HALO, BROMO! SALAM KENAL..
Akhirnya kami tiba di sebuah kampung yang hampir semua warganya memakai sarung yang dilingkarkan di badan dan topi kupluk yang dikenakan di kepala (Ya, tentu saja di kepala, bukan di dengkul!). Saya dan Diga diturunkan di depan penginapan yang sudah ditunjukkan si Feri aka sopir bison. Kami mendapatkan kamar di sebuah rumah yang kamar-kamar lainnya ternyata sudah diisi oleh pengunjung lain, rombongan adventurer dari Jakarta. Kamar yang akan kami huni untuk semalam ini dinginnya ngujubile. “Waduh mas, kok ini lampunya mati?” tanya saya saat menyalakan lampu. “Wah mas, disini listrik jam segini emang belum nyala. Nyalanya baru nanti, ntar malam.” Jawab si mas-mas penjaga penginapan. Waduh! Semua gadget canggih kami –seperti iPhone, iPad, komputer PC, GameBoy, kulkas, dan dispenser- padahal sedang butuh di-charge.
Sambil menunggu sore dan menunggu listrik di kampung mulai dinyalakan, saya dan Diga, partner backpacking mewah saya itu, ngobrol-ngobrol dengan penghuni kamar lain. “Gua Febri,” kata seorang pemuda agak gemuk saat berkenalan. Ternyata rombongan adventurer yang berjumlah 20 orang ini baru tiba kemarin di Bromo setelah sebelumnya bermalam di pulau Sempu, Malang. Kaki mereka semuanya lecet-lecet akibat melintasi medan berat di pulau Sempu. Beberapa orang anggotanya memaksakan tidur di kamar dengan pintu terbuka, dalam gulungan selimut tebal karena meriang kedinginan. Dinginnya Bromo memang tidak memandang orang ganteng maupun orang jelek (hahahaha). Febri dan kawan-kawan begitu hangat sekali. Meskipun kami baru kenal, mereka tidak sungkan menawarkan semua makanan, minuman, obat-obatan, atau persediaan kopi yang mereka punya. Mereka membuatkan kami teh manis hangat, memberi kami jatah makanan milik mereka, meskipun akhirnya kami tidak sempat memakannya.
Waktu Ashar ternyata sudah tiba. Solat di Bromo adalah perjuangan yang luar biasa, mulai dari berwudhu dengan air yang dinginnya tidak masuk akal, sampai solat tanpa sajadah di lantai yang dinginnya luar binasa. Pokoknya solat di Bromo adalah sesuatu yang sangat ‘sesuatu’! Mungkin begitu kata Syahrini. Ah udara makin lama makin dingin saat matahari mulai bergerak turun. Saya dan Diga memutuskan untuk jalan berkeliling sekitar kampung untuk mengurangi rasa dingin. Kami berjalan terus menuju atas kampung, ke arah tower (saya tidak tahu ini tower apa, entah tower provider atau tower pelacak UFO). Masya Allah! saya takjub sekali saat melihat pemandangan di bawah sana. Ini seperti pemandangan yang saya lihat di tivi-tivi. Kalau kawan-kawan sudah menonton video Heima-nya Sigur ros yang perform live, mungkin seperti itulah kurang lebih pemandangannya. Gunung Bromo begitu hening ditemani kawah di sampingnya, dikelilingi gurun pasir dan pegunungan serta bukit-bukit hijau di sekitarnya. Saat matahari mulai menyingsing di ufuk barat, keheningan Bromo begitu menghanyutkan, membuat saya ingin melupakan masa lalu dan meninggalkan masa depan (asedap!), hingga tukang cuanki dan penjual kupluk membuyarkan lamunan. Awan-awan mulai bergerak naik ke atas. Jarak dari atas tebing tempat kami berdiri ke gurun dan kawah di bawah sana tampaknya dekat sekali, tapi saya sadar bahwa saya keliru. Saya melihat titik-titik bergerak di bawah sana. Setelah menelisik lekat-lekat, saya baru sadar ternyata itu adalah orang-orang berkuda dan orang-orang yang sedang menggunakan sepeda motor di area gurun yang luas.


Malam menjelang, kami kembali ke penginapan saat lampu-lampu telah menyala. Malam hari, langit Bromo bertabur berjuta bintang, jauh lebih banyak dari yang saya pernah lihat dimanapun sebelumnya. Mungkin karena daerah ini belum terjangkit polusi cahaya.
