaja berangkat lebih pagi untuk ngamen, agar bisa dapat uang lebih banyak. Semakin pagi - semakin sedikit saingan - semakin banyak dapat tempat untuk ngamen - semakin banyak dapat uang, begitu pikirnya. Namun ketika sampai di ujung gang, di pinggir jalan, langkahnya terhenti. Ia terdiam melihat tiga orang bocah yang sedang membawa okulele sedang berlari berebutan naik metromini. Mereka berebutan untuk ngamen, seorang bocah bahkan hampir jatuh karena saling dorong. Tak lama pemandangan itu dilihatnya, metromini dan tiga orang bocah itu sudah berlalu dari pandangannya, tapi Ia masih diam. Beberapa menit kemudian Ia memutar badan, kembali pulang menuju arah kontrakannya. Seketika itu juga Ia memutuskan berhenti jadi seorang pengamen. Ia tidak tahu akan bekerja apa besok, tapi yang pasti Ia merasa jauh lebih kuat dan mampu mencari pekerjaan lain, ketimbang memilih bersaing dengan bocah-bocah yang tidak punya kekuatan, kesempatan, bahkan pilihan itu.


di sebuah bis Damri menuju Bandung
Sore itu penumpang dalam bis cukup padat, tak ada tempat duduk yang kosong. Di tengah perjalanan seorang wanita tua naik ke bis dari pintu belakang. Karena tak ada tempat kosong, Ia harus berdiri. Seorang mahasiswa yang duduk di depan berdiri hendak memberikan kursinya pada wanita itu, tapi terlambat karena seorang penumpang lain telah terlebih dahulu memberikan kursinya pada wanita tersebut. Mahasiswa itu duduk kembali, wajahnya tampak kecewa dan sedih. Kawannnya yang duduk di sebelahnya pun bertanya, mengapa wajahnya berubah seketika menjadi sedih.
Dengan wajah yang masih sedih dan kecewa mahasiswa itu menjawab,
“Saya tak punya apa-apa yang bisa saya korbankan untuk orang-orang seperti mereka, kawan..Tak ada harta, tak pula tenaga. Saya tidak pernah turun ke jalan ketika hak-hak mereka dilanggar. Saya tidak berada di sana, ketika rekan-rekan kita ditembak mati saat memperjuangkan hak orang-orang seperti mereka. Menghentikan sebarisan tank selama lebih dari setengah jam seperti yang dilakukan reka-rekan kita di lapangan Tiananmen? Jelas saya tak mampu. Sekarang setidaknya saya punya kursi yang bisa saya berikan. Inilah lahan dan kesempatan pengorbanan yang tampak kecil, tapi setidaknya besar artinya bagi saya, kawan.. Namun sayang, kini kesempatan itu pun telah hilang seketika. Kawan mungkin tak mengerti. Tapi inilah cara saya, jalan bagi saya, kawan.. Latar belakang kita semua berbeda, kemampuan kita juga tentu berbeda. Lahan pengorbanan kita berbeda, dan cara kita berkorban untuk sesama pun kadang tidak sama..”

Bis terus melaju, dan akhirnya sampai di pangkalannya, di Bandung. Ketika dua orang mahasiswa itu hendak turun dari bis, kawan mahasiswa yang bersedih itu bicara padanya sambil tersenyum dan menepuk pundaknya,
“Saya paham sekarang apa yang kawan sedihkan..”
“Biar, biarlah kita semua berbeda dalam segala hal, kawan.. kecuali cinta, dan rasa yang utuh ketika terlahir sebagai manusia..”


Jatinangor, 22 November 2009


Terima kasih pada Soe Hok Gie dan Andy F. Noya atas inspirasi yang diberikan dalam tulisan ini..

