Kamis, 29 Januari 2015

Jawaban di Ujung Perjalanan

Perasaan apa yang muncul di hatimu jika mendengar kata Ramadhan? Sebagian besar tentu menjawab, kebahagiaan. Tapi bagiku, kata Ramadhan memunculkan dua mata perasaan. Tidak hanya kebahagiaan, tapi juga kesedihan. Terlebih jika aku harus mengingat-ingat kisah masa lalu.  Kisah  yang sudah lama berlalu, tapi tetap membekas di hatiku. Kisah yang mengejutkan di malam awal Ramadhan.
***
“Hati-hati ya, Nak. Hati-hati, Nak” berulangkali ibu mengucapkan kata-kata itu seraya memeluk erat, mengusap rambutku berkali-kali dan mencium keningku penuh haru. Air mata mengalir deras di sudut matanya. Ia tak sanggup lagi menahan ledakan emosi dalam dadanya. Perpisahan ini seolah-olah adalah pertemuan terakhir kami. Seolah-olah kami tak akan pernah bertemu lagi. Aku tak mengerti, apa yang sebenarnya terjadi. “Bukankah kami hanya pergi beberapa hari saja untuk menghabiskan liburan sekolahku dan kembali saat Ramadhan tiba?” tanyaku dalam hati.
Suara pria yang menyebalkan itu tiba-tiba memecah kesenduan.“Sudah siang! Mau berangkat jam berapa?” tanyanya nyinyir dengan nada tinggi bahkan setengah membentak. Aku menoleh padanya dengan wajah memerah dan balas membentak “Sabar! Ini juga udah mau jalan!” Setengah berlari akhirnya kususul ia yang tengah menaikkan dua buah koper berukuran jumbo ke mobil. Aku memandang koper-koper itu sekilas. Jumlah dan ukuran koper yang terlalu besar. Bahkan terlalu besar jika hanya untuk bepergian beberapa hari saja, pikirku.

Di depan pintu rumah, ibu berdiri lunglai. Ia tak henti meneteskan air mata saat melihat dua laki-laki yang begitu ia cintai dalam hidupnya berlalu dan perlahan hilang dari pandangan. Dua orang lelaki, yang sepertinya tidak akan pernah bersatu. Dua orang yang selalu saling tatap dengan penuh rasa benci.  Dada ibu semakin terasa sesak, mengingat buruknya hubunganku dengan pria itu selama ini.  Di usiaku kini yang sudah menginjak tujuh belas tahun, aku tak pernah merasa benar-benar memiliki seorang ayah. Begitupun dengan pria itu, ia juga sepertinya tak pernah merasa punya seorang anak. Seseorang yang bisa ia banggakan. Ada dinding yang begitu besar dan kokoh terbangun di antara kami berdua. Dinding yang membuat hubungan kami tak ubahnya air dan api.
Air semakin deras mengalir dari mata ibu, saat ia mulai menyalahkan suaminya, pria yang sedang bersamaku. Pertanyaan yang menyakitkan terus menghantuinya. “Mengapa suamiku tak pernah mampu melakukan apa yang aku lakukan: menghancurkan dinding penghalang itu?”
***
Mobil jeep yang kami kendarai melindas jalan-jalan tak beraspal dan berliku membelah hutan. Sudah dua hari kami menghabiskan waktu di perjalanan, masuk hutan keluar hutan, tapi tak satu katapun terucap dari mulut kami masing-masing. Takada percakapan apapun. Soal sekolah, pekerjaan atau sekedar obrolan-obrolan ringan dan hangat layaknya seorang ayah dan putranya. Selama perjalanan, aku hanya sibuk dengan musik dari mp3 player yang mengalir lewat earphone-ku. Sementara pria itu, tetap larut di balik kemudi dengan berbatang-batang rokok yang entah keberapa ia hisap. Suasana di luar begitu hening, tapi atmosfer di dalam mobil takkalah dingin. Aku memandang wajahnya sesekali, sembunyi-sembunyi. Ia tampak kelelahan menahan beban ribuan ton di pelupuk matanya, karena perjalanan berhari-hari diselingi hanya beberapa kali istirahat.
Tiba-tiba..BRAAAAK!!! Suara yang sangat keras terdengar hebat. Kepalaku terasa berputar-putar. Seluruh badanku terasa remuk.  Setelah itu, aku tak ingat apa-apa lagi.
***
Mataku sedikit demi sedikit terbuka. Perlahan aku bisa melihat dengan jelas sekelilingku. Kami berada di hutan yang sangat lebat. Matahari hanya mampu mengintip sedikit saja karena pepohonan begitu rapat. Aku melihat pria itu sedang berusaha mengeluarkan beberapa peralatan dari mobil yang sudah terjungkal dan ringsek parah. Mobil kami terjerembab ke jurang dalam. Namun beruntung kami berdua masih selamat. Karena melihatku sudah sadar, ia menghampiri dengan tertatih. Kakinya pincang. Lukanya tampak serius.
“Kamu sudah bangun, Jane?” tanyanya datar, berusaha terlihat dingin. Aku melihat tanganku yang sudah dipenuhi luka-luka kering. Kepalaku pun, ternyata sudah dibalut kain. Kami memang selamat, tapi persoalan berikutnya menanti. Bagaimana bertahan di jurang berhutan rapat ini sampai bantuan datang?
Bertahan hidup di hutan belantara dengan fisik penuh luka sungguh mengerikan. Terlebih lagi kami hanya bertahan dengan sisa tiga bungkus roti dan satu botol air mineral. Berkali-kali aku putus asa, jika mengingat sudah berhari-hari kami terjebak di sini, namun belum ada satu orangpun yang datang menolong. Tapi di balik situasi mengerikan ini, ada hikmah terselubung bagi diriku, bagi pria itu. Ganasnya hutan, keadaan yang serba tak pasti perlahan mencairkan hubungan kami. Setiap usaha bahu-membahu untuk bertahan hidup ternyata menyatukan emosi kami. Dan dalam situasi seperti ini, perlahan aku mulai melihat sisi yang lain dari dirinya. Sisi berbeda yang tak pernah kuketahui sebelumnya. Kasih sayang, perhatian, dan kelembutan, yang aku pikir ia tidak terlahir untuk miliki. Aku melihat ketulusan dalam dirinya.
Puncak mencairnya hubunganku dengan pria itu adalah malam ini, di malam keempat kami terjebak di tempat ini. Keputusasaanku sudah sampai di titik puncaknya. Bagaimanapun aku hanya seorang anak muda berumur tujuh belas tahun. Keadaan ini begitu mengerikan bagiku. Sudah tiga hari, kami tidak lagi makan dan minum. Mencari makan di alam liar tak semudah seperti di film Rambo. Badanku luar biasa lemasnya. Kami berbaring di lantai hutan beralaskan baju yang sudah berhari-hari tak diganti. Ia terbaring di sampingku. Mata kami tertuju ke langit malam yang dipenuhi bintang.
“Dua hari lagi Ramadhan..” setengah berbisik aku berkata, seolah bicara pada diriku sendiri. “Yah..” tanpa sadar aku memanggilnya dengan sebutan itu. Mungkin ini yang pertama kali dalam hidupku. Ia memandangku dengan lemah. Ada raut bahagia yang tak bisa ia sembunyikan saat mendengar panggilan itu.“Kalau kita selamat, aku ingin Ramadhan nanti jadi titik awal permulaan hidupku. Aku ingin memulai hidupku yang baru, bersamamu..” aku berucap setengah terbata.
“Aku ingin menikmati setiap momen di bulan Ramadhan nanti bersamamu, bersama ibu juga, kalau kita memang diberi kesempatan kedua, kesempatan untuk melanjutkan hidup. Tapi jika Tuhan menginginkan yang lain, aku tetap bahagia. Setidaknya aku mati di sampingmu. Diberi kesempatan untuk mengenalmu lebih dalam. Melihat sisi lain yang tak pernah kutemui pada dirimu sebelumnya. Dan, setidaknya aku telah melihat sosok ayah yang nyata dalam hidupku sebelum aku pergi” aku meneruskan ucapanku dalam hati. Tak terasa pipiku terasa hangat. Air mata ternyata telah membasahi. Aku pejamkan mata agar tak mengalir semakin deras. Tapi itu tak menolong.
“Kita akan selamat, Nak. Kita akan selamat.” Pendengaranku mulai tak jelas, tapi aku bisa mendengar panggilan ‘Nak’ itu. Untuk pertama kalinya aku mendengar kata itu keluar dari mulutnya. Aku tak bisa berucap apa-apa lagi. Aku tak punya energi lagi. Bibirku mengeras karena lama tak tersentuh air. Rasanya sulit untuk tersenyum. Mataku mulai layu, tapi langit malam itu tampak begitu jernih sehingga bintang-bintang terlihat sangat bercahaya. Aku menggigil kedinginan dan mulai terpejam, tapi bisa merasakan seseorang menyelimutiku dengan sebuah jaket dan mengusap kepalaku sambil berkata, “kita akan baik-baik saja. Kita akan baik-baik saja, Nak.” Malam itu, cinta, kepedulian, kehangatan dan kasih sayang mengudara. Akhirnya aku menemukannya, dan ia menemukanku, di tengah perjalanan panjang ini.
Tak disangka, keesokan harinya, setengah sadar aku mendengar suara orang ramai-ramai. Para pembuka ladang yang sedang menyusuri hutan secara tak sengaja menemukan kami siang itu.
***
“Ayah capek ngga? Kalau capek, kita istirahat saja dulu sebentar” tanyaku padanya yang sudah terlihat sangat kelelahan.
Ngga kok. Kita lanjutkan saja. Rumah teman ayah sudah dekat. Sebentar lagi kita sampai”  jawabnya hangat.
Setelah cukup jauh berjalan, akhirnya kami sampai di teras sebuah rumah kayu di atas bukit. Rumah itu adalah ujung dari perjalanan ini. Ada hawa yang begitu aneh menyeruak dalam hatiku sedari masuk pekarangan rumah itu. Tapi aku taktahu itu apa.
Lama ayah baru mengetuk pintu. Getaran tangannya mengisyaratkan sebuah keraguan yang besar. Taklama kemudian langkah seseorang terdengar dari balik pintu. Sseorang pria seumuran ayah. Ia tampak bersahaja dengan baju muslimnya, bersiap menuju mesjid untuk menunaikan salat tarawih pertama di bulan Ramadhan ini.Wajahku layu seketika berhadapan dan berbagi pandang dengan lelaki itu. Aku melihat diriku dalam dirinya. Ia seperti replika saat aku kelak dimakan usia. Belum lagi keterkejutan yang luar biasa menghampiri, seorang wanita seumuran ibuku muncul dari dari belakang punggung pria itu. “Siapa, Pak?” tanyanya lembut penuh hormat pada suaminya.
Keterkejutanku semakin menjadi-jadi, saat tatapanku jauh masuk ke dalam mata wanita itu. Kupandang lekat-lekat bola matanya. Coklat muda. Warna yang sama dengan yang kupunya. Aku hilang tenaga. Raut wajahku kini sangat kontras dengan wajah sumringah kedua orang di hadapanku yang seolah kedatangan tamu yang telah lama mereka tunggu-tunggu. Semua puzzle kini telah terkumpul, membentuk sebuah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan: Apa tujuan perjalanan panjang ini? Untuk apa aku dibawa ke tempat asing ini? Apa isi dua koper berukuran besar yang dibawa ayah? Dan mengapa ibu tak kuasa menahan kesedihan saat melepasku?
Perasaan yang bergejolak dalam dada tak lagi mampu kutahan. Air mata ternyata telah membasahi pipi. Kulayangkan pandangan ke arah ayah yang tepat berdiri di sampingku, memberi isyarat untuk meminta penjelasan. Ia tampak gugup dan berusaha mengalihkan pandangan. Sesekali ditengadahkannya wajah, menahan air mata. Kini aku sadar, apa yang menyebabkanku dan dirinya begitu berbeda dan sulit untuk bersatu. Mengapa selama ini –bahkan sampai saat usiaku menginjak dewasa- selalu ada semacam penghalang yang membuatku merasa jauh darinya. Penghalang yang aku sendiri tidak tahu itu apa.
Adzan Isya di malam pertama Ramadhan sayup-sayup sampai di telinga, menambah sendu suasana. Hatiku hancur berkeping-keping. Mengapa harus kuterima kejutan pahit ini, saat kasih sayang dan kedekatan itu sudah mulai terbangun di hatiku, pun di hatinya. Saat tembok penghalang yang kokoh itu sudah mulai berhasil kami robohkan.

