Kedua acara di sebuah stasiun televisi pada jam yang berbeda kemarin sore mengangkat isu yang sangat menarik bagi saya. Acara pertama, mengangkat kisah tentang ‘orang-orang yang diizinkan pergi, tapi tak diizinkan pulang’ yang ada di Rusia.
Orang-orang tersebut dulunya adalah orang-orang pilihan yang diberi kesempatan belajar ke luar negri pada masa Orde Lama. Namun sial, ketika rezim berganti, mereka justru dianggap sebagai musuh pemerintah. Mereka tidak diizinkan pulang kembali ke tanah air. Kalau pun memaksa untuk kembali, mereka harus bersiap menjadi seorang tahanan politik, diasingkan, atau mendapat ancaman lainnya. Saat keadaan sudah aman, usaha mereka untuk kembali menjadi warga negara Indonesia terhalang akibat undang-undang kewarganegaraan.
Akhirnya keadaan memaksa mereka berkewarganegaraan Rusia. Mereka bekerja, berkeluarga, dan menghabiskan masa tua di negri orang. Mereka seperti telah putus hubungan dengan tanah airnya. Salah seorang dari mereka bahkan tidak sempat melihat orang tuanya di Indonesia meninggal dunia.
Rasa rindu akan tanah air bukan tak ada. Mereka bahkan masih menyimpan harapan yang besar untuk bisa kembali ke tanah air, menjadi warga negara, dan akhirnya menutup mata di negri sendiri. Diri mereka memang sudah terdampar jauh di Rusia, tapi hati mereka senantiasa terpaut di Indonesia. Orang-orang seperti mereka ini tidak hanya berada di Rusia, tapi juga tersebar di Cina dan negara-negara Eropa Timur pecahan Rusia lainnya.
Acara kedua adalah berita tentang ‘manusia perahu’ dari Sri Lanka, yang saat ini berada di Indonesia karena tertangkap Angkatan Laut Indonesia di perairan Selat Sunda. Keadaan mereka cukup memprihatinkan, banyak dari mereka yang terserang penyakit. Mereka berencana akan ke Australia untuk meminta suaka sebelum tertangkap di Indonesia.
Konflik berkepanjangan antara pemerintah Sri Lanka dan gerilyawan Macan Tamil memaksa mereka meninggalkan Sri Lanka dan melabuhkan mimpi-mimpi untuk kehidupan yang lebih aman dan tentram di negri orang. Tekad mereka untuk meninggalkan Sri Lanka menuju Australia sudah bulat, mereka menolak untuk dikembalikan ke negaranya.
Brinda, seorang gadis kecil yang merupakan satu dari banyak anak yang ikut dalam rombongan tersebut ketika ditanya oleh reporter perihal apakah ia mengerti mengapa ia sekarang berada di kapal itu, menjawab (dengan Bahasa Inggris yang menurut saya sangat bagus): “Kami telah tinggal di sebuah hutan yang penuh dengan binatang buas dan tanpa air sebelumnya. Saya sangat sedih dengan keadaan anak-anak seusia saya di kapal ini, tapi kami anak-anak ingin belajar dan butuh masa depan yang lebih baik..”
Brinda sangat paham mengapa ia ada disana. Ia, anak-anak lain, beserta orang tuanya sepertinya sadar bahwa mereka tidak akan pernah mampu mewujudkan harapan untuk menjalani kehidupan yang lebih baik jika mereka tetap tinggal di Sri Lanka, tempat dimana hari-hari mereka hanya dipenuhi rasa takut.
Kedua kisah ini berbeda, tapi menurut saya sebenarnya mengisyaratkan isu yang sama: rasa cinta pada tanah air. Kisah yang pertama adalah tentang orang-orang yang ingin kembali ke tanah air karena masih cinta. Sedangkan kisah yang kedua adalah tentang orang-orang yang ingin pergi dari tanah airnya, karena kehidupan yang tidak tentram telah mengikis cinta mereka.
Rasa cinta pada tanah air mungkin juga merupakan sebuah pilihan. Orang-orang pada kisah yang pertama memilih untuk tetap mencintai, sedangkan orang-orang pada kisah yang kedua sepertinya memilih untuk berhenti mencintai. Rasa cinta itu sepertinya dipengaruhi keadaan, dan negara mempunyai pilihan untuk memperbaiki keadaan tersebut atau tidak.
Menurut saya, negara bertanggung jawab dalam memelihara rasa cinta rakyat terhadap tanah airnya, dan rasa cinta itu akan terpelihara dengan baik jika negara dan rakyat saling mencintai secara sehat, ‘saling memberi dan menerima’. Saya kurang sepakat dengan kata-kata Abraham Lincoln, “Jangan tanyakan apa yang bisa negara berikan pada anda, tapi tanyakanlah apa yang bisa anda berikan pada negara.” Ah, Lincoln mungkin lupa. Lupa bahwa kita tidak bisa mengikuti upacara bendera dengan khidmat jika perut kosong.