Udara dingin Bromo di malam hari sekali lagi tidak masuk akal, sehingga saya tidak bisa tidur nyenyak akibat sebentar-sebentar terjaga. Padahal saya sudah pakai kaos kaki, sarung tangan, jaket dua lapis, kupluk, dan selimut, tapi ternyata memang tidak ngaruh. Setelah terbangun jam dua pagi, saya akhirnya memutuskan untuk tidak tidur. Saya akan menunggu jemputan jeep untuk melihat sunrisepada pukul setengah empat pagi. Di ruang tengah, Febri dan kawan-kawan sedang menonton TV. Saya tidak tahu darimana mereka meminjam benda mewah itu, karena sebelumnya di penginapan tidak ada TV. Mereka semua memasang wajah galau, sebagian memilih tidur. Setelah saya ikut nimbrung nonton, ternyata selidik punya selidik mereka berinisiatif meminjam TV pada si penjaga penginapan untuk menonton siaran langsung final Liga Champions. Namun apa daya, RCTI ternyata tidak menjangkau Bromo.
Pukul setengah empat, saya dan Diga sudah siap siaga stand by di depan penginapan untuk mencegat jeep yang akan ke Penanjakan untuk melihat sunrise. Di luar ternyata sudah banyak orang yang akan berangkat ke Penanjakan dengan menggunakan jeep. Lama kami menunggu, akhirnya jeep baru tiba pukul setengah lima. Ah tidak apa-apa, untunglah kami keren!
Penumpang jeep baru dua orang, itu artinya ia harus cari mangsa lain. Di depan sebuah penginapan yang banyak bule, jeep berhenti. Sepasang bule masuk ke dalam jeep setelah sebelumnya menyapa ramah, “Bonjour! Hallo!” Kami balas menjawab “Bonjour!” persis slogan SPBU asing di kota-kota besar. Ya ternyata pasangan bule ini berasal dari Prancis. Mereka tidak berhenti bicara ‘kumur-kumur’ berdua di dalam jeep. Saya belum berani mengajak mereka ngobrol, walaupun kami duduk berhadap-hadapan. Tidak lama kemudian, sepasang bule lain yang eksentrik masuk ke dalam jeep. Mereka duduk di depan di samping Pak Kusir, eh Pak Sopir. Oke jeep sudah penuh. Dengan muatan total tujuh penumpang, kami tancap gas menuju Penanjakan. Di sepanjang perjalanan menuju Penanjakan yang saya lakukan hanyalah berusaha menahan rasa kantuk yang luar biasa. Kami tidak dapat menikmati pemandangan karena hari masih sangat gelap.
***
SUNRISE DI PENANJAKAN
Ternyata jarak dari pintu masuk wisata Bromo ke Penanjakan cukup jauh. Di sepanjang jalan banyak sekali mobil-mobil jeep sewaan dan sepeda motor wisatawan yang hendak menuju kesana. Ini rasanya hampir seperti mudik lebaran. Walhasil, setelah tiba di lokasi yang dituju, orang-orang sudah berjubel di spot untuk melihat sunrise. Yang ini sekarang seperti pasar tumpah, pasar gasibu atau pasar unpad! Saran saya buat teman-teman yang ingin ke Bromo, datanglah selain pada hari libur atau weekendagar tidak terlalu crowded. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya yang ditunggu muncul juga.
sunrise waiters
Matahari menyembul sedikit demi sedikit dari ufuk timur. Para pengunjung mulai bersorak tanpa alasan. Mungkin ini semacam pelampiasan dari melewatkan pertandingan antara Chelsea vs Bayern Munchen, hahaha. Sebagian jeprat-jepret dengan kameranya masing-masing sampai puas. Ada juga yang jeprat-jepret justru membelakangi sunrise (anomali). Setelah matahari mulai naik, para pengunjung mulai kembali ke bawah menuju tempat parkir jeep sewaan masing-masing untuk pindah ke lokasi berikutnya: padang pasir dan kawah.
Pasangan Prancis ternyata sudah menunggu, saat saya dan Diga sampai di bawah. Namun pasangan bule lain belum hadir. Setelah cukup lama menunggu dua bule yang tidak kunjung datang, akhirnya si bule pria Prancis memutuskan untuk menyusul ke atas untuk mencari mereka. Alhamdulillah tidak lama kemudian ia datang dengan dua orang yang dicari dengan selamat. “Halooooo..” Sapa si bule eksentrik yang sudah membuat orang menunggu dengan sok asik. Kami menjawab, “Halooo..” Oke, anggota sudah lengkap. Markibut! Si bule Prancis membukakan pintu belakang jeep dan mempersilakan kami masuk terlebih dahulu. Wah ternyata dia sopan sekali.
