Sabtu, 16 Juni 2012

Melangkah ke Bromo # Part 2


HALO, BROMO! SALAM KENAL..
Akhirnya kami tiba di sebuah kampung yang hampir semua warganya memakai sarung yang dilingkarkan di badan dan topi kupluk yang dikenakan di kepala (Ya, tentu saja di kepala, bukan di dengkul!). Saya dan Diga diturunkan di depan penginapan yang sudah ditunjukkan si Feri aka sopir bison. Kami mendapatkan kamar di sebuah rumah yang kamar-kamar lainnya ternyata sudah diisi oleh pengunjung lain, rombongan adventurer dari Jakarta. Kamar yang akan kami huni untuk semalam ini dinginnya ngujubile. “Waduh mas, kok ini lampunya mati?” tanya saya saat menyalakan lampu. “Wah mas, disini listrik jam segini emang belum nyala. Nyalanya baru nanti, ntar malam.” Jawab si mas-mas penjaga penginapan. Waduh! Semua gadget canggih kami –seperti iPhone, iPad, komputer PC, GameBoy, kulkas, dan dispenser- padahal sedang butuh di-charge.
Sambil menunggu sore dan menunggu listrik di kampung mulai dinyalakan, saya dan Diga, partner backpacking mewah saya itu, ngobrol-ngobrol dengan penghuni kamar lain. “Gua Febri,” kata seorang pemuda agak gemuk saat berkenalan. Ternyata rombongan adventurer yang berjumlah 20 orang ini baru tiba kemarin di Bromo setelah sebelumnya bermalam di pulau Sempu, Malang. Kaki mereka semuanya lecet-lecet akibat melintasi medan berat di pulau Sempu. Beberapa orang anggotanya memaksakan tidur di kamar dengan pintu terbuka, dalam gulungan selimut tebal karena meriang kedinginan. Dinginnya Bromo memang tidak memandang orang ganteng maupun orang jelek (hahahaha). Febri dan kawan-kawan begitu hangat sekali.  Meskipun kami baru kenal, mereka tidak sungkan menawarkan semua makanan, minuman, obat-obatan, atau persediaan kopi yang mereka punya. Mereka membuatkan kami teh manis hangat, memberi kami jatah makanan milik mereka, meskipun akhirnya kami tidak sempat memakannya.
Waktu Ashar ternyata sudah tiba. Solat di Bromo adalah perjuangan yang luar biasa, mulai dari berwudhu dengan air yang dinginnya tidak masuk akal, sampai solat tanpa sajadah di lantai yang dinginnya luar binasa. Pokoknya solat di Bromo adalah sesuatu yang sangat ‘sesuatu’! Mungkin begitu kata Syahrini. Ah udara makin lama makin dingin saat matahari mulai bergerak turun. Saya dan Diga memutuskan untuk jalan berkeliling sekitar kampung untuk mengurangi rasa dingin. Kami berjalan terus menuju atas kampung, ke arah tower (saya tidak tahu ini tower apa, entah tower provider atau tower pelacak UFO). Masya Allah! saya takjub sekali saat melihat pemandangan di bawah sana. Ini seperti pemandangan yang saya lihat di tivi-tivi. Kalau kawan-kawan sudah menonton video Heima-nya Sigur ros yang perform live, mungkin seperti itulah kurang lebih pemandangannya. Gunung Bromo begitu hening ditemani kawah di sampingnya, dikelilingi gurun pasir dan pegunungan serta bukit-bukit hijau di sekitarnya. Saat matahari mulai menyingsing di ufuk barat, keheningan Bromo begitu menghanyutkan, membuat saya ingin melupakan masa lalu dan meninggalkan masa depan (asedap!), hingga tukang cuanki dan penjual kupluk membuyarkan lamunan. Awan-awan mulai bergerak naik ke atas. Jarak dari atas tebing tempat kami berdiri ke gurun dan kawah di bawah sana tampaknya dekat sekali, tapi saya sadar bahwa saya keliru.  Saya melihat titik-titik bergerak di bawah sana. Setelah menelisik lekat-lekat, saya baru sadar ternyata itu adalah orang-orang berkuda dan orang-orang yang sedang menggunakan  sepeda motor di area gurun yang luas.

keheningan Bromo
bukit Heima


 langit memerah tanpamu aku galau (gagal bergurau)