Silahkan tidak sepakat..
Kamis, 29 Oktober 2009
Jumat, 16 Oktober 2009
'Sajak Ibu', oleh Widji Thukul..
Sajak Ibu
Ibu pernah mengusirku minggat dari rumah,
tetapi menangis ketika aku susah..
Ibu tak bisa memejamkan mata
bila adikku tak bisa tidur karena lapar..
Ibu akan marah besar,
bila kami merebut jatah makan
yang bukan hak kami..
Ibuku memberi pelajaran keadilan
dengan kasih sayang..
Ketabahan Ibuku
mengubah sayur murah
jadi sedap
…
…
dengan kebajikan..
Ibu mengenalkanku kepada Tuhan..
Saya suka sekali puisi karya Wiji Thukul ini. Bahasanya tidak meng”Kahlil Gibran”. Sebaliknya, Thukul menggunakan bahasa yang sederhana, isi puisinya pun sama sederhana. Tapi justru dengan kesederhanaan itu Thukul mampu mencitrakan Ibu sebagai makhluk paling manis di dunia. Satu lagi, puisi ini juga menyiratkan bahwa di balik perlawanan Thukul yang keras, ternyata ada kasih sayang seorang Ibu yang lembut..
Akhirnya, atas nama Wiji Thukul (yang sampai detik ini belum diketahui keberadaanya), saya mempersembahkan puisi ini untuk Ibu di seluruh dunia..
Ibu pernah mengusirku minggat dari rumah,
tetapi menangis ketika aku susah..
Ibu tak bisa memejamkan mata
bila adikku tak bisa tidur karena lapar..
Ibu akan marah besar,
bila kami merebut jatah makan
yang bukan hak kami..
Ibuku memberi pelajaran keadilan
dengan kasih sayang..
Ketabahan Ibuku
mengubah sayur murah
jadi sedap
…
…
dengan kebajikan..
Ibu mengenalkanku kepada Tuhan..
Saya suka sekali puisi karya Wiji Thukul ini. Bahasanya tidak meng”Kahlil Gibran”. Sebaliknya, Thukul menggunakan bahasa yang sederhana, isi puisinya pun sama sederhana. Tapi justru dengan kesederhanaan itu Thukul mampu mencitrakan Ibu sebagai makhluk paling manis di dunia. Satu lagi, puisi ini juga menyiratkan bahwa di balik perlawanan Thukul yang keras, ternyata ada kasih sayang seorang Ibu yang lembut..
Akhirnya, atas nama Wiji Thukul (yang sampai detik ini belum diketahui keberadaanya), saya mempersembahkan puisi ini untuk Ibu di seluruh dunia..
Rabu, 07 Oktober 2009
bicara tentang Papa
Saya tidak ingat bagaimana peristiwa awal kami berjumpa..tapi yang pasti itu adalah peristiwa yang penuh suka dan cinta. Kami memang tidak pernah berkenalan sebelumnya..Tapi yang saya tahu, lelaki yang dulu tinggi, kurus, dengan kumis dan jenggot itu saya panggil "Papa".
Papa adalah orang yang sangat keras, tapi saya tahu kalau dia sangat menyayangi saya..Papa adalah teman yang setia menemani saya selama 21 tahun, membawa saya bertualang dari satu pulau ke pulau lain, dari satu kota ke kota lain, dan dari satu rumah ke rumah lain. Papa membantu saya melihat banyak hal yang tidak banyak dilihat oleh anak-anak seusia saya saat itu. Papa membantu saya bertemu, belajar, dan menjalin pertemanan dengan orang-orang yang berbeda di berbagai tempat. Banyak sekali cerita yang Papa tuliskan di pikiran saya..dan saya tak akan pernah menghapusnya..
Terima kasih,Papa..
Tulisan ini untukmu..Papa juara 1 sedunia yang tak ada tandingannya.
Papa adalah orang yang sangat keras, tapi saya tahu kalau dia sangat menyayangi saya..Papa adalah teman yang setia menemani saya selama 21 tahun, membawa saya bertualang dari satu pulau ke pulau lain, dari satu kota ke kota lain, dan dari satu rumah ke rumah lain. Papa membantu saya melihat banyak hal yang tidak banyak dilihat oleh anak-anak seusia saya saat itu. Papa membantu saya bertemu, belajar, dan menjalin pertemanan dengan orang-orang yang berbeda di berbagai tempat. Banyak sekali cerita yang Papa tuliskan di pikiran saya..dan saya tak akan pernah menghapusnya..
Terima kasih,Papa..
Tulisan ini untukmu..Papa juara 1 sedunia yang tak ada tandingannya.
Langganan:
Postingan (Atom)