Minggu, 15 November 2009

Monolog Seorang Tukang Nasi Goreng

Hari sudah cukup malam. Pembeli datang silih berganti, satu-satu. Satu datang, satu pergi. Lama sekali selang waktu antara yang datang dan yang pergi, hingga si tukang nasi goreng punya banyak waktu untuk bermonolog. Mulailah ia..
“Ya Tuhan..saya tidak ingat ini malam ke berapa yang saya jumpai sejak hidup di dunia ini. Yang saya tahu setiap pertemuan saya dengan malam adalah bukti kasih sayang Engkau pada hamba..”
“Ya Tuhan..saya tidak ingat berapa uang yang sudah saya peroleh sejak saya berjualan nasi goreng ini. Yang saya tahu, jika saya mencoba menghitung-hitung semua nikmat dari-Mu, maka saya tidak akan pernah dapat menghitungnya..”

***
Seorang pembeli datang, tersentak si tukang nasi goreng. Berhenti Ia bermonolog. Pembeli pergi, Ia lanjut kembali.
“Ya Tuhan..saya ini tukang nasi goreng. Tidak pernah bermimpi punya mobil dan rumah mewah dari hasil berjualan ini. Tidak pernah bermimpi menyekolahkan anak sampai perguruan tinggi. Menyekolahkan anak buat saya hanya formalitas agar kelak ia tidak gampang dibodohi..”
“Ya Tuhan..saya ini tukang nasi goreng. Hidup buat saya hanyalah untuk malam ini, dan apa yang bisa saya dan anak istri makan esok hari. Saya tidak paham apa yang diributkan petinggi-petinggi negara ini di ibukota, tidak mengerti apa itu kriminalisasi, bahkan tak tahu apa dampak korupsi..”

***
Datang lagi seorang pembeli, si tukang nasi goreng kembali tersentak. Ia berhenti lagi bermonolog. Pembeli pergi, Ia lanjut kembali.
“Ya Tuhan..saya ini tukang nasi goreng. Standar kebahagiaan buat saya tidak setinggi langit. Pertemuan dengan malam ini buat saya adalah kebahagiaan, menghabiskan waktu bersama anak dan istri dalam kesederhanaan dengan rizki yang halal adalah kebahagiaan. Kebahagiaan buat saya tidak dinilai dari seberapa besar rumah yang bisa dibangun dan seberapa banyak mobil mewah yang bisa diparkir di halamannya, tapi justru diperoleh dengan cara-cara yang mencederai hak-hak orang lain..”

***
Sudah tak ada pembeli yang datang, bahkan di jalan tak ada lagi orang yang lalu-lalang. Sepi sekali. Malam sudah sangat larut. Si tukang nasi goreng berkemas untuk pulang. Semua sudah dibereskan dan dimasukkan ke dalam gerobak. Ketika hendak mendorong gerobak, tak sengaja dilihatnya tokek sedang menangkap seekor serangga di tembok sebuah warung yang sudah tutup.
Dalam perjalanan pulang menuju rumah, bermonolog lagi Ia dalam hati.
“Ya Tuhan..pembeli malam ini memang benar-benar sepi. Tapi saya tidak khawatir..karena bukankah tidak ada makhluk yang rizkinya tidak Engkau atur, bahkan seekor binatang melata sekalipun..”

Ia tersenyum. Besok siang Ia harus kembali bangun dan mempersiapkan kembali dagangannya untuk menjalani rutinitas malam yang nyaris selalu sama..


Jatinangor, 10 November 2009

Rabu, 04 November 2009

Apakah di Balik Tembok Rumah Sakit Jiwa tak Ada Air Mata?

