Perasaan apa yang muncul di
hatimu jika mendengar kata Ramadhan? Sebagian besar tentu menjawab,
kebahagiaan. Tapi bagiku, kata Ramadhan memunculkan dua mata perasaan. Tidak
hanya kebahagiaan, tapi juga kesedihan. Terlebih jika aku harus mengingat-ingat
kisah masa lalu. Kisah yang sudah lama berlalu, tapi tetap membekas
di hatiku. Kisah yang mengejutkan di malam awal Ramadhan.
***
“Hati-hati ya, Nak. Hati-hati, Nak”
berulangkali ibu mengucapkan kata-kata itu seraya memeluk erat, mengusap rambutku
berkali-kali dan mencium keningku penuh haru. Air mata mengalir deras di sudut
matanya. Ia tak sanggup lagi menahan ledakan emosi dalam dadanya. Perpisahan
ini seolah-olah adalah pertemuan terakhir kami. Seolah-olah kami tak akan pernah
bertemu lagi. Aku tak mengerti, apa yang sebenarnya terjadi. “Bukankah kami hanya pergi beberapa hari saja
untuk menghabiskan liburan sekolahku dan kembali saat Ramadhan tiba?” tanyaku
dalam hati.
Suara pria yang menyebalkan itu tiba-tiba
memecah kesenduan.“Sudah siang! Mau berangkat jam berapa?” tanyanya nyinyir dengan
nada tinggi bahkan setengah membentak. Aku menoleh padanya dengan wajah memerah
dan balas membentak “Sabar! Ini juga udah mau jalan!” Setengah berlari akhirnya
kususul ia yang tengah menaikkan dua buah koper berukuran jumbo ke mobil. Aku memandang koper-koper itu sekilas. Jumlah dan
ukuran koper yang terlalu besar. Bahkan terlalu besar jika hanya untuk bepergian
beberapa hari saja, pikirku.
Di
depan pintu rumah, ibu berdiri lunglai. Ia tak henti meneteskan air mata saat
melihat dua laki-laki yang begitu ia cintai dalam hidupnya berlalu dan perlahan
hilang dari pandangan. Dua orang lelaki, yang sepertinya tidak akan pernah
bersatu. Dua orang yang selalu saling tatap dengan penuh rasa benci. Dada ibu semakin terasa sesak, mengingat buruknya
hubunganku dengan pria itu selama ini. Di
usiaku kini yang sudah menginjak tujuh belas tahun, aku tak pernah merasa benar-benar
memiliki seorang ayah. Begitupun dengan pria itu, ia juga sepertinya tak pernah
merasa punya seorang anak. Seseorang yang bisa ia banggakan. Ada dinding yang
begitu besar dan kokoh terbangun di antara kami berdua. Dinding yang membuat hubungan
kami tak ubahnya air dan api.
Air
semakin deras mengalir dari mata ibu, saat ia mulai menyalahkan suaminya, pria
yang sedang bersamaku. Pertanyaan yang menyakitkan terus menghantuinya. “Mengapa
suamiku tak pernah mampu melakukan apa yang aku lakukan: menghancurkan dinding
penghalang itu?”
***
Mobil
jeep yang kami kendarai melindas
jalan-jalan tak beraspal dan berliku membelah hutan. Sudah dua hari kami
menghabiskan waktu di perjalanan, masuk hutan keluar hutan, tapi tak satu
katapun terucap dari mulut kami masing-masing. Takada percakapan apapun. Soal
sekolah, pekerjaan atau sekedar obrolan-obrolan ringan dan hangat layaknya
seorang ayah dan putranya. Selama perjalanan, aku hanya sibuk dengan musik dari
mp3 player yang mengalir lewat earphone-ku. Sementara pria itu, tetap
larut di balik kemudi dengan berbatang-batang rokok yang entah keberapa ia
hisap. Suasana di luar begitu hening, tapi atmosfer di dalam mobil takkalah dingin.
Aku memandang wajahnya sesekali, sembunyi-sembunyi. Ia tampak kelelahan menahan
beban ribuan ton di pelupuk matanya, karena perjalanan berhari-hari diselingi hanya
beberapa kali istirahat.
Tiba-tiba..BRAAAAK!!!
Suara yang sangat keras terdengar hebat. Kepalaku terasa berputar-putar.
Seluruh badanku terasa remuk. Setelah
itu, aku tak ingat apa-apa lagi.