OBROLAN LINTAS BENUA
Dalam perjalanan menuju padang pasir kali ini, suasana mulai mencair. Setelah si bule pria Perancis menertawakan teman saya yang menguap karena ngantuk, akhirnya saya memberanikan diri untuk ngobrol-ngobrol. Dua bule Prancis ini sepertinya pasangan suami istri, umurnya mungkin sekitar 40-an. Mereka tampak begitu mesra. Si pria menggenggam tangan istrinya sepanjang perjalanan, mungkin takut istrinya tertukar atau tertinggal. Si bule pria tampak lebih asik ketimbang istrinya yang tampak sangat pendiam. Ini sepertinya perjalanan mereka yang pertama ke Bromo, atau bahkan mungkin ke Indonesia. Istrinya tampak sangat gugup.
Saya bertanya pada bule pria Prancis, “Dua bule yang di depan ini dari Prancis juga?” Si bule pria Prancis menjawab, “Oh bukan, mereka dari Austria” Ternyata bule-bule Austria yang sepertinya juga suami istri ini mendengar dan menyapa, “Halooo..” Kedua bule Austria ini jauh lebih asik dari bule-bule Prancis. Mereka tidak pemalu dan jauh lebih talkative. Ternyata selidik punya selidik, ini adalah kunjungan mereka yang keenam kali ke Indonesia! Pantas saja mereka terlihat jauh lebih santai dan menguasai medan. Perjalanan dari Penanjakan menuju padang pasir Bromo kali ini jauh lebih lebih berwarna. Suasana dalam jeep jauh lebih cair daripada saat berangkat menuju Penanjakan.
Saat jeep mulai bergoncang hebat akibat jalanan yang rusak, pria Prancis mulai menggoda, “Di Austria, Anda tidak akan pernah menemukan jalan seperti ini.” Kami semua tertawa. Saya bertanya padanya, “Oh ya?” Si pria Austria langsung menjawab, “Ya.” “Kamu tidak akan pernah menemukan jalan seperti ini di negara kami. Sekali kami menemukan lubang sekecil apapun, semua orang akan complain dan pemerintah akan segera memperbaikinya.” Saya tertawa, dan kemudian bertanya pada pria Prancis,”Bagaimana dengan di Prancis?” Ia menjawab, “Di Prancis juga sama. Di Jerman juga. Tapi Austria mungkin jauh lebih baik.”
Saya kemudian kembali bertanya pada bule Prancis, “Anda dari Paris?” Ia menjawab, “Oh tidak, kami dari #@$%% (Ia menyebutkan nama kota yang tidak familiar di telinga saya). Kamu pernah dengar?” Saya menjawab “tidak” sambil tersenyum. Ketika ia mencoba menjelaskan, tiba-tiba handphone saya berdering. Si pria Prancis menunjuk kantong celana saya, dan mengisyaratkan untuk mempersilakan saya mengangkat telpon dulu. Pembicaraan terhenti sejenak. Saat saya selesai menelpon, Ia langsung berkata dengan penuh semangat, “Saya akan meneruskan yang tadi ya.. @#@$@ adalah sebuah kota kecil yang terletak beberapa kilometer dari Marseille. Kamu tahu Marseille kan?” Saya jawab “ya”. Pria Austria ikut nimbrung dengan bertanya, “@@$@ itu terkenal dengan apanya ya?” “Oh kota kami terkenal dengan pub-pub nya. Selain itu ada bangunan-bangunan bersejarah dari abad ‘sekian’ (saya lupa lagi dia bilang abad berapa). “Oh ya, ya. Saya tahu kota kamu.” Perbincangan selanjutnya adalah obrolan mereka berdua tentang kampung halaman yang membuat saya bengong karena tidak punya bayangan akan small towns di Eropa. Saya kemudian bilang pada pria Prancis, “I hope I can visit your country someday.” Ia menjawab sambil tertawa, “Of course. Tapi tentu kamu harus kaya dulu ya, hahahaha.” Ia menambahkan, “Di negara kami, semuanya mahal. Satu bungkus rokok harganya 6 Euro, kebayang ngga?” Saya hanya berkata dalam hati, “WOW! Untung saya ngga merokok.”
KAMI TIDAK SUKA POLITIK!