Kini kutahu, mengapa tak semua pertanyaan harus menemukan jawaban.
        
         Bandung, 4 Juli 2013

*Dimuat dalam buku antologi cerpen Kejutan Sebelum Ramadhan oleh penerbit independen Nulisbuku


Bayu Permana Sukma lahir di Lubuksikaping, sebuah kota kecil di utara Sumatra Barat. Satu setengah tahun belakangan sibuk merenung di Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran, sambil sesekali mengunjungi tempat-tempat baru untuk menikmati matahari terbenam.

Minggu, 24 Maret 2013

Bangka-Pangkalpinang, Traveling Pangkal Senang!

"Di rumah, kamu tahu 'apa' Ayahmu. Tapi di perjalanan, kamu tahu 'siapa' Ayahmu" 
-Bayu Permana Sukma-


Tidak ada alasan diam di rumah untuk liburan kali ini. Setelah menghadapi badai kencang kuliah, tugas yang menumpuk selama hampir enam bulan, serta prahara –meminjam istilah berita-berita politik yang bombastis di televisi- UAS, saya memutuskan harus travelling bulan Februari ini. Meskipun belum punya destinasi dan partner berjalan, saya tetap optimis berangkat dari Bandung ke rumah dengan membawa ransel besar dan banyak pakaian.
Setitik cahaya terang akhirnya muncul di suatu pagi yang cerah, ketika Bapak saya yang baru saja pulang dari Padang beberapa hari lalu muncul di depan pintu kamar dan tiba-tiba berkata, “Coba dicek berapa harga tiket ke Pangkalpinang!” Nah, inilah dia travelmate saya kali ini, dan kesanalah saya akan pergi.
Destinasi utama yang telah lama saya idam-idamkan sendiri sebenarnya adalah Belitung, pulau yang terletak di sebelah kanan Bangka. Tapi tidak masalah, kami berencana akan tetap kesana dengan kapal dari Pangkalpinang, dan pulang ke Jakarta dari Tanjungpandan, Belitung. Walhasil, terpesanlah tiket Lion Air tujuan Jakarta-Pangkalpinang untuk keberangkatan tanggal 2 Februari dan tiket Batavia Air tujuan Tanjungpandan-Jakarta untuk keberangkatan tanggal 8 Februari. Namun malang tak dapat ditolak, belum lagi kami berangkat, berita bahwa Batavia Air tak lagi beroperasi alias gulung tikar sampai juga di telinga. Itu artinya kami belum punya tiket pulang, dan tiket yang sudah dibayarkan untuk sementara harus rela diikhlaskan. Meskipun demikian, kami memutuskan tetap berangkat karena menjunjung tinggi prinsip “sekali layar terkembang, pantang untuk bersurut” yang diinspirasi oleh sebuah jargon salah satu ormas. Wow bukan?

Pangkalpinang, 2 Februari 2013
Pesawat yang kami tumpangi mendarat di bandara Depati Amir, Pangkalpinang, tepat pukul empat sore. Waktu tempuh Jakarta-Pangkalpinang sendiri adalah satu jam sepuluh menit. Cuaca kota Pangkalpinang menyambut cerah dengan sedikit awan. Saya heran juga, karena di Jakarta sendiri sebelumnya langit sangat gelap dan hujan deras sedari pagi. Setibanya di Depati Amir, kami langsung dijemput oleh sepupu saya, alias keponakan Bapak saya, alias anak dari adik Bapak saya, atau cucu dari Mbah saya. Oke, cukup Ani!
Kota Pangkalpinang kurang lebih mirip dengan kota-kota ibukota kabupaten (meskipun kota ini sudah berubah status menjadi ibukota propinsi sejak kepulauan Bangka-Belitung membentuk propinsi sendiri) lain di pulau Sumatra: tidak besar, tapi setidaknya menjanjikan ketenangan.
Mungkin tidak banyak objek wisata di Pangkalpinang. Namun bagi saya sendiri, melihat-lihat kota yang baru pertama kali saya kunjungi sudah cukup menjadi hiburan tersendiri.  Kalau ke Pangkalpinang, mampirlah ke Taman Merdeka alias alun-alun kota untuk sekedar duduk-duduk menikmati suasana kota di sore atau malam hari. Di kota Pangkalpinang juga terdapat Museum Timah, lokasinya tidak jauh dari rumah sepupu saya, tapi sayang saya tidak sempat kesana.
Untuk soal makanan, disini ada mpek-mpek, otak-otak dan banyak lagi. Tapi pemuncak klasemen kuliner yang sangat saya rekomendasikan jikakalian  berkunjung ke Pangkalpinang adalah mie kobak. “Mie Kobak adalah mie yang dibuat dengan cara dikobok-kobok” kata Bapak saya. Hahahaha, tapi sebenarnya tidak demikian. Itu cuma analisa serampangan beliau belaka. Mie kobak adalah mie yang disiram dengan kuah ikan dan disajikan dengan telur rebus. Untuk rasa, jangan ditanya. Apalagi kami ditraktir, hahaha lagi.
Saat kami ke Pangkalpinang, disana juga sedang musim durian, jadi para pedagang durian beserta duriannya  mudah dijumpai di pinggir-pinggir jalan. Rasanya tak kalah lezat dibanding durian di kedai Durian Jatohan Haji Sulam.
Selain mie kobak dan durian, yang terkenal di Bangka (khususnya kota Sungai Liat) adalah kue Hoklopan alias martabak Bangka. Buat kalian pecinta martabak Bangka, belum lengkap rasanya jika ke Bangka tidak mencoba martabak langsung dari tempat kemunculannya. Martabak Bangka sendiri disini kebanyakan dibuat oleh etnis Tionghoa, mungkin karena itulah makanan ini disebut Hoklopan. Kalau orang Jepang yang membuat, mungkin namanya jadi Hokahokabento, atau jika dibuat oleh orang Indian, namanya jadi Hokahontas. Kalau orang Sunda yang membuat, mungkin namanya Hoksiahkuaing. (untuk nama-nama lainnya, silakan mengarang sendiri sesuai kemampuan. Zzzzz...)