***
Mataku
sedikit demi sedikit terbuka. Perlahan aku bisa melihat dengan jelas
sekelilingku. Kami berada di hutan yang sangat lebat. Matahari hanya mampu
mengintip sedikit saja karena pepohonan begitu rapat. Aku melihat pria itu
sedang berusaha mengeluarkan beberapa peralatan dari mobil yang sudah terjungkal
dan ringsek parah. Mobil kami
terjerembab ke jurang dalam. Namun beruntung kami berdua masih selamat. Karena
melihatku sudah sadar, ia menghampiri dengan tertatih. Kakinya pincang. Lukanya
tampak serius.
“Kamu
sudah bangun, Jane?” tanyanya datar, berusaha terlihat dingin. Aku melihat
tanganku yang sudah dipenuhi luka-luka kering. Kepalaku pun, ternyata sudah
dibalut kain. Kami memang selamat, tapi persoalan berikutnya menanti. Bagaimana
bertahan di jurang berhutan rapat ini sampai bantuan datang?
Bertahan
hidup di hutan belantara dengan fisik penuh luka sungguh mengerikan. Terlebih
lagi kami hanya bertahan dengan sisa tiga bungkus roti dan satu botol air
mineral. Berkali-kali aku putus asa, jika mengingat sudah berhari-hari kami
terjebak di sini, namun belum ada satu orangpun yang datang menolong. Tapi di
balik situasi mengerikan ini, ada hikmah terselubung bagi diriku, bagi pria itu.
Ganasnya hutan, keadaan yang serba tak pasti perlahan mencairkan hubungan kami.
Setiap usaha bahu-membahu untuk bertahan hidup ternyata menyatukan emosi kami.
Dan dalam situasi seperti ini, perlahan aku mulai melihat sisi yang lain dari
dirinya. Sisi berbeda yang tak pernah kuketahui sebelumnya. Kasih sayang,
perhatian, dan kelembutan, yang aku pikir ia tidak terlahir untuk miliki. Aku
melihat ketulusan dalam dirinya.
Puncak
mencairnya hubunganku dengan pria itu adalah malam ini, di malam keempat kami
terjebak di tempat ini. Keputusasaanku sudah sampai di titik puncaknya.
Bagaimanapun aku hanya seorang anak muda berumur tujuh belas tahun. Keadaan ini
begitu mengerikan bagiku. Sudah tiga hari, kami tidak lagi makan dan minum. Mencari
makan di alam liar tak semudah seperti di film Rambo. Badanku luar biasa
lemasnya. Kami berbaring di lantai hutan beralaskan baju yang sudah
berhari-hari tak diganti. Ia terbaring di sampingku. Mata kami tertuju ke
langit malam yang dipenuhi bintang.
“Dua
hari lagi Ramadhan..” setengah berbisik aku berkata, seolah bicara pada diriku
sendiri. “Yah..” tanpa sadar aku memanggilnya dengan sebutan itu. Mungkin ini
yang pertama kali dalam hidupku. Ia memandangku dengan lemah. Ada raut bahagia
yang tak bisa ia sembunyikan saat mendengar panggilan itu.“Kalau kita selamat,
aku ingin Ramadhan nanti jadi titik awal permulaan hidupku. Aku ingin memulai
hidupku yang baru, bersamamu..” aku berucap setengah terbata.
“Aku
ingin menikmati setiap momen di bulan Ramadhan nanti bersamamu, bersama ibu
juga, kalau kita memang diberi kesempatan kedua, kesempatan untuk melanjutkan
hidup. Tapi jika Tuhan menginginkan yang
lain, aku tetap bahagia. Setidaknya aku mati di sampingmu. Diberi kesempatan
untuk mengenalmu lebih dalam. Melihat sisi lain yang tak pernah kutemui pada
dirimu sebelumnya. Dan, setidaknya aku telah melihat sosok ayah yang nyata
dalam hidupku sebelum aku pergi” aku meneruskan ucapanku dalam hati. Tak
terasa pipiku terasa hangat. Air mata ternyata telah membasahi. Aku pejamkan
mata agar tak mengalir semakin deras. Tapi itu tak menolong.
“Kita
akan selamat, Nak. Kita akan selamat.” Pendengaranku mulai tak jelas, tapi aku
bisa mendengar panggilan ‘Nak’ itu. Untuk pertama kalinya aku mendengar kata
itu keluar dari mulutnya. Aku tak bisa berucap apa-apa lagi. Aku tak punya
energi lagi. Bibirku mengeras karena lama tak tersentuh air. Rasanya sulit
untuk tersenyum. Mataku mulai layu, tapi langit malam itu tampak begitu jernih
sehingga bintang-bintang terlihat sangat bercahaya. Aku menggigil kedinginan
dan mulai terpejam, tapi bisa merasakan seseorang menyelimutiku dengan sebuah
jaket dan mengusap kepalaku sambil berkata, “kita akan baik-baik saja. Kita
akan baik-baik saja, Nak.” Malam itu, cinta, kepedulian, kehangatan dan kasih
sayang mengudara. Akhirnya aku menemukannya, dan ia menemukanku, di tengah
perjalanan panjang ini.