Saat perbincangan berselang jeda, saya kembali memulai. Kali ini dengan topik yang agak lebih keren, untuk menunjukkan bahwa saya tidak ‘buta-buta’ isu internasional banget. “By the way, Presiden Anda baru saja terpilih bukan?” tanya saya pada pria Prancis. Pasangan Austria langsung antusias menyambut dengan menoleh ke belakang. “Oh ya, ya..” ucap mereka. Namun pria Prancis sepertinya butuh waktu untuk menangkap pertanyaan saya. Dia balik bertanya, “maaf?”. Pasangan Prancis ini tampaknya kurang fasih berbahasa Inggris, dibandingkan pasangan Austria. Saya terkadang harus mengulang ucapan saya agar mereka mengerti, tidak seperti bule Austria yang dengan cepat menangkap apa yang saya ucapkan. Setelah saya mengulang pertanyaan, Ia menjawab sambil tertawa, “Oh ya, Hollande baru saja terpilih.” Saya bertanya lagi, “Apakah Anda memilih dia?” Ia menjawab sambil tertawa, “No!” Kami semua dan pasangan Austria pun menyambutnya dengan tawa. Pria Prancis meneruskan, “Saya tidak memilih Hollande, tapi saya tidak suka Sarkozy.” Kali ini pria Prancis ini bicara panjang lebar. Ia memaparkan hitungan matematis kebijakan-kebijakan yang akan diambil Hollande yang mulai tidak saya pahami. “Saya kira mereka berdua sama saja, Hollande dan Sarkozy. Intinya, ini semua kan hanya masalah kepentingan. Mereka hanya memikirkan diri sendiri, bukan rakyat,” jawabnya terkesan putus asa. Saya mengiyakan dan berkata, “Politics is bullshit!” Tawa kami meledak satu jeep, kecuali Pak Sopir. Mungkin dia sedang asyik nyetir. Kali ini wanita Austria ikut menambahkan, “Ya, saya kira juga begitu. Politik sepertinya dimana saja sama. Bukan hanya di negara kami.” Oke, kini kami semua sepakat, setidaknya satu jeep minus Pak Sopir yang abstain: politics sucks!
“KAMI SUKA INDONESIA!”
Bule wanita Austria mengatakan “Saya kagum sama orang Indonesia, kebanyakan mereka mampu berbahasa Inggris dengan sangat baik. Mungkin yang paling baik di antara negara-negara Asia yang lain.” Saya tersenyum sambil menjawab, “Thank you”. Di dalam hati berdoa, “Mudah-mudahan saya termasuk orang yang ‘kebanyakan’ itu, hahaha. Ia meneruskan, “Dan orangnya baik-baik. Kami suka Indonesia. Kalian punya nature yang bagus, buah-buahan yang enak.” Saya kemudian bertanya, “Buah apa yang paling kamu suka?” “ Semuanya! Saya suka semuanya”jawabnya cepat.
Kalau begitu saya nobatkan kamu sebagai Ratu Buah-buahan Tropis! Simsalabim jadi apa PROKPROKPROK..
KEBESARAN TUHAN DI SEPANJANG PERJALANAN
Saya bertanya pada pria Austria yang duduk di depan, “Jadi Anda berdua berbicara dalam bahasa Jerman ya?” Pria Austria menjawab, “Ya, kami menggunakan bahasa Jerman, namun dengan dialek yang berbeda. Kami bisa paham orang Jerman saat berbicara, tapi orang Jerman belum tentu bisa paham jika kami bicara.” Wow keren! Saya tersenyum kagum.
Di sepanjang jalan menuju padang pasir ini, mata saya dibukakan lebar-lebar, akan kekuasaan Tuhan yang tidak memiliki tepian, yaitu pemandangan indah di luar jeep sana yang tidak bosan-bosan dipandang, dan yang terlihat sepele, situasi di dalam jeep ini sendiri. Sebagai seorang mahasiswa linguistik (aciyeee), saya merasakan bagaimana kerennya saat bahasa-bahasa yang begitu beragam dipukul, dipantulkan seperti sebuah bola ping-pong di atas meja. Ada lima bahasa bersliweran dalam jeep ini. Saya berbicara dengan Diga dalam bahasa Sunda, pasangan Prancis di depan saya bicara dalam bahasa Prancis, dan pasangan Austria yang duduk di depan bicara dalam bahasa Jerman dialek Austria. Saat semua penumpang jeep secara bersamaan bicara, ini mungkin akan tampak seperti benang kusut jika digambarkan. Untuk merajut benang-benang kusut ini agar menjadi rapi, kami semua menggunakan bahasa Inggris. Ada satu lagi bahasa yang bersembunyi dalam jeep ini, yaitu bahasa Jawa yang dituturkan Sang Sopir. Ia tampak hening karena ia tidak punya partner ‘bermain ping-pong’. Tapi di balik keheningan itu terdapat power yang luar biasa. Ini terbukti saat Pak Sopir nekad bicara dalam bahasanya, yang membuat situasi dalam jeep jadi ‘geger’ karena tak satu pun penumpang yang paham apa yang ia bicarakan. Namun akhirnya saya dan Diga berhasil ‘memaksanya’ menggunakan bahasa Indonesia, yang akhirnya menunjukkan bahwa bahasa Indonesia punya peran yang tidak sembarangan sebagai alat pengurai kekusutan yang setara dengan bahasa Inggris. Itulah bahasa, ciptaan Tuhan yang terlihat sederhana, tapi bukan main ajaibnya.
(bersambung..)
*photos by Diga Dirgantara