Pangkalpinang, 3 Februari 2013
Hari kedua di Bangka kami habiskan dengan jalan-jalan menengok pantai seharian, karena itulah kami berangkat keluar rumah sedari pagi. Pantai yang akan kami kunjungi sendiri terletak di kota Sungai Liat, sebuah ibukota kabupaten lain di pulau Bangka. Konon katanya, pantai-pantai yang bagus di Bangka sebagian besar memang berada di kota Sungai Liat. Terdapat juga pantai-pantai yang bagus di daerah Muntok, Bangka bagian Timur. Namun sayang jarangnya cukup jauh dari Pangkalpinang, yaitu sekitar 3 jam perjalanan dengan mobil.
Pangkalpinang-Sungai Liat sendiri dapat ditempuh dalam waktu sekira 30 menit saja dengan menggunakan mobil. Pantai yang terkenal disini adalah Pantai Parai dan Pantai Matras.
Pantai Parai yang berpasir putih  memang indah. Lokasinya cukup eksklusif, karena berada dalam kawasan sebuah hotel mewah. Karena itu biaya masuknya pun cukup menohok, Rp 25.000 per orang! Karena tidak begitu banyak pengunjung, suasana di sekitaran pantai begitu tenang dan sangat bersih. Sangat cocok untuk menjemur pakaian, eh berjemur maksudnya. Di pantai ini terdapat sebuah jembatan buatan kecil yang menghubungkan pantai dengan ‘pulau’ batu. Pemandangan dari pulau batu ke arah laut sangat indah. Birunya air laut seakan membaur dengan birunya langit jika cuaca sedang cerah.  Jika kalian kemari, duduklah di batu-batu besar. Biarkan angin meniup lembut rambut kalian dan gunakanlah momen-momen tersebut untuk melamun atau sekedar merenung. InsyaAllah hanyut.
Setelah selesai berurusan dengan Pantai Parai, kami melanjutkan kunjungan ke Pantai Matras. Lokasi pantai ini tidak jauh dari Pantai Parai. Untuk masuk ke kawasan Pantai Matras, kita harus membayar Rp 10.000 per orang (kalau tidak salah, soalnya lupa lagi. Maklum dibayarin). Jika Pantai Parai dikelola swasta, maka Pantai Matras dikelola oleh pemerintah daerah. Pantai Matras tentu saja tidak sebagus Pantai Parai. Berbeda dengan pantai Parai, di pantai ini tidak terdapat batu-batu besar, melainkan pasir putih yang memanjang jauh. Disini suasananya lebih ramai. Banyak juga pedagang-pedagang makanan, dari baso sampai jagung bakar di tepi-tepi jalan. Beberapa keluarga menggelar tikar di bawah pohon sambil menyantap bekal makan siang yang sudah disiapkan dari rumah. Di pantai ini juga terdapat orang-orang yang menyewakan kuda. Barangkali ingin mencoba naik kuda laut, alias kuda di tepi laut, silakan mencoba. Untuk ongkosnya, silakan saja tanya mamangnya.
Sesuai rencana, Mas Hudi alias sepupu saya, akan membawa saya dan putranya ke pantai yang jauh lebih ekslusif, tapi enak untuk berenang. Maka setelah makan baso di Pantai Matras, kami pun beranjak ke sebuah pantai yang tersembunyi di balik ilalang dan diapit oleh batu-batu besar. Lokasinya mungkin terletak di antara Pantai Matras dan Pantai Parai.  Begitu sampai di pantai ini, tanpa ba-bi-bu lagi saya pun langsung “byur!”, karena tidak ada pengunjung lain. Eksklusif habis, sudah macam pantai pribadi.
Sore mulai menjelang, kami pun beranjak pulang ke Pangkalpinang. Di kota Sungai Liat sebelum pulang kami mampir dulu di sebuah warung makan yang menyediakan menu utama pindang patin. Rasanya? Cukup aneh, hahaha. Mungkin karena saya memang tidak suka ikan patin. Tapi bagi kalian penggemar Patin Shidqia, si kontestan lomba nyanyi di X-Factor itu, tentu wajib mencoba. Ngga ada hubungannya juga sih, da eta mah Fatin, lain Patin! #okegaring.
Pada perjalanan pulang ke Pangkalpinang ini kami mengambil jalur timur yang berbeda dengan jalur keberangkatan sebelumnya. Kata Mas Hudi, pemandangan di jalan lintas timur lebih bagus dan banyak yang bisa dilihat, meskipun jaraknya bertambah jauh. Di sepanjang jalan pulang ini terdapat garis-garis pantai yang memanjang, perkampungan orang-orang Tionghoa, kuburan Cina, klenteng besar berwarna merah menyala, sebuah jembatan panjang, dan di kiri kanan, tambang-tambang timah yang masih aktif maupun yang sudah ditinggalkan berbekas serta menyisakan danau-danau kaolin berwarna biru muda cerah.

Pangkalpinang 4 Februari 2013
Saya sudah mulai berkemas sedari pagi, mandi dan dandan rapi. Siang pukul satu, kami akan ke Belitung dengan menggunakan jetfoil alias kapal cepat. Tiket sudah dipesan dari kemarin. Harganya kalau tidak salah sekitar Rp 230.000 untuk satu orang. Cukup mahal memang, karena kami membeli tiket untuk kelas VIP. Untuk kelas ekonomi, harganya di kisaran seratus ribuan. Atau bisa juga gratis, kalau pintar menyamar jadi barang atau awak kapal.
Kami harus berangkat hari itu juga, karena esok harinya tidak akan ada jadwal pelayaran ke Belitung. Setiap hari Selasa jadwal pelayaran memang tidak ada, jadi aturlah jadwal trip kalian setepat mungkin jika hendak transit di Pangkalpinang sebelum ke Tanjungpandan.
Sebagai informasi, selain menggunakan jasa transportasi kapal, kita juga bisa menggunakan pesawat. Namun harganya tentu lebih mahal. “Bisa seharga tiket Tanjungpandan-Jakarta!” kata sepupu saya. Selain itu, pesawat yang digunakan adalah pesawat ukuran ¾ (hahaha, bis kali, ¾.) Yang pasti ukuran pesawatnya jauh lebih kecil, hanya bisa menampung sekitar 30-40 orang. Waktu tempuh Pangkalpinang-Tanjungpandan dengan menggunakan pesawat kecil sama dengan waktu tempuh Pangkalpinang-Jakarta dengan menggunakan pesawat besar. Wuaduh bukan?
 Mendengar cerita-cerita sepupu saya saat menggunakan pesawat tersebut dari Pangkalpinang ke Tanjungpandan dan sebaliknya membuat nyali saya ciut mengkerut sperti siput ditabur garam, dan akhirnya membuat saya mantap memilih jalur laut. “Mas juga baru dua kali tuh pakai pesawat, pulang sama pergi ke Tanjungpandan. Di dalam pesawat mas sampe keringetan, abis panas banget. Yang lebih lucu lagi, masa ada lalat dalam pesawat! Hahahaha” kenangnya. Hanya ada satu kata yang melintas dalam pikiran saya setelah mendengar cerita inspiratif tersebut: EBUSET!
Setelah menunggu agak lama karena satu dan lain hal, akhirnya kami berangkat juga menuju pelabuhan Pangkal Balam. Adegan-adegan di mobil dari rumah sepupu saya menuju pelabuhan sudah seperti adegan remaja tampan  ketinggalan pesawat di sinetron FTV, karena kami hampir terlambat sampai di pelabuhan.  Beberapa menit lagi kapal akan segera lepas tali alias take off alias “lepas landas” dalam istilah dunia penerbangan.
Begitu sampai di tempat parkir, kami langsung menurunkan barang-barang. Setelah berpamitan dan berpelukan bersama  layaknya teletubies yang sedih akibat turun rating karena anak-anak jaman sekarang lebih senang nonton konser Coboy Junior dan Cherrybelle, kami langsung masuk menuju kapal yang berukuran lebih kecil dari kapal ferry tersebut.

NB: tiket VIP kapal cepat bisa dibeli di agen-agen terdekat kesayangan Anda di Pangkalpinang, sedangkan tiket ekonomi bisa dibeli langsung di pelabuhan.


Perairan Timur Bangka, 4 Februari
Mesin kapal sudah menyala. Perlahan kami meninggalkan dermaga jauh di belakang. Langit berwarna biru cerah dan matahari bersinar terang. Ini adalah cuaca yang sangat pas untuk berlayar. Pemandangan di luar kaca kapal tak bosan-bosannya memikat pandangan saya. Kapal nelayan dan kapal timah yang lalu lalu lalang, pantai-pantai yang sepi dengan pasir coklat menjorok jauh ke lautan, serta garis horizon yang seolah tak kentara karena warna laut dan langit yang sama biru. Pelayaran dengan jetfoil ini akan memakan waktu sekitar empat jam. Lumayan. Lumayan lama.
Sementara di dalam ruangan VIP kapal ini, pramugari kapal sibuk hilir-mudik membagikan snack untuk para penumpang. Saya baru tahu, ternyata di kapal juga ada pramugari. Tapi berbeda dengan tugas pramugari di pesawat, tugas pramugari di kapal ini adalah membagikan snack dan mengganti kaset DVD jika sudah habis diputar. Jika tugasnya sudah selesai, ia kembali ke bangku belakang, menarik selimut dan melanjutkan tidur. Grok!
Suasana di kabin VIP ini cukup nyaman, dilengkapi pendingin ruangan dan LCD TV plus pemutar DVD. Video-video klip yang diputar juga cukup up-to-date pada zamannya, seperti video klip dari Stinky waktu jaman Andre Taulany masih kurus, hits-hits dari Fatur dan Nadila, serta lagu Ungu waktu Pasha masih kurus dan gondrong. Yang tidak kalah terbaru adalah lagu-lagu dari band-nya Kak Ian Kasela dan Kak Moldy, waktu formasi band-nya masih lengkap. Tapi meskipun demikian, setidaknya secara keseluruhan suasana di ruang VIP ini jauh lebih nyaman ketimbang kelas ekonomi yang saya lihat begitu sumpek dan panas.
Kapal terus melaju. Ombak masih tenang, karena masih berlayar di tepian tidak jauh dari pantai. Iseng-iseng, saya buka twitter via HP dan melihat akun info BMKG. Di layar handphone tertera gambar “info tinggi gelombang laut di perairan Indonesia per 4 Februari 2013” yang di-tweet BMKG lewat akunnya. Daaan..Jengjeng! Mata saya langsung tertuju ke arah laut di antara pulau Bangka dan Belitung yang tertera pada gambar di ponsel. Di gambar itu laut di Selat Gaspar (selat yang memisahkan pulau Bangka dan Belitung) tampak berwarna kuning. Berdasarkan keterangan, warna kuning berarti ketinggian ombak mencapai 1,5-2 meter. Dengan tenang seolah tak ada masalah saya masukkan handphone kedalam saku celana, kemudian berteriak dalam hati: KYAAAAAAAAAAAA...! Ombak sampai 2 meter mah atuh lumayan bro, bikin kapal oleng. Dorman Borisman!

