Bapakku lahir 57 tahun lalu, dan aku lahir 23 tahun yang tahun lalu.
Bapakku sekolah sampai sarjana, tapi ia ingin aku wisuda sampai S3.
Bapakku dulu mengabdi pada negri, tapi ia ingin esok aku mengabdi pada rakyat.
Bapakku sudah pernah keluar negri. Tapi jika ia pernah injakkan kaki di padang Arafah, ia ingin aku menjelajah hingga gurun Nevada.
Bapakku dulu berkutat dengan mesin tik, tapi kini ia ingin aku piawai memainkan jari di tuts-tuts keyboard komputer.
Bapakku pecandu rokok nomer wahid, tapi ia kecewa jika aku coba-coba menghisap benda itu walau sedikit.
Jika ketabahan ibunda Widji Tukul mengubah sayur murah terasa meriah, ketulusan bapakku menyulap ambulance jadi mobil mewah.
Bapakku menitipkan sesuatu yang ia sebut ‘kebanggaan’ di pundakku, tapi ia tidak mau aku balik membangga-banggakannya.
Bapakku memang tidak sempurna. Tapi kasih sayang dan pengorbanan yang ia curahkan dalam keadaan yang tidak sempurna itu meyakinkanku, bahwa ia dikirim ke dunia oleh Zat Yang Maha Sempurna.
Saya ingat masa-masa SMP dulu, di suatu subuh di bulan Ramadhan. Usai solat, berangkat cari jangkrik bersama seorang teman di belakang rumahnya. Saya berniat tangkap jangkrik lalu masukkan ke dalam toples, botol air mineral, atau wadah apa saja yang bisa ditaruh di kamar. “Suara jangkrik dalam kamar bikin suasana tidur macam di hutan, seperti di alam bebas,” kata teman. Saya jadi kepingin pelihara dan taruh di kamar jadinya. Biar bisa tidur macam di alam bebas.
Subuh itu kami dapat jangkriknya, walaupun cuma dua ekor. Itu pun kecil-kecil. Saya simpan di botol air mineral yang sudah diberi lubang-lubang kecil biar mereka bisa bernafas. Saya beri pula daun-daunan untuk mereka makan. Daun-daunnya bahkan saya basahi, biar mereka tidak kehausan. Masalah mereka senang atau bahagia, saya tak tahu dan terlalu peduli. Yang penting mereka bersuara buat saya, membuat suasana tidur saya nyaman bagai di hutan.
Cuma satu hari saja jangkrik-jangkrik itu bertahan. Satu ekor mencoba kabur, seekor lagi akhirnya mati. Apa yang saya berikan untuk mereka; tempat tinggal yang serupa habitat aslinya, makanan dan minuman, ternyata sama sekali tak membuat mereka mau bertahan. Mungkin karena disitu bukan tempatnya, bukan habitat aslinya. Ah, saya tidak mau lagi mencari. Istilah kerennya mungkin, saya tidak mau lagi mengeksploitasi.
Kemarin malam sepulang dari warung, saya dapati seorang tetangga bersama putrinya sedang menyisir semak-semak di tanah kosong depan rumah. Mau cari jangkrik katanya. Mereka sepertinya tergoda memelihara jangkrik di kamar setelah mendengar nyanyian serangga-serangga yang mulai menggema kembali di sekitaran komplek rumah kami.
Kawan-kawan, saya bukan pecinta hewan sejati. Saya juga bukan seorang vegetarian. Tapi yang saya yakini, ketika orang-orang menangkap jangkrik dan berusaha mengkandangkannya untuk mendengar suaranya, di sisi lain mereka telah mengurangi kenyaringan dan kemerduan suara hewan-hewan itu. Saya yakin, suara-suara mereka di alam liar akan jauh lebih indah dan nyaring. Usia mereka pun mungkin akan lebih panjang daripada usia mereka di dalam kandang. Selain itu, ketika orang-orang menangkap jangkrik dan meletakkannya dalam kamar, rumah, atau di tempat mana pun yang mereka anggap ‘private’, maka perlahan-lahan mereka telah mencoba menangkap dan mengkandangkan hak orang lain, hak tetangganya, untuk bisa menikmati orkestra jangkrik dari tempat yang seharusnya mereka berada, di alam bebas sana.
The application form has been sent and the confirmation email has been received. There's a little bit of serenity to feel because I have stayed up all night for almost two weeks to rewrite these essays. It reminds me of about six months ago, when I did the same thing: spending nights to convert memories in my head into words that eventually become a complete writing. Frankly, I’m afraid to face another failure. But I have finally decided that I won’t back off or just surrender. I’ve tried as hard as I can, and now is time to pray. I’ve just taken my ‘second-time’ small step tonight. There’s a prayer said to accompany this application, “God please give the best place for my sincerity.” By the time the form has just been sent successfully, an imagination beautifully painted inside my head.
***
I will be standing in front of the door of the classroom at a plain school building, waiting for my lovely shoeless-students to run and come closer. Their shirts and faces look dirty but the smiles and laughter sparkle naturally with no editing as I always see in some ‘commercial break’ of cosmetic products on television. The afternoon comes, the sun is gone, then we're all home. The collaboration of quiet night, the sound of night-insects and river at the back of traditional woody house play a melodious symphony. The people’s faces are just lit by dim kerosene-lamps. When the morning comes, we don’t have to watch and hear some irritating news of graft, bribery, and other corruption cases anymore. Life's so simple here, but I realize this kind of simplicity does bring happiness into my life. I talk to myself as I'm starring at the ceiling before going to sleep, "The kids here must get the best education. They have rights to be smart, enlightened, and to stand equally with their peers in other places. I hope some day there will be, at least one out of tens or two out of hundreds of children coming to school this morning who are brave to fight against injustice and bring a big change to their society.
***
I suddenly awake from my beautiful daydream. The night has deeply fallen and I begin to feel the cold. I pull the blanket and wrap almost the whole of my body. If only God opens this small path for me then I’ll be able to enjoy this comfortable bed and shining electrical lamps no more, at least for a year. Yet who wants not to exchange these comforts with a more real happiness?