Saya kenal Asrul (bukan nama sebenarnya) ketika kami sekeluarga pindah dari Padang ke Sawahlunto tahun 1991. Pertama kali saya mendengar namanya dari kedua kakak saya, yang merupakan teman mengaji Asrul di surau. Setiap malam, ketika makan bersama keluarga, kedua kakak saya selalu bercerita tentang tingkah polah teman baru mereka yang bernama Asrul itu. Mereka bercerita tentang sifat Asrul yang lucu, seperti sifatnya yang sangat penakut pada kucing.
Sebelumnya saya tidak begitu kenal Asrul, tapi setelah rumahnya pindah ke belakang rumah saya, kami jadi cukup sering main. Ia hampir sebaya saya, hanya lebih tua satu tahun. Setelah sering main, saya tahu bahwa ternyata Asrul orangnya memang unik dan lucu. Saya ingat dulu ia pernah bilang pada saya saat melihat semut-semut di tembok, “Bayu, semut-semut merah itu adalah semut Belanda, dan semut-semut hitam itu adalah semut Indonesia.” Kata-kata yang masih membuat saya tertawa bila teringat.
Saya sering main ke rumah Asrul. Ia punya banyak mainan yang bagus-bagus, walau belakangan saya sadari bahwa itu memang bukan mainannya, melainkan mainan adik-adiknya. Dari sering main ke rumahnya itu juga saya mulai menyadari ada yang salah dengan sikap kedua orang tua dan kedua adiknya terhadap Asrul.
Ibunya selalu berbicara dengan cara membentak pada Asrul. Sikap ibunya terhadap Asrul sangat kasar, tak jarang ia main tangan, menarik paksa, dan sebagainya. Tindakan seperti itu sering dilakukannya meskipun saat itu saya sedang main di rumah mereka. Setiap hal yang dilakukan Asrul sepertinya selalu salah di mata Ibunya. Ayahnya, walaupun tidak sekejam Ibunya, juga sering memarahi Asrul. Ia tampaknya tak mampu berbuat banyak walau hanya untuk membela anaknya itu.
Ironisnya, perlakuan yang sama tidak pernah didapatkan kedua adiknya. Mereka berdua sangat dimanja. Yang lebih menyedihkan, kedua adiknya malah sering memancing masalah agar Asrul dihukum kedua orang tuanya. Jika Asrul melakukan sedikit saja kesalahan, mereka akan segera lapor pada kedua orang tuanya agar ‘ditindaklanjuti’. Kombinasi yang pas antara kedua orang tua dan kedua adiknya sukses menjadikan rumah sebagai tempat terburuk di kolong langit ini bagi Asrul.
Tahun 1998, saya sekeluarga pindah dari Sawahlunto dan tidak tahu bagaimana nasib Asrul setelah itu. Yang saya yakin pasti kehidupan pada tahun-tahun ke depan akan dijalaninya dengan sulit. Pada tahun 2000, kami sekeluarga berlibur ke Padang dan mampir ke Sawahlunto. Kami bertemu Asrul, dan dia masih tampak baik-baik saja.
Setelah enam tahun tidak pulang kampung, pada tahun 2006 saya sekeluarga kembali berlibur ke Padang, dan kami mampir sebentar di Sawahlunto sebelum menuju Padang. Kami mampir di kantor rumah tahanan negara Sawahlunto, tempat Papa saya dulu bekerja.