Selat Gaspar, 4 Februari
Tidak terasa sudah kurang lebih dua jam kapal berlayar. Andre sudah serak, Pasha sudah nyerah, Fatur dan Nadila sudah berpisah, sedangkan Kak Ian dan Kak Moldy tak tahu dimana rimbanya. DVD player sekarang sudah berganti memutar film box office berjudul “Dendam Transformer”. Di luar, daratan yang sedari tadi menghiasi kaca jendela sudah tak tampak lagi. Kami sudah mulai masuk laut lepas, melintas Selat Gaspar.
Langit pun secara ajaib yang tadinya biru cerah kini berganti warna menjadi gelap. Di kejauhan, sejauh mata memandang hanya langit hitam pekat. Tidak lama kemudian, hujan turun dengan deras disertai badai yang cetar membahana dan terpampang nyata dalam bayang-bayang wajah Syahrini. Ternyata benarlah  itu tweet si BMKG. Ombak di selat Gaspar ternyata memang sedang tinggi. Kapal terasa goyang sekali. Beberapa kali jetfoil ini bahkan terhentak keras seperti mau terbelah karena menabrak ombak yang tinggi. Lutut saya rasanya lemas sekali. Meskipun  sesekali berusaha tenang  dan mencari kesibukan dengan memainkan handphone, tapi gerak-gerik tetap tak bisa berdusta. Berkali-kali saya salah memencet tombol karena tangan gemetaran, hahaha.
Seketika timbul dorongan yang begitu kuat dalam hati untuk membangunkan Bapak saya yang tidur sedari kapal berangkat dari pelabuhan Pangkal Balam tadi, untuk sekedar mengucapkan  kata-kata yang sudah begitu lama ingin saya ucapkan, “Papa, selamat hari Valentine.” Walaupun beliau pasti akan protes dan bereaksi kritis dengan menjawab, “Terimakasih, Nak. Tapi ini kan bukan tanggal 2 April!”  *lantas kami berdua langsung nyebur dan berenang-renang dengan kawanan dugong*

***

Badai insyaAllah berlalu. Setelah melewati ombak tinggi dan cuaca yang kurang bersahabat beberapa jam yang lalu, kapal akhirnya kembali berlayar dengan tenang. Awan-awan pekat sudah ditinggalkan, berganti langit jingga pertanda senja akan segera tiba. Ada rasa damai menyeruak dalam dada saya ketika itu. Rasa damai saat menyaksikan pemandangan di luar jendela kaca. Kapal-kapal kecil nelayan hendak pulang dari mencari ikan, yang menyisakan riak air di laut tenang, serta burung-burung yang  akan pulang ke peraduan dipayungi langit usai hujan. Sebuah daratan luas mulai tampak menghampar di hadapan. Entah kenapa, tiba-tiba saya merasa seperti pulang ke kampung halaman, yang lucunya tidak pernah saya kunjungi sama sekali sebelumnya. Lucu sekali memang.
Tak lama kemudian, mesin kapal dimatikan, pertanda dermaga kian dekat dan kapal akan segera merapat. Saya membalikkan badan, dan bertanya kepada seorang pemuda yang duduk tepat di belakang sambil menunjuk ke arah daratan di depan untuk meyakinkan diri, “Bang, itu Belitung?” Ia tersenyum ramah, lantas merapikan barang dan menjawab, “Ya, sampai kita di Belitong..”


Bersambung..

PERJALANAN MELIHAT NEGERI TETANGGA #3: SEMALAM DI MALAYSIA




“Memang seharusnya kita tak membuang semangat masa silam..bermain dalam dada, setelah usai mengantar kita tertatih-tatih sampai disini..”
( Ebiet G. Ade, ‘Tatkala Letih Menunggu’ )

Bis yang kami tumpangi dari Terminal Melaka Sentral akhirnya tiba di Jalan Kota, saat mentari sore mulai bersinar panas-panasnya. Di depan sebuah bangunan besar dengan arsitektur khas zaman kolonial yang berwarna merah bata, kami memutuskan turun.  Orang-orang menamakan bangunan merah ini Stadhuys. Entah apa artinya. Saya juga tidak tahu apa fungsi bangunan ini dulunya. Namun yang pasti, Stadhuys dengan sebuah gereja tua berwarna merah bata yang terletak tepat di sebelahnya,  kini telah menjelma menjadi landmark kota Melaka dan merupakan magnet bagi para wisatawan.
Stadhuys sebagai bangunan tua tidak berdiri sendiri disana, di tempat-tempat yang lokasinya berdekatan di sepanjang sungai Melaka juga terdapat situs-situs bersejarah lain, seperti benteng-benteng tua dan kincir air warisan masa penjajahan. Ternyata memang inilah ‘jualan’ Melaka, sebuah kota yang menawarkan sensasi nostalgia, romantisme kembali ke masa lalu.
Melaka di masa kini adalah bentukan dari budaya ‘nano-nano’. Masyarakatnya beragam, baik ras maupun agama. Di kota ini, anak Cina, India, dan Melayu campur aduk jadi satu, setidaknya itulah yang saya amati saat di bis dalam perjalanan dari Melaka Sentral menuju pusat kota Melaka. Keragaman dan keunikan mewujud dalam arsitektur bangunan-bangunannya, dimana bangunan-bangunan khas Cina, India, Melayu dan sentuhan Eropa yang diwakili  Belanda dan Portugis menghiasi pemandangan kota. Memasuki kota Melaka seakan bertualang menembus masa lalu, dengan sebuah mesin waktu.

GADIS PERKASA NAN SUPEL DAN HUMORIS ITU BERNAMA BIBI
Setelah turun dari bis Panorama, kami berencana mengantar Bibi terlebih dahulu ke hotelnya, hotel yang sudah ia pesan jauh-jauh hari sebelum sampai disini. Hotelnya terletak tidak jauh dari Jalan Kota. “Biar saya naik taksi saja,” katanya, menolak bantuan kami kali ini. Mungkin ia merasa tidak enak, takut merepotkan barangkali. Lagipula  kami sendiri belum mendapatkan penginapan untuk tidur malam ini. “Jadi kalian akan tidur dimana malam ini? Akan ‘menggembel’ lagi seperti di Singapura kemarin?” tanyanya sambil tertawa bercanda. Dicky sepertinya bercerita banyak selama di bis dari Johor menuju Melaka tadi, termasuk pengalaman kami tidur di bandara tadi malam. “Entahlah...” jawab Dicky sambil tertawa. Tawa kami pecah disambut kening yang mengkerut menahan silau matahari sore ini. Bibi memang seorang gadis yang supel dan humoris. Ia mudah tertawa dan kerap membuat jokes-jokes.

***
Kami secara tidak sengaja bertemu Bibi di immigration checkpoint Johor Bahru, karena kebetulan bernasib sama: tertinggal bis yang kami tumpangi. Proses pemeriksaan imigrasi yang mengharuskan pelintas batas Singapura-Malaysia (maupun sebaliknya) untuk turun naik bis berkali-kali memang kerap membuat penumpang tertinggal, dan hal ini akhirnya menimpa kami. Tapi penyebab Bibi dan kami tertinggal bis berbeda. Ia terlambat naik bis karena harus menghadapi pemeriksaan imigrasi yang cukup lama, sedangkan kami, meskipun melewati permeriksaan imigrasi dengan lancar, hampir saja keluar kantor imigrasi menuju kota Johor Bahru karena salah memilih jalur platform bis di dalam gedung kantor imigrasi yang besar itu.
“Mau ke Melaka juga?” tanya Dicky pada Bibi saat kami berdiri di platform bis SJE menanti bis berikutnya.
“Ya. Kamu juga?” ia balik bertanya.
“Kami juga mau ke Melaka. Sendirian saja? Mau bareng dengan kami?”
Dicky berinisiatif mengajak Bibi, mungkin karena kasihan melihat gadis bule itu hanya seorang diri, tampak kebingungan sambil menggendong dua ransel berukuran besar. Nalurinya sebagai lelaki sejati muncul seketika untuk menawarkan bantuan pada wanita. Ternyata Bibi mengiyakan, dan setuju ikut dengan kami. Penampilan kami memang sederhana, ramah, dan tidak kriminil, mungkin.
Saya tidak percaya ketika Dicky mengatakan bahwa Bibi sudah berkeliling hampir seluruh dunia. Bagaimana mungkin seorang gadis mungil untuk ukuran orang Eropa itu bisa melakukannya? Ia bahkan mengenakan rok dan bersepatu high heel! Tapi saya mulai percaya kemudian, ketika membantu menurunkan dua tas ransel Deuter-nya yang luar biasa berat. Saya juga percaya jika ia memang benar-benar telah berkeliling dunia ketika melihat semangatnya. Berkali-kali ia menolak kursi yang ditawarkan penumpang lain yang mungkin tidak tega melihat wanita dengan dua ransel besar berdiri sepanjang jalan dari Melaka sentral menuju jalan Bunga Raya yang jaraknya lumayan jauh.
Dicky dan Bibi tampak langsung akrab. Mereka banyak bercakap di bis sepanjang jalan dari Johor menuju Melaka yang menghabiskan waktu kurang lebih 4 jam. Saya yang duduk persis di belakang sesekali mendengar percakapan mereka. Mereka bicara tentang banyak hal, dari perkuliahan, politik internasional, hingga citra Islam di Jerman, negara asal Bibi. Ada rasa bangga dalam dada saya, ketika melihat sang ‘dun sanak’ berinteraksi dan bercakap penuh percaya diri dengan seorang gadis bule tanpa rasa canggung. Sekali lagi dia menunjukkan darah ‘Hubungan Internasional’- nya.

***
Taksi Bibi telah menghilang di tikungan jalan di sebelah gedung tua berwarna putih. Tapi kami sepakat berjumpa kembali nanti malam di Stadhuys untuk menghabiskan malam bersama, mencari makan malam atau sekedar berkeliling menikmati suasana tenang kota Melaka. Namun ada satu  pertanyaan sederhana yang masih menghantui pikiran saya, Yudha dan Dicky: “Tidur dimana kita malam ini???”