Tak
disangka, keesokan harinya, setengah sadar aku mendengar suara orang ramai-ramai. Para pembuka ladang yang
sedang menyusuri hutan secara tak sengaja menemukan kami siang itu.
***
“Ayah
capek ngga? Kalau capek, kita
istirahat saja dulu sebentar” tanyaku padanya yang sudah terlihat sangat kelelahan.
“Ngga kok. Kita lanjutkan saja. Rumah
teman ayah sudah dekat. Sebentar lagi kita sampai” jawabnya hangat.
Setelah
cukup jauh berjalan, akhirnya kami sampai di teras sebuah rumah kayu di atas
bukit. Rumah itu adalah ujung dari perjalanan ini. Ada hawa yang begitu aneh
menyeruak dalam hatiku sedari masuk pekarangan rumah itu. Tapi aku taktahu itu
apa.
Lama
ayah baru mengetuk pintu. Getaran tangannya mengisyaratkan sebuah keraguan yang
besar. Taklama kemudian langkah seseorang terdengar dari balik pintu. Sseorang
pria seumuran ayah. Ia tampak bersahaja dengan baju muslimnya, bersiap menuju mesjid
untuk menunaikan salat tarawih pertama di bulan Ramadhan ini.Wajahku layu
seketika berhadapan dan berbagi pandang dengan lelaki itu. Aku melihat diriku dalam
dirinya. Ia seperti replika saat aku kelak dimakan usia. Belum lagi keterkejutan
yang luar biasa menghampiri, seorang wanita seumuran ibuku muncul dari dari
belakang punggung pria itu. “Siapa, Pak?” tanyanya lembut penuh hormat pada
suaminya.
Keterkejutanku
semakin menjadi-jadi, saat tatapanku jauh masuk ke dalam mata wanita itu. Kupandang
lekat-lekat bola matanya. Coklat muda. Warna yang sama dengan yang kupunya. Aku
hilang tenaga. Raut wajahku kini sangat kontras dengan wajah sumringah kedua orang
di hadapanku yang seolah kedatangan tamu yang telah lama mereka tunggu-tunggu. Semua
puzzle kini telah terkumpul,
membentuk sebuah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan: Apa tujuan perjalanan
panjang ini? Untuk apa aku dibawa ke tempat asing ini? Apa isi dua koper
berukuran besar yang dibawa ayah? Dan mengapa ibu tak kuasa menahan kesedihan
saat melepasku?
Perasaan
yang bergejolak dalam dada tak lagi mampu kutahan. Air mata ternyata telah
membasahi pipi. Kulayangkan pandangan ke arah ayah yang tepat berdiri di
sampingku, memberi isyarat untuk meminta penjelasan. Ia tampak gugup dan berusaha
mengalihkan pandangan. Sesekali ditengadahkannya wajah, menahan air mata. Kini
aku sadar, apa yang menyebabkanku dan dirinya begitu berbeda dan sulit untuk
bersatu. Mengapa selama ini –bahkan sampai saat usiaku menginjak dewasa- selalu
ada semacam penghalang yang membuatku merasa jauh darinya. Penghalang yang aku
sendiri tidak tahu itu apa.
Adzan
Isya di malam pertama Ramadhan sayup-sayup sampai di telinga, menambah sendu
suasana. Hatiku hancur berkeping-keping. Mengapa harus kuterima kejutan pahit
ini, saat kasih sayang dan kedekatan itu sudah mulai terbangun di hatiku, pun
di hatinya. Saat tembok penghalang yang kokoh itu sudah mulai berhasil kami
robohkan.
Kini kutahu, mengapa tak semua
pertanyaan harus menemukan jawaban.
Bandung, 4 Juli 2013
*Dimuat
dalam buku antologi cerpen Kejutan
Sebelum Ramadhan oleh penerbit independen Nulisbuku
Bayu
Permana Sukma lahir di Lubuksikaping, sebuah
kota kecil di utara Sumatra Barat. Satu setengah tahun belakangan sibuk
merenung di Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran,
sambil sesekali mengunjungi tempat-tempat baru untuk menikmati matahari
terbenam.