Disana kami bertemu pegawai-pegawai rutan yang sebagian juga tetangga kami dulu. Ibu Asrul juga ada disana, tapi Ayahnya tidak ada karena sedang bertugas ke Padang. Secara tidak sengaja kedua orang tua saya bertanya pada Ibu Asrul, bagaimana kabar Asrul dan dimana Ia sekarang. Tapi yang menjawab justru pegawai lain yang dulu juga merupakan tetangga dekat saya dan Asrul.
“Asrul kemarin-kemarin sakit, dan sekarang obatnya sudah habis. Sekarang dia ada disini.” ujarnya.
Kami sangat kaget campur heran. Bagaimana mungkin Ibunya menitipkan anaknya yang sakit di dalam penjara? Pak pegawai itu tak lama pergi ke bawah, ke ruang tahanan, untuk mengajak Asrul bertemu kami. Tidak lama berselang Pak pegawai datang dengan seorang pemuda berpeci dan berkalung tasbih. Pemuda itu tidak tampak sakit, dan tampak tertawa sumringah dari jauh. Setelah melihatnya dari dekat, saya baru bisa mengenali pemuda itu. Dia memang benar Asrul, teman main masa kecil saya.
Dia tidak berhenti tertawa, sikap dan gerak-geriknya ternyata memang menunjukkan bahwa dia tidak baik-baik saja. Ternyata itulah yang dimaksud “sakit” oleh Pak pegawai tadi. Namun ketika Pak pegawai menyuruh Asrul menyalami kami satu persatu, dia ternyata masih mengenali dan masih dapat menyebutkan nama kami satu per satu.
Tidak lama Asrul bertemu kami. Pak pegawai membawanya kembali ke ruang tahanan dengan paksa, tapi Asrul memberontak dan menendang apapun yang bisa ia tendang.
“Asrul dititipkan disini sementara karena jika kambuh ia sering mengamuk”, ujar Ibunya.
“Tapi apakah lantas Ia pantas dititipkan disini?” saya bertanya dalam hati.
Sekian lama ia menderita, dan kini ia harus menunggu kesembuhan yang tidak tahu kapan datang, di sebuah tempat yang tidak seharusnya ia berada, tanpa kasih sayang orang tua pula.
Hari-hari berikutnya kami berada di Padang, kami mendapat kabar bahwa Asrul sudah dibawa ke rumah sakit jiwa di Padang oleh orang tuanya. Sejak saat itu saya tidak pernah mendengar kabar tentangnya lagi.
Sungguh kasihan nasib Asrul, di saat banyak anak (bahkan kedua adiknya) tumbuh dan berkembang dengan siraman kasih sayang yang berlimpah dari kedua orang tua mereka, ia justru dibesarkan dari siraman air matanya sendiri yang terus mengalir.
Asrul adalah perpaduan antara Trapani dan Ari Anggara. Asrul adalah Trapani. Namun jika nasib Trapani berakhir di bangsal rumah sakit jiwa karena kasih sayang Ibunya yang sangat berlimpah, tidak demikian halnya dengan Asrul. Asrul adalah Ari Anggara. Ia memang tidak benar-benar mati, tapi hak-haknya untuk tumbuh dan hidup seperti teman-teman sebayanya sudah tercerabut dan mati. Dan kini, Ia telah benar-benar mati dalam hidupnya..