DISCOVERY, HOSTEL MURAH DENGAN PELAYANAN RAMAH
“Ooo..dari Indonesia? Apa kabar?” tanya resepsionis yang merupakan seorang pemuda Melayu berdarah Filipin dengan anting di telinga. Dengan senyum ramah ia berusaha berbicara bahasa Indonesia, tapi gagal. Kami tentu saja membalas usahanya untuk menjalin keakraban dengan senyuman. “Kamar yang disini sudah penuh, tapi nanti kalian bisa tidur di dormitory room yang ada di hostel kami yang lain. Letaknya dekat, ada di belakang gedung ini” jelasnya sambil menunjuk ke arah seberang hostel. “Kalian bisa masuk kesana lewat dua jalan. Lewat jalan sini..” ia menunjuk jalan di depan hostel, “...atau lewat Little India, di sebelah sana” jelasnya panjang lebar.
Atas rekomendasi seorang teman, yang juga seorang backpacker dan penulis buku tentang backpacking, akhirnya kami memilih hostel ini. Sebuah hostel bernama Discovery, yang terletak di jalan Hang Jebat. “Cari saja bangunan dengan gambar tapak kaki besar! Dekat sebuah jembatan, tidak jauh dari Stadthuys.” Kurang lebih begitu sarannya. Harga menginap di hostel ini sangat murah, jika dikurskan ke rupiah tidak sampai lima puluh ribu per malam untuk satu orang.
Hostel ini juga unik, persis seperti yang teman tersebut katakan. Banyak pejalan dari seluruh dunia datang dan menginap silih berganti disini. Di ruang lobi, pernak-pernik unik yang sepertinya dikumpulkan dari seluruh dunia sibuk menghiasi ruangan. Pandangan saya tertuju pada sebuah globe alias bola dunia yang tergantung di atas ruang lobi. Ketika berputar tak sengaja karena tertiup angin, ia seperti seolah sedang berkata: “Dunia tak selebar daun kelor. Ambillah ransel, kemasi barang dan mulailah berjalan!”.


***
Saya terkejut bukan main, saat penghuni dormitory room lain membukakan pintu. Ternyata di dalam kamar sudah ada tiga muda-mudi bule. Dua laki-laki dan satu perempuan. Hostel ini tidak menyediakan dorm roomkhusus perempuan, jadi laki-laki dan perempuan harus tidur satu kamar. Apa daya, kami tidak punya pilihan lain. Sepasang bule yang ternyata berpacaran ini berasal dari Belanda, sedangkan seorang lelaki lain berasal dari Jerman. Lucunya, pasangan Belanda dengan pemuda Jerman ini baru bertemu di hostel ini, didorm room ini, namun keakraban tampak sudah terjalin begitu kuat. Saat memperkenalkan diri dan memulai percakapan-percakapan ringan, saya tahu, bahwa malam ini akan jadi begitu panjang, sepanjangtali baruak.


MENIKMATI MALAM DI MELAKA

Jam di tangan mulai merangkak ke arah angka tujuh. Gelap sudah mulai jatuh di langit Melaka.
“Biar saya lihat dulu ke Stadhuys, mungkin Bibi sudah disana” ujar Dicky pada kami. Saya dan Yudha memutuskan untuk menunggu saja di sebuah kursi panjang di pinggir sungai Melaka, tidak jauh dari Stadhuys. Sementara Dicky bergegas menjemput Bibi.
Beberapa menit kemudian, ia kembali namun hanya seorang diri, tanpa Bibi. Gadis itu tak kunjung muncul rupanya. Tengah malamnya ia baru memberi kabar via message facebook. Rupanya ia terlambat mengecekmessage yang kami kirim via jejaring sosial tersebut (esoknya Bibi mengirim kami message untuk mengajak makan sebelum kami kembali ke Singapura, namun kali ini giliran kami yang terlambat mengecek inbox, sehingga akhirnya kami tidak sempat lagi bertemu. Ini jadi pelajaran berharga, bahwa jangan pernah berkomunikasi via jejaring sosial untuk keperluan yang cepat dan mendesak, karena kemungkinan besar akan seperti ini jadinya.) Apa boleh buat, kami akhirnya memutuskan untuk menghabiskan malam ini tanpa Bibi. Bertiga saja.


***
Sepiring nasi goreng, satai celup isian ketam dan ikan khas Malaysia, serta segelas es teh manis menjadi menu makan malam kami. Dengan merogoh kocek tidak dalam, kami sudah bisa makan enak sekaligus mengenyangkan. Semuanya terasa lebih baik untuk soal makanan dan keuangan setelah kami melintas dari Singapura menuju Malaysia. Biaya hidup disini memang jauh lebih ‘bersahabat’, kurang lebih sama seperti di Indonesia.

Tempat kami makan malam ini merupakan sebuah foodcourt  di area terbuka yang terletak di pinggir sungai yang mengarah ke laut, dimana sungai Melaka bermuara. Angin sepoi-sepoi, riak-riak sungai yang bersuara dan membentuk ombak kecil di tepian, serta lantunan lagu-lagu Melayu yang mendayu membuat ritme malam ini terasa lamban, sesekali bahkan memancing perenungan.

Ibu-ibu penjaga kantin bertanya pada saya, “dari mana?”
“Indonesia” jawab saya.
Ia kemudian membalas “Sayeu dari ... (sang ibu menyebut nama sebuah pulau yang terdengar asing di telinga saya)”
“Tanjung Karang, Lampung..” ia menambahkan, sebagai sebuah jawaban atas kebingungan yang tergambar dalam ekspresi wajah saya.
Sang ibu bicara dengan logat Melayu yang begitu kental. Ia berbicara persis seperti orang Malaysia betulan. Apakah sudah berganti kewarganegaraan? Ah, entahlah. Perkara berganti kewarganegaraan saya kira adalah isu yang sensitif. Tapi satu yang saya yakini, kampung halaman telah lama ia tinggalkan. Entah kapan mungkin terakhir kali ia pulang. “Ah, itu wajar, manusiawi, dan dapat diterima” saya mencoba memaklumi dalam hati.


MELAKA RIVER CRUISE
Jika Anda singgah ke Melaka pada malam hari, jangan lupa naik Melaka River Cruise. Dengan uang sekira tujuh puluh lima ribu  (jika dikurskan ke rupiah) , Anda dapat menikmati suasana malam kota Melaka dengan perahu. Rasanya seperti di Venezia, barangkali. Menawarkan romantisme ala Eropa dengan cita rasa Asia.

***
Perahu kami berlayar mengikuti sungai Melaka, merangkak lamban di bawah jembatan-jembatan kecil yang sudah mulai sepi dari pejalan kaki. Di kiri dan kanan, rumah-rumah berjajar rapi seolah begitu setia memandangi kami. Beberapa cafe bercahaya temaram di sepanjang sungai ikut menemani perjalanan. Bule-bule dan warga lokal duduk bersama dan bercengkrama di teras-teras halamannya, tampak larut dalam obrolan ringan seraya menenggak aneka minuman yang sudah di.pesan.
Ada sisi yang begitu menarik dari kota Melaka, yaitu kelihaiaan mereka melihat keunikan sekecil apapun sebagai potensi wisata. Mereka tampaknya anti merobohkan bangunan-bangunan tua. Sungai Melaka, dimana perahu ini berlayar begitu bersih meskipun pemukiman penduduk hadir di sepanjang alirannya, karena warganya tidak membuang sampah ke dalamnya. Mereka bahkan tidak membabat semak-semak yang tumbuh di tepian sungai, karena tetumbuhan itu telah menjadi tempat burung-burung beristirahat di malam hari. Kota ini jadi rumah yang  nyaman bagi ratusan ekor  burung. Di siang hari unggas-unggas itu bertebaran di pepohonan dekat perempatan jalan Hang Jebat, dekat hostel kami menginap. Tidak ada satupun warga yang berusaha mengambil, menembak atau sekedar mengganggu. Jogging track dibangun di sepanjang tepian sungai, berikut pondok-pondok untuk beristirahat atau sekedar tempat ‘duduk-duduk’ untuk warganya. Kota ini tampak begitu siap menyambut para wisatawan.
Satu persatu tempat kami lalui: kampung Malaysia dengan rumah-rumah panggung kayunya, hingga taman-taman kecil dengan lampu warna-warni, air mancur dan komidi putar – yang membuat lagu Hoppippola dari Sigurros seketika terngiang di telinga saya (Sebenarnya lagu yang diputar di perahu ini adalah lagu lama dari seorang penyanyi Indonesia berjudul ‘madu dan racun’. Malaysia sepertinya tidak bisa benar-benar berlepas diri dari musik Indonesia. Siangnya pun di sebuah kantin di terminal Melaka Sentral, saya juga mendengar lagu-lagu Ungu diputar di radio lokal.)

***
Hari sudah benar-benar malam saat kami memutuskan kembali ke hostel. Jalanan sudah lengang. Satu-satunya hal yang membuat suasana meriah hanyalah cahaya benderang dari lampion-lampion yang digantung melintang di jalan, dan replika naga seperti barong sai raksasa yang tampak di kejauhan, di daerah kampung Cina Melaka yang terletak di seberang jembatan.
Sebaliknya, suasana di cafe milik Discovery yang terletak di sebelah hostel ternyata masih ramai, karena mereka mengadakan live music setiap malamnya. Bule-bule masih tampak begitu asyik dengan gelas-gelas bir seukuran ‘termos’ mereka. Tidak lama kemudian suara sayup-sayup terdengar memanggil kami. Ternyata itu suara si resepsionis hostel.
“Hey. Bir dulu!” ujarnya sambil tersenyum ramah dan memperagakan gaya orang sedang mengangkat gelas besar dengan satu tangan. Kami menolak tawarannya. Dengan memperagakan gaya orang tidur, kami beralasan sudah ngantuk berat.
Hari ini cukup melelahkan, karena kami memang banyak berjalan. Namun malam ini sudah cukup meninggalkan kesan mendalam. Tenaga harus kembali dikumpulkan, karena besok pagi kami harus kembali berkemas, menempuh perjalanan kurang lebih 4 jam untuk kembali ke Singapura.