Tulisan ini tidak akan pernah berarti apa-apa, jika masih banyak orang tua yang memposisikan anak sebagai sebuah posesi, bukan amanat..

Kamis, 29 Oktober 2009

Cinta Tanah Air

Kedua acara di sebuah stasiun televisi pada jam yang berbeda kemarin sore mengangkat isu yang sangat menarik bagi saya. Acara pertama, mengangkat kisah tentang ‘orang-orang yang diizinkan pergi, tapi tak diizinkan pulang’ yang ada di Rusia.
Orang-orang tersebut dulunya adalah orang-orang pilihan yang diberi kesempatan belajar ke luar negri pada masa Orde Lama. Namun sial, ketika rezim berganti, mereka justru dianggap sebagai musuh pemerintah. Mereka tidak diizinkan pulang kembali ke tanah air. Kalau pun memaksa untuk kembali, mereka harus bersiap menjadi seorang tahanan politik, diasingkan, atau mendapat ancaman lainnya. Saat keadaan sudah aman, usaha mereka untuk kembali menjadi warga negara Indonesia terhalang akibat undang-undang kewarganegaraan.
Akhirnya keadaan memaksa mereka berkewarganegaraan Rusia. Mereka bekerja, berkeluarga, dan menghabiskan masa tua di negri orang. Mereka seperti telah putus hubungan dengan tanah airnya. Salah seorang dari mereka bahkan tidak sempat melihat orang tuanya di Indonesia meninggal dunia.
Rasa rindu akan tanah air bukan tak ada. Mereka bahkan masih menyimpan harapan yang besar untuk bisa kembali ke tanah air, menjadi warga negara, dan akhirnya menutup mata di negri sendiri. Diri mereka memang sudah terdampar jauh di Rusia, tapi hati mereka senantiasa terpaut di Indonesia. Orang-orang seperti mereka ini tidak hanya berada di Rusia, tapi juga tersebar di Cina dan negara-negara Eropa Timur pecahan Rusia lainnya.
Acara kedua adalah berita tentang ‘manusia perahu’ dari Sri Lanka, yang saat ini berada di Indonesia karena tertangkap Angkatan Laut Indonesia di perairan Selat Sunda. Keadaan mereka cukup memprihatinkan, banyak dari mereka yang terserang penyakit. Mereka berencana akan ke Australia untuk meminta suaka sebelum tertangkap di Indonesia.
Konflik berkepanjangan antara pemerintah Sri Lanka dan gerilyawan Macan Tamil memaksa mereka meninggalkan Sri Lanka dan melabuhkan mimpi-mimpi untuk kehidupan yang lebih aman dan tentram di negri orang. Tekad mereka untuk meninggalkan Sri Lanka menuju Australia sudah bulat, mereka menolak untuk dikembalikan ke negaranya.
Brinda, seorang gadis kecil yang merupakan satu dari banyak anak yang ikut dalam rombongan tersebut ketika ditanya oleh reporter perihal apakah ia mengerti mengapa ia sekarang berada di kapal itu, menjawab (dengan Bahasa Inggris yang menurut saya sangat bagus): “Kami telah tinggal di sebuah hutan yang penuh dengan binatang buas dan tanpa air sebelumnya. Saya sangat sedih dengan keadaan anak-anak seusia saya di kapal ini, tapi kami anak-anak ingin belajar dan butuh masa depan yang lebih baik..”
Brinda sangat paham mengapa ia ada disana. Ia, anak-anak lain, beserta orang tuanya sepertinya sadar bahwa mereka tidak akan pernah mampu mewujudkan harapan untuk menjalani kehidupan yang lebih baik jika mereka tetap tinggal di Sri Lanka, tempat dimana hari-hari mereka hanya dipenuhi rasa takut.
Kedua kisah ini berbeda, tapi menurut saya sebenarnya mengisyaratkan isu yang sama: rasa cinta pada tanah air. Kisah yang pertama adalah tentang orang-orang yang ingin kembali ke tanah air karena masih cinta. Sedangkan kisah yang kedua adalah tentang orang-orang yang ingin pergi dari tanah airnya, karena kehidupan yang tidak tentram telah mengikis cinta mereka.
Rasa cinta pada tanah air mungkin juga merupakan sebuah pilihan. Orang-orang pada kisah yang pertama memilih untuk tetap mencintai, sedangkan orang-orang pada kisah yang kedua sepertinya memilih untuk berhenti mencintai. Rasa cinta itu sepertinya dipengaruhi keadaan, dan negara mempunyai pilihan untuk memperbaiki keadaan tersebut atau tidak.
Menurut saya, negara bertanggung jawab dalam memelihara rasa cinta rakyat terhadap tanah airnya, dan rasa cinta itu akan terpelihara dengan baik jika negara dan rakyat saling mencintai secara sehat, ‘saling memberi dan menerima’. Saya kurang sepakat dengan kata-kata Abraham Lincoln, “Jangan tanyakan apa yang bisa negara berikan pada anda, tapi tanyakanlah apa yang bisa anda berikan pada negara.” Ah, Lincoln mungkin lupa. Lupa bahwa kita tidak bisa mengikuti upacara bendera dengan khidmat jika perut kosong.

Silahkan tidak sepakat..

Jumat, 16 Oktober 2009

'Sajak Ibu', oleh Widji Thukul..

Sajak Ibu

Ibu pernah mengusirku minggat dari rumah,
tetapi menangis ketika aku susah..
Ibu tak bisa memejamkan mata
bila adikku tak bisa tidur karena lapar..
Ibu akan marah besar,
bila kami merebut jatah makan
yang bukan hak kami..
Ibuku memberi pelajaran keadilan
dengan kasih sayang..
Ketabahan Ibuku
mengubah sayur murah
jadi sedap


dengan kebajikan..
Ibu mengenalkanku kepada Tuhan..