Saya menoleh sekali lagi ke belakang, memandang Melaka ketika orang-orang sudah terkulai pulas di peraduannya. Memandang Melaka yang tidak membuang semangat masa silam, karena bagaimanapun sejarah lah yang telah membesarkan mereka. Melaka yang sesekali menoleh ke belakang menatap masa lalu, kemudian melambaikan tangan dan tersenyum sembari berbalik menatap masa depan dengan kepala tegak. Ah, mengapakah kita tidak bisa menjadi seperti demikian? 
Saya tiba-tiba rindu kampung halaman. Indonesia saya, Indonesia Anda, Indonesia kita. Selamat malam.

PERJALANAN MELIHAT NEGERI TETANGGA #2: SELAMAT PAGI, SINGAPURA!


Pagi ini kami bertiga akan mengunjungi Haji Lane, sebuah gang yang penuh coretan dinding alias grafiti. Daerah ini merupakan kawasan street art di Singapura, dimana banyak terdapat distro-distro dan tempat pembuatan tato. Tapi kami kesana tentu saja tidak untuk membuat tato, karena tanda lahir kami sudah terlalu artistik untuk diutak-atik. Jauh lebih keren daripada tato tentunya. *Duar!
Untuk menuju Haji Lane, kami harus menaiki MRT tujuan akhir stasiun Joo Koon dan turun di stasiun Bugis. Namun sebelum menuju Bugis, kami harus transit terlebih dahulu di stasiun Tanah Merah. Terkesan agak ribet memang, tapi jangan cemas, semua informasi cukup jelas di dalam peta. Selain itu, informasi mengenai rute-rute MRT yang terpampang di setiap stasiun juga sangat membantu. Yang penting perhatikan rute-rute MRT ini dengan seksama, dan jangan lupa berdoa.
Hal pertama yang kami lakukan sebelum menaiki MRT adalah membeli tiket terlebih dahulu, dari sebuah mesin yang disebut GTM a.k.a General Ticketing Machine. Mesin ini bisa menerima beberapa uang pecahan, maksimal 10 SGD alias Dollar Singapura. Jangan khawatir, berapapun uang kalian, ia akan kembalikan sesuai ongkos perjalanan kalian. Saya salut dengan kejujuran mesin ini, karena ia tidak suka nilep uang siapapun. Nah buat kalian yang masih sering nilep uang orang tua atau teman atau saudara atau tetangga atau rakyat, malu lah kalian, karena harga diri kalian tidak lebih tinggi dari sebuah mesin. #nguomongnaon
Eh ternyata asik juga mengoperasikan mesin ini, apalagi mencet-mencet touchscreen-nya. Saking keasikan menggunakan mesin ini, kami menghabiskan waktu yang cukup lama *pura-pura bilang asik, padahal ngga tau cara mengoperasikannya, hahaha.
Setelah tiket kami dapat dalam waktu yang relatif tidak singkat, kami masuk ‘pintu’ stasiun MRT dengan menempelkan kartu pada sensor yang telah tersedia dan mencari platform MRT menuju stasiun Joo Koon.
 Tidak lama, MRT tujuan Joo Koon pun tiba. Sungguh ajaib, bombastis, dan spektakuler pemirsa! Bukan sulap bukan sihir, pintu terbuka secara otomatis #norakstadium12. Di dalam MRT, kondisi ternyata sudah ramai dipenuhi penumpang, dari anak sekolah sampai orang kantoran, dari warga sipil sampai anak muda yang sepertinya abis pulang dari asrama (lagi-lagi korban wajib militer), dari Melayu, Tiongkok sampai India. Semua ada disini, tua-muda, beda tapi tidak berbahaya. Meskipun penumpang MRT ini berbeda-beda dalam hal profesi dan warna kulit, mereka tetap kompak dalam satu hal, yaitu ngantuk. Semua penumpang terlihat sempoyongan menahan kantuk. Ada apa gerangan?
Di luar MRT, pemandangan masih gelap gulita, mobil yang tampak lalu-lalang di jalanan pun tidak begitu ramai. Disini saya merasakan sebuh keganjilan. Jam-jam di tangan dan dinding orang-orang Singapura sepertinya telah mengkhianati matahari. Bagaimana mungkin waktu telah menunjukkan pukul enam, namun suasana di luar masih begitu gelap seperti pukul lima. Orang Singapura sepertinya telah ‘memaksakan’ waktu mereka satu jam lebih cepat. Walhasil, hampir semua penumpang MRT terkantuk-kantuk. Padahal waktu sekarang ngga subuh-subuh amat.
Sambil menikmati perjalanan dengan MRT di pagi buta ini, sesekali saya mengedarkan pandangan ke sekitar. Busyet, ternyata yang gendong ransel segede markas Zordon cuma kami bertiga. Penumpang yang lain semuanya siap menuju tempat kerja dengan setelannya masing-masing, tapi Alhamdulillah tidak ada yang gendong ransel. Malu-maluin juga sebenarnya, tapi apa daya, urat malu kami sepertinya sudah putus sejak tidur di bandara Changi tadi malam, hahaha.
Tiba-tiba pandangan saya terhenti di arah pukul 10. Ada apakah geraman? Ternyata, seorang gadis manislah penyebabnya. Seorang gadis berseragam sekolah (entah SMA atau SMP, hahaha lagi) berdiri beberapa meter di gerbong sebelah karena tidak kebagian tempat duduk. Ia tampak sibuk memainkan hape, mungkin sedang update status di friendster: “Nyebelin ban9edh eaa, pagi2 udh Gug keb4gean tmpt dudux! Yeyeye..Lalala”. Saya ingin sekali menawari dia tempat duduk, tapi bagaimana mungkin, saya sendiri juga berdiri. Terharu sekali, akhirnya bisa menemukan native Singapura nan rancak, lucu dan imut, persis seperti personel girlband JKT48. Saya bertanya dalam hati, mungkinkah AKB48 kembali membuka frenchisedi Singapura dengan nama SG48 setelah sukses buka cabang di Indonesia? Ah entahlah. Ini adalah berkah di pagi hari nan gelap gulita, pengobat stres di kala pusing terus-menerus memandang abah-abah Singapura yang sibuk baca koran berbahasa Mandarin.
Agar tidak terlihat terlalu mencurigakan seperti seorang copet freelance karena terus-menerus memandangi si gadis manis, sesekali saya kembali memandang ke luar jendela MRT untuk melihat-lihat pemandangan kota Singapura yang masih ‘ngantuk’. Namun tiba-tiba suara ibu-ibu paruh baya dengan logat bicara macam Cinta Laura menggema di dalam MRT (setiap MRT akan berhenti di stasiun berikutnya, suara seorang wanita akan muncul untuk memberi tahu penumpang). Suara itu berucap dua kata: ‘Tanah Merah’, yang berarti MRT akan segera berhenti di stasiun Tanah Merah.
Ini adalah dua kata ringan yang mudah diucapkan, tapi bagi saya ini bermakna dalam, yaitu perpisahan #asedap. Saya harus berpisah dengan si gadis manis, karena saya, Dicki dan Yudha harus turun di stasiun MRT Tanah Merah untuk berpindah MRT menuju stasiun Joo Koon. Sedih juga, ini adalah pertemuan yang singkat. Saya padahal belum sempat menanyakan dia kelas berapa, dimana sekolahnya, siapa guru matematikanya, apakah dia lebih suka ksatria baja hitam RX Robo atau RX Bio, pilih mana: Ipin, Upin, atau Upil. Dan yang lebih menyedihkan lagi, kami bahkan belum sempat menari Heavy Rotation bersama. *backsound sendu*
Pintu otomatis telah menutup. Lewat kaca-kaca MRT yang perlahan mulai bergerak maju meneruskan perjalanan, saya kembali sekilas memandang wajah si gadis manis yang akhirnya dapat tempat duduk. Perlahan ia menghilang dari pandangan. Sampai kiteu berjumpeu puleu, duhai gadis manis!
Kami kembali meneruskan perjalanan dengan menyambung MRT tujuan akhir stasiun Joo Koon, dan akhirnya turun di stasiun Bugis saat langit masih tetap gelap.
Stasiun MRT Bugis ini ternyata terletak tepat di bawah sebuah pertokoan. Kami sempat bingung karena setelah menaiki eskalator tiba-tiba ada di sebuah pertokoan. Namun karena saat ini masih pagi, belum satu toko pun yang buka, dan belum ada pengunjung yang datang. Ternyata kami berangkat dari Changi terlalu pagi, sehingga belum ada satu toko pun yang buka.
Saat saya membuka-buka lembaran peta untuk mencari tahu dimana tepatnya lokasi Haji Lane, Yudha meminta untuk mencarikan toilet, karena panggilan alam tiba-tiba saja datang. Dicki juga mengiyakan. Ternyata mereka satu misi, harus cari toilet sekarang juga! Aduh cilaka, karena kami sudah keluar dari stasiun MRT, untuk menemukan toilet disini tentu bukan hal yang mudah. Kami berinisiatif mencari mesjid terdekat untuk sekalian solat Subuh. Alhamdulillah ketemu juga mesjidnya, sebuah mesjid dengan arsitektur klasik dan unik bernama Masjid Sultan. Walaupun jam di tangan sudah menunjukkan pukul setengah tujuh, tapi suasana masih cukup gelap. Mungkin ini sekira jam setengah enam waktu Indonesia. Masih ada sedikit waktu untuk solat.
Setelah solat subuh, kami tidur-tiduran di mesjid karena mata sedikit ngantuk. Lagipula toko-toko sekarang belum ada yang buka, jadi kami habiskan waktu sedikit untuk tidur-tiduran menunggu agak siangan. Tapi sayang sekali, saat mata belum lagi mau terpejam, Mas-mas merbot mesjid sudah datang untuk membangunkan, “Bang, Bang. Bangun Bang, sudah siang” katanya. O walah, karena hari sudah siang, tidak boleh ada orang yang tidur di mesjid. Bahkan orang-orang yang tidur di teras mesjid pun ikut dibangunkan. Adoh kaka, orang lagi enak tidur-tidurin kok dibangunan..
Akhirnya kami memutuskan untuk kembali melanjutkan perjalanan, mencari daerah bernama Haji Lane. Sebenarnya Haji Lane tidak jauh dari Masjid Sultan, tapi karena salah membaca peta, kami harus berjalan cukup jauh.

dimanakah Haji Lane?

mencari alamat palsu

jalanan masih lengang


Wadoh, ternyata Haji Lane juga masih sepi, belum ada toko yang buka. Daripada tidak sama sekali, kami akhirnya tetap melihat-lihat jejeran etalase toko-toko yang belum buka, hahaha. Di tembok-tembok gang Haji Lane ini tertempel pamflet-pamflet event musik yang akan dimeriahkan oleh salah satu band asal Indonesia, The Changcuters. Keren ya? Ah ngga juga, band sepupu saya juga udah pernah ngadain tur Singapura-Malaysia, hahahaha. #LajuUrangKuduNgumbahPiring?