Saya suka sekali puisi karya Wiji Thukul ini. Bahasanya tidak meng”Kahlil Gibran”. Sebaliknya, Thukul menggunakan bahasa yang sederhana, isi puisinya pun sama sederhana. Tapi justru dengan kesederhanaan itu Thukul mampu mencitrakan Ibu sebagai makhluk paling manis di dunia. Satu lagi, puisi ini juga menyiratkan bahwa di balik perlawanan Thukul yang keras, ternyata ada kasih sayang seorang Ibu yang lembut..
Akhirnya, atas nama Wiji Thukul (yang sampai detik ini belum diketahui keberadaanya), saya mempersembahkan puisi ini untuk Ibu di seluruh dunia..

Rabu, 07 Oktober 2009

bicara tentang Papa

Saya tidak ingat bagaimana peristiwa awal kami berjumpa..tapi yang pasti itu adalah peristiwa yang penuh suka dan cinta. Kami memang tidak pernah berkenalan sebelumnya..Tapi yang saya tahu, lelaki yang dulu tinggi, kurus, dengan kumis dan jenggot itu saya panggil "Papa".
Papa adalah orang yang sangat keras, tapi saya tahu kalau dia sangat menyayangi saya..Papa adalah teman yang setia menemani saya selama 21 tahun, membawa saya bertualang dari satu pulau ke pulau lain, dari satu kota ke kota lain, dan dari satu rumah ke rumah lain. Papa membantu saya melihat banyak hal yang tidak banyak dilihat oleh anak-anak seusia saya saat itu. Papa membantu saya bertemu, belajar, dan menjalin pertemanan dengan orang-orang yang berbeda di berbagai tempat. Banyak sekali cerita yang Papa tuliskan di pikiran saya..dan saya tak akan pernah menghapusnya..
Terima kasih,Papa..
Tulisan ini untukmu..Papa juara 1 sedunia yang tak ada tandingannya.


Jumat, 15 Mei 2009

Bangsa yang Beradab

Tadi malam dua orang mahasiswi Malaysia menghampiri saya dan teman-teman ketika sedang bermain skateboard. Mereka meminta kami menjadi objek penelitian untuk skripsi mereka. Setelah bersedia, kami mengisi formulir, melakukan pemeriksaan denyut nadi dan sebagainya.

Melalui pertemuan dan sedikit perbincangan singkat dengan mereka, saya menyimpulkan bahwa mereka adalah orang-orang baik dan beradab. Tidak terlintas di pikiran saya bahwa mereka adalah orang-orang barbar seperti yang dikabarkan media, orang-orang yang berasal dari bangsa yang suka menganiaya saudara-saudara sebangsa kita yang mencari nafkah di negara mereka, menyebut bangsa kita dengan sebutan “indon”, atau menikahi gadis bangsa kita tapi kemudian mencampakkannya. Tentu saya tidak seratus persen benar, karena bukankah tidak mungkin menilai seseorang, baik atau jahat, hanya dalam waktu beberapa menit saja. Namun jika ternyata mereka memang adalah orang-orang baik, berarti mereka hanya sial, sial karena menjadi korban overgeneralisasi, korban pukul rata, korban penilaian sepihak.

Terlepas dari itu semua, kita sebagai bangsa sebaiknya juga berkaca pada diri sendiri. Selama ini kita hanya sibuk berkoar-koar, menganggap diri paling beradab,penuh sopan santun dan tata krama, walaupun perilaku kita terkadang masih jauh dari itu semua. Padahal bukankah tak ada satu pun bangsa di muka bumi ini yang ingin disebut sebagai bangsa yang tak beradab? Kita mungkin terlalu terlena mengamati tingkah polah bangsa lain, hingga lupa mengamati diri sendiri..

Pendapat ini sangat subjektif. Jangan terpengaruh, karena saya sangat mungkin salah..

Selasa, 12 Mei 2009

Sebuah Permulaan

SAYA INGIN BICARA..DAN TENTU SAYA INGIN PULA DIDENGAR..
Itulah alasan saya membuat blog ini..