Haji Lane

Puas memandangi etalase toko yang belum buka, kami kembali ke daerah Bugis, tepatnya ke Bugis Street untuk membeli sedikit oleh-oleh. Biar ada bukti kalo kami beneran ke Singapur gitu, hahaha.
Berjalan dari Haji Lane menuju Bugis Street ternyata cukup menguras keringat, tapi kami jalani itu semua dengan penuh kesabaran, ketabahan, ketampanan dan keprihatinan. Karena perut agak keroncongan, kami berhenti sejenak di pinggir trotoar dekat jalan raya yang sedikit demi sedikit mulai dipadati kendaraan. Disini tidak ada tukang siomay atau cuanki asongan yang sedang mangkal, tapi untung saya ingat bahwa di dalam ransel ada sebuah kotak ajaib. Kotak ini berisi roti yang dibelikan abang saya waktu di bandara Soetta kemarin. Alhamdulillah, isinya pas masih ada tiga. Kamipun sarapan mewah pagi ini di pinggir jalan raya kota metropolitan Singapura dengan lahap. *terharu*
Warga Singapura yang lalu-lalang dengan berjalan kaki atau bersepeda di trotoar sesekali memandang ke arah kami. Saya bisa membaca apa yang mereka katakan dalam hati saat memandang kami. “Sanguan, Bro!” mungkin kurang lebih begitu bunyinya, hahaha.
Akhirnya kami tiba di Bugis Street, salah satu daerah penjual oleh-oleh yang katanya lumayan murah di Singapura. Lagi-lagi, toko-toko disini juga belum semuanya buka. Ondeh mande! Untuk menunggu sampai toko-toko buka, kami lagi-lagi memutuskan nongkrong di seberang Bugis Street. Suasana nongkrong disini ternyata lebih-lebih membetot urat malu, hahaha. Karena hari sudah mulai siang, banyak sekali orang-orang yang lalu-lalang untuk beraktivitas. Semuanya tampak sibuk, sangat kontras dengan kami bertiga yang leyeh-leyeh duduk di pinggir jalan. Macam gembel, tapi ganteng.
Setelah toko-toko sudah banyak yang buka, kami kembali beredar di Bugis Street. Disini saya membeli oleh-oleh gantungan kunci saja, karena dengan mengeluarkan uang yang tidak terlalu banyak, bisa dapat barang banyak, hahahaha. *tertawa licik*
Kami akhirnya mengubah rencana. Awalnya kami akan berangkat ke Melaka sehabis dzuhur, tapi karena oleh-oleh sudah didapat, kami memutuskan untuk mempercepat keberangkatan. Lagipula perjalanan dari Singapura menuju Melaka akan memakan waktu cukup lama, yaitu sekira empat jam dan mengharuskan kami turun-naik kendaraan. Selain itu kami juga berencana sampai di Melaka paling lambat sore hari, supaya dapat menikmati sunset di pinggir sungai Melaka. Aseeeek..
Segera setelah membeli oleh-oleh, kami langsung menuju terminal Queen Street yang jaraknya tidak terlalu jauh dari Bugis. Terminal Queen Street ini sangat ‘Cina’ sekali, sampai-sampai saya merasa bukan sedang ada di Singapura, melainkan di Cina. Dari penjaga toilet, penjual karcis, semuanya seperti orang Cina.
Begitu sampai di terminal, kami langsung membeli tiket tanpa pilih-pilih bis lagi. Bis mana yang akan berangkat segera, itu yang akan kami naiki. Kebetulan bis yang ada di antrian terdepan adalah bis bernama SJE, kependekan dari Singapore-Johor Express. Di bawah tulisan SJE terdapat tulisan mandarin. Cina banget.
Where’s the seat number, Sir?” tanya saya pada si abah penjual tiket saat menerima tiga buah tiket darinya sesaat setelah menyerahkan uang. Saya takut tidak kebagian tempat duduk di bis, atau dituduh menyerobot kursi penumpang lain.
No. No seat number! You buy the ticket, you sit ha..” Ujarnya dengan logat Mandarin sambil tertawa lebar seakan memamerkan salah satu gigi emasnya. Si abah yang duduk di sampingnya juga ikut-ikutan tertawa. Kami juga ikut-ikutan tertawa, walaupun tidak tahu bagian mana dari percakapan ini yang lucu.
Bis ternyata sudah benar-benar hendak berangkat. Tanpa babibu lagi kami langsung lari menuju bis, dan segera naik setelah menunjukkan tiket pada kondektur. Nah sang kondektur ternyata juga Tiongkok. Pas naik bis, saya kaget lagi, sopirnya juga Tiongkok. Saat berjalan dari depan bis menuju kursi belakang, saya lebih-lebih kaget lagi. Penumpangnya semuanya Tiongkok! “Waduh ini bis jangan-jangan mau ke Makau, bukan ke Johor Bahru” bisik saya dalam hati. Alhamdulillah banget tapi kalau memang ke Makau, soalnya kami beli tiketnya cuma seharga 1 SGD., hahaha.
Bis telah menjauh dari terminal Queen Street menuju ke arah Woodland, sebuah daerah di utara Singapura yang berbatasan dengan Malaysia. Di luar, cuaca agak gelap diiringi rintik-rintik kecil hujan yang yang mulai turun. Sementara di dalam sini, jantung kembali berdebar.

Bersambung..

Melangkah ke Bromo # Last Part


“Berapa lama waktu yang kita butuhkan buat keliling disini?” tanya bule Prancis pada saya dan Diga segera setelah jeep hardtop sampai di area parkir di sebuah padang pasir luas. “Oh ya sebaiknya kita berunding dulu, pukul berapa harus kembali ke jeep” bule wanita Austria tiba-tiba menambahkan. Sepertinya Ia tidak ingin kejadian di Penanjakan tadi terulang lagi. Waduh saya bingung juga menentukan berapa lama waktu yang bisa kami habiskan di spot terakhir ini, karena saya sendiri belum pernah kemari sebelumnya. Pak sopir malah tampaknya pasrah sekali, semua diserahkan saja pada kami. Setelah berunding beberapa saat lewat perdebatan yang sudah barang tentu tidak alot, akhirnya kami memutuskan untuk berkeliling selama setengah jam saja.  APA!? SETENGAH JAM??? Ya, setengah jam saja. Saya mengiyakan, karena berpikir waktu setengah jam mungkin cukup untuk berjalan dari tempat parkir menuju puncak Bromo. Selain itu juga kami memang agak buru-buru, karena berencana tiba di Malang siang nanti. Oke akhirnya kami berpencar menuju tempat masing-masing yang kami inginkan. Bule-bule Austria langsung tancap gas sewa kuda. Bule-bule Prancis yang tampaknya berbudget minim lebih memilih jalan-jalan keliling padang pasir sambil foto-foto. Sementara saya dan Diga langsung berjalan menuju puncak Bromo. “Ah deket lah ini mah, 15 menit juga sampe” kata saya dalam hati sambil memasang ekspresi wajah licik ala rentenir haus riba.

padang pasir Bromo 1

padang pasir Bromo 2

jeep-jeep warna-warni


15 menit kemudian..(diiringi suara angin bertiup sepi)

Puncak Bromo masih jauh di atas, kami bahkan belum naik tangga. Suram. Pandangan memang menipu. Badan sudah lemah, letih, lesu. Ditambah lagi kami lupa bawa air minum. Ingin membeli, disini tidak ada warung.  Medan berdebu menambah perjuangan berat kami menempuh puncak Bromo (asikk..haha). Perut rasanya kenyang sekali karena terus-menerus menghisap debu yang berhamburan akibat langkah kaki orang-orang dan kuda yang bersliweran dari bawah ke atas maupun sebaliknya. Kalau debu saja mungkin saya tidak kenyang, tapi kalau ditambah ‘abon’ berupa debu bercampur kotoran-kotoran kuda yang sudah kering tapi baunya masih orisinil, siapa yang tak kenyang? Badan rasanya benar-benar lemas karena kadar oksigen juga rasanya agak terbatas. Rasanya saya ingin turun lagi ke bawah, tapi si Diga ini keukeuh mau naik ke puncak melihat kawah. “Masa udah jauh-jauh kemari ngga naik ke atas ngliat kawah Bromo,” katanya. Oke baiklah, lagipula kami ternyata sudah berjalan cukup jauh. Jeep-jeep hardtop yang terparkir di bawah sudah tampak mengecil. Akhirnya kami putuskan untuk teruskan perjalanan.

padang pasir dilihat dari kaki Bromo

lalu-lintas padat

Lama kemudian kami tiba di ujung bawah tangga. Waduh ternyata lalu-lintas orang menuju atas maupun bawah kawah padat sekali sehingga kami harus antri. Kami mulai menaiki tangga sedikit demi sedikit, setiap dua langkah berhenti karena padatnya jumlah manusia. Di tangga yang panjang dan curam sekali ini saya melihat banyak pasangan bule yang hendak naik maupun turun tangga. Usia mereka tua-tua, tapi salut karena masih kuat menghadapi jalan curam sperti ini, walaupun muka sudah merah-merah merona. Saya sempat melihat seorang wanita bule tua terpeleset hingga jatuh terduduk karena tangga ini memang agak licin akibat ditutupi debu. Suami dan orang-orang di sampingnya berusaha membantunya berdiri. Cukup lama ia mampu memaksakan diri, bersusah payah akhirnya ia mampu tegak dan meneruskan perjalanan. Begitu pula halnya dengan saya, penuh perjuangan juga menaiki tangga ini, susah payah saya mengatur nafas. Hingga sekira lima belas menit kemudian, akhirnya saya dan Diga tiba di puncak kawah.

kawah Bromo yang mendidih

MAKHLUK BERTANGAN ‘KOROSIF’ ITU BERNAMA MANUSIA
Pagar-pagar yang membatasi jalan setapak yang mengelilingi kawah Bromo ternyata sudah tidak ada, sehingga kami para pengunjung harus sangat berhati-hati. Salah-salah bisa nyemplung dan jadi daging rebus bau blerang yang ngga enak dimakan. Dari ketinggian sini pemandangan jadi lebih luas dan indah. Puncak Bromo ini dikelilingi oleh bukit-bukit hijau yang jika dilihat dari kejauhan seperti kulit nenek-nenek keriput. Namun agak disayangkan juga di tempat yang indah ini saya mendapati beberapa sampah sedang asyik berserakan, seperti sampah-sampah snack dan bungkus nasi yang sudah dibuang tidak dimakan (si pengunjung ini mungkin sudah agak kenyang, jadi bungkusnya ngga dia makan). Agak miris juga melihatnya, bagaimana tempat yang bagus seperti ini malah tidak dijaga kebersihannya. Kalau terus-menerus dibiarkan, lama-kelamaan kawah Bromo yang besar ini dipakai untuk TPA alias Tempat Pembuangan Akhir. Hii..jangan sampai deh!
Hanya sebentar kami berada di atas puncak, karena waktu sudah mepet. Teringat janji bahwa kami hanya punya waktu berkeliling selama 30 menit. Setelah atur nafas sedikit dan ambil foto, kami kembali turun ke bawah.
Waduh ternyata lalu lintas orang menuruni puncak juga sama padat. Lagi-lagi kami harus antri. Oke lah. “Maafkan kami bule-bule Prancis dan Austria, terpaksa melanggar kesepakatan”  ujar saya dalam hati.
Saat menuruni tangga dari atas puncak Bromo, lagi-lagi saya melihat ulah iseng manusia. Pegangan tangga ini banyak dicorat-coret oleh ABG-ABG labil dengan tulisan-tulisan semacam “Asep Codet was here, Nanang (lambang lope) Atmaji forever.” Adapula yang sekedar memajang nomer HP atau pin BB yang jelas-jelas sangat tidak manfaat. Entahlah, mungkin remaja atau pemuda-pemudi alay ini berharap ada gadis Tengger yang sudi mengirim sms atau BBM pada mereka. Syukur-syukur bisa jadian. Aih makjang, macam FTV sahaja!
Pegangan tangga menuju atas dan bawah kawah ini tampak sudah tidak utuh lagi, sebagian tampak hancur. Tidak seperti foto-foto yang saya lihat di internet. Gas dan material-material korosif Bromo yang tersembur dari kawah saat aktivitas gunung ini meningkat mungkin telah menggerogotinya satu persatu. Saya bertanya dalam hati, “Apakah tangan-tangan kita, makhluk bernama manusia ini, juga ditakdirkan bersifat korosif sehingga apa saja yang kita pegang, kita injak bahkan sekedar lihat seketika akan menjadi rusak, sama seperti material-material dalam kawah Bromo ini? Saat antrian berjalan terhenti, saya memandang ke sekeliling dari atas ketinggian. Pemandangan di sekitar gunung Bromo memang sangat indah. Saya ingin anak-cucu saya kelak dapat melihat sama persis apa yang saya lihat saat ini, tidak kurang sedikitpun. Bukankah mereka bisa melihat ini semua, jika segalanya tetap terjaga?
Tidak terasa, kami akhirnya telah melewati tangga. Saya pun pasang langkah cepat setengah berlari menuruni gunung karena merasa sangat tidak enak pada bule-bule yang satu jeep dengan kami. Sambil setengah berlari saya juga memikirkan alasan keterlambatan ini. Malu juga rasanya karena kami berdua malah ikut-ikutan mempertontonkan budaya ‘jam karet’ pada mereka.
HUHAH! Akhirnya kami sampai di parkiran. Cukup sulit menemukan dimana jeep kami berada, karena kami lupa model dan warnanya. Setelah cukup lama berkeliling dan belum juga menemukan jeep tersebut, kami mulai pesimis. Jangan-jangan para bule dan Pak sopir telah meninggalkan kami di padang luas berdebu, yang sunyi dan dingin ini, hahaha. Ah mungkin ini salah kami juga karena melanggar kesepakatan. Sambil berjalan lemas campur pesimis kami tetap berkeliling. Hei Hei siapa dia! Ternyata kami menemukan jeep kami. Katakan jeep! Katakan jeep! Alhamdulillah kami tidak ditinggal. Saya katakan maaf berkali-kali pada pria Austria dan Prancis atas keterlambatan yang tidak elegan ini. Mereka balas “It’s okay, no problem.” Si pria Austria yang senang bercanda bilang “Karena kamu sudah terlambat, kamu jalan saja ya!” katanya sambil pasang wajah sok serius sambil menunjuk ke arah padang pasir yang luas. Saya balas lelucon tersebut dengan menggaruk perutnya. Kami kemudian tertawa bersama. Saya jadi lega, walaupun tidak tahu apa yang mereka lakukan selama menunggu kami. Mungkin mereka tadi mulai nyeduh pasir Bromo lalu diminum hangat-hangat saking frustasinya, atau juga garuk-garuk muka pakai parutan kelapa untuk membunuh waktu. Ah entahlah, yang penting kami sekarang sudah berada di jeep dan bisa pulang ke kampung Tengger.
Seperti biasa, perjalanan pulang selalu terasa lebih singkat daripada berangkat. Tidak terasa kami sudah sampai di kampung Tengger. Di depan sebuah hotel, Pak Sopir menurunkan keempat bule Prancis dan Austria. Kami mengucapkan salam perpisahan pada mereka. Meskipun pertemuan ini singkat, tapi terasa sangat berkesan. Sayang sekali kami lupa menanyakan ‘Facebook-nya apa, nomernya berapa?’ #NP: Coboy Junior. Saking sibuknya, kami bahkan lupa menanyakan nama mereka! Hahaha.
Kami bertiga: Pak Sopir, Diga, dan saya kemudian melanjutkan perjalanan dan tidak lama kemudian tiba di tempat kami menginap. Saat kami tiba di depan penginapan, sebuah bison sudah terparkir dengan banyak barang-barang di atasnya. Ternyata ini bison yang telah disewa Vebri dan kawan-kawan untuk menuju terminal Probolinggo. Mereka sudah berkemas dan hendak berangkat pulang ke Jakarta pagi ini juga. Vebri keluar dari penginapan. Sebelum menuju bison, ia menghampiri kami dan berkata, “Add pin BB gua ya, nanti gua confirm, soalnya sekarang BB gua lagi mati.” Ia kemudian menyebutkan beberapa huruf dan angka, dan berlalu menuju bisonnya. Kami kembali mengucap salam perpisahan. Pertemanan memang bisa ditemukan dimana saja, seperti cahaya hangat matahari pagi Bromo yang datang dan pergi menerpa wajah kami.
Setelah berpisah dengan Vebri dan kawan-kawan, kami memasuki penginapan dan membereskan barang-barang, kemudian menuju terminal bison di atas, tidak jauh dari penginapan kami yang bisa ditempuh dengan jalan kaki.

***
Kami sudah duduk di bison. Seperti biasa, moda transportasi yang punya motto ‘pantang jalan, sebelum penumpang pingsan karena bosan’ ini cuek saja ngetem lama menunggu penumpang. Baru setelah penumpang benar-benar-benar penuh (kenapa harus pakai kata ‘benar’sampai tiga kali? Karena tiga orang harus duduk di atas bison!), barulah mobil ini sudi berjalan.
Perjalanan menuruni kampung Tengger menuju terminal Probolinggo kembali saya lalui dengan keadaan menahan kantuk yang luar biasa. Saya kesulitan menahan kepala yang lari ke kiri, ke kanan, ke depan dan ke belakang karena saking ngantuknya. Oh iya, ternyata di bison menuju pulang ini kami kembali satu rombongan dengan pemuda-pemudi Jombang yang juga satu bison dengan kami sewaktu berangkat dari Terminal Probolinggo. #Toss dulu biar ngga selek, Bro and Sist!
Di bison ini kesadaran saya seperti terang-redup karena 'tidur-tidur ayam' di sepanjang perjalanan. Angin membelai lembut rambut dan suara dua pasangan Finlandia yang duduk di depan saya sayup-sayup masuk ke dalam telinga. Sumpah, bahasa mereka sangat aneh. Kosakatanya sangat tidak familiar di telinga saya, logatnya sekilas terdengar seperti logat Jampangkulon di Sukabumi. Mungkin inilah yang disebut Finnish.
Bison semakin menjauh dari Bromo, menuruni jalan-jalan berbukit, membelah ladang-ladang sayuran di kiri kanan, dan merambat perlahan di tepian jurang. Setelah melalui perjalanan yang lumayan melelahkan, sekira satu jam kemudian kami kembali menginjakkan kaki di terminal Probolinggo. Bromo menjauh di atas sana, tapi butiran-butiran pasir yang terselip dan tidak sengaja terbawa di lipatan kaki celana membawa serta semua keindahan dan cerita-cerita menarik tentangnya. Sampai jumpa lagi, kawan!



*Photos by Diga