titik-titik bercahaya

Malam menjelang, kami kembali ke penginapan saat lampu-lampu telah menyala. Malam hari, langit Bromo bertabur berjuta bintang, jauh lebih banyak dari yang saya pernah lihat dimanapun sebelumnya. Mungkin karena daerah ini belum terjangkit polusi cahaya.
Udara dingin Bromo di malam hari sekali lagi tidak masuk akal, sehingga saya tidak bisa tidur nyenyak akibat sebentar-sebentar terjaga. Padahal saya sudah pakai kaos kaki, sarung tangan, jaket dua lapis, kupluk, dan selimut, tapi ternyata memang tidak ngaruh. Setelah terbangun jam dua pagi, saya akhirnya memutuskan untuk tidak tidur. Saya akan menunggu jemputan jeep untuk melihat sunrisepada pukul setengah empat pagi. Di ruang tengah, Febri dan kawan-kawan sedang menonton TV. Saya tidak tahu darimana mereka meminjam benda mewah itu, karena sebelumnya di penginapan tidak ada TV. Mereka semua memasang wajah galau, sebagian memilih tidur. Setelah saya ikut nimbrung nonton, ternyata selidik punya selidik mereka berinisiatif meminjam TV pada si penjaga penginapan untuk menonton siaran langsung final Liga Champions. Namun apa daya, RCTI ternyata tidak menjangkau Bromo.
Pukul setengah empat, saya dan Diga sudah siap siaga stand by di depan penginapan untuk mencegat jeep yang akan ke Penanjakan untuk melihat sunrise. Di luar ternyata sudah banyak orang yang akan berangkat ke Penanjakan dengan menggunakan jeep. Lama kami menunggu, akhirnya jeep baru tiba pukul setengah lima. Ah tidak apa-apa, untunglah kami keren!
Penumpang jeep baru dua orang, itu artinya ia harus cari mangsa lain. Di depan sebuah penginapan yang banyak bule, jeep berhenti. Sepasang bule masuk ke dalam jeep setelah sebelumnya menyapa ramah, “Bonjour! Hallo!”  Kami balas menjawab “Bonjour!” persis slogan SPBU asing di kota-kota besar. Ya ternyata pasangan bule ini berasal dari Prancis. Mereka tidak berhenti bicara ‘kumur-kumur’ berdua di dalam jeep. Saya belum berani mengajak mereka ngobrol, walaupun kami duduk berhadap-hadapan. Tidak lama kemudian, sepasang bule lain yang eksentrik masuk ke dalam jeep. Mereka duduk di depan di samping Pak Kusir, eh Pak Sopir. Oke jeep sudah penuh. Dengan muatan total tujuh penumpang, kami tancap gas menuju Penanjakan. Di sepanjang perjalanan menuju Penanjakan yang saya lakukan hanyalah berusaha menahan rasa kantuk yang luar biasa. Kami tidak dapat menikmati pemandangan karena hari masih sangat gelap.
***

SUNRISE DI PENANJAKAN
Ternyata jarak dari pintu masuk wisata Bromo ke Penanjakan cukup jauh. Di sepanjang jalan banyak sekali mobil-mobil jeep sewaan dan sepeda motor wisatawan yang hendak menuju kesana. Ini rasanya hampir seperti mudik lebaran. Walhasil, setelah tiba di lokasi yang dituju, orang-orang sudah berjubel di spot untuk melihat sunrise. Yang ini sekarang seperti pasar tumpah, pasar gasibu atau pasar unpad! Saran saya buat teman-teman yang ingin ke Bromo, datanglah selain pada hari libur atau weekendagar tidak terlalu crowded. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya yang ditunggu muncul juga.

beautiful sunrise

sunrise waiters


Matahari menyembul sedikit demi sedikit dari ufuk timur. Para pengunjung mulai bersorak  tanpa alasan. Mungkin ini semacam pelampiasan dari melewatkan pertandingan antara Chelsea vs Bayern Munchen, hahaha. Sebagian jeprat-jepret dengan kameranya masing-masing sampai puas. Ada juga yang jeprat-jepret justru membelakangi sunrise (anomali). Setelah matahari mulai naik, para pengunjung mulai kembali ke bawah menuju tempat parkir jeep sewaan masing-masing untuk pindah ke lokasi berikutnya: padang pasir dan kawah.
Pasangan Prancis ternyata sudah menunggu, saat saya dan Diga sampai di bawah. Namun pasangan bule lain belum hadir. Setelah cukup lama menunggu dua bule yang tidak kunjung datang, akhirnya si bule pria Prancis memutuskan untuk menyusul ke atas untuk mencari mereka. Alhamdulillah tidak lama kemudian ia datang dengan dua orang yang dicari dengan selamat. “Halooooo..” Sapa si bule eksentrik yang sudah membuat orang menunggu dengan sok asik. Kami menjawab, “Halooo..” Oke, anggota sudah lengkap. Markibut! Si bule Prancis membukakan pintu belakang jeep dan mempersilakan kami masuk terlebih dahulu. Wah ternyata dia sopan sekali.

OBROLAN LINTAS BENUA
Dalam perjalanan menuju padang pasir kali ini, suasana mulai mencair. Setelah si bule pria Perancis menertawakan teman saya yang menguap karena ngantuk, akhirnya saya memberanikan diri untuk ngobrol-ngobrol. Dua bule Prancis ini sepertinya pasangan suami istri, umurnya mungkin sekitar 40-an. Mereka tampak begitu mesra. Si pria menggenggam tangan istrinya sepanjang perjalanan, mungkin takut istrinya tertukar atau tertinggal. Si bule pria tampak lebih asik ketimbang istrinya yang tampak sangat pendiam. Ini sepertinya perjalanan mereka yang pertama ke Bromo, atau bahkan mungkin ke Indonesia. Istrinya tampak sangat gugup.
Saya bertanya pada bule pria Prancis, “Dua bule yang di depan ini dari Prancis juga?” Si bule pria Prancis menjawab, “Oh bukan, mereka dari Austria” Ternyata bule-bule Austria yang sepertinya juga suami istri ini mendengar dan menyapa, “Halooo..” Kedua bule Austria ini jauh lebih asik dari bule-bule Prancis. Mereka tidak pemalu dan jauh lebih talkative. Ternyata selidik punya selidik, ini adalah kunjungan mereka yang keenam kali ke Indonesia! Pantas saja mereka terlihat jauh lebih santai dan menguasai medan. Perjalanan dari Penanjakan menuju padang pasir Bromo kali ini jauh lebih lebih berwarna. Suasana dalam jeep jauh lebih cair daripada saat berangkat menuju Penanjakan.
Saat jeep mulai bergoncang hebat akibat jalanan yang rusak, pria Prancis mulai menggoda, “Di Austria, Anda tidak akan pernah menemukan jalan seperti ini.” Kami semua tertawa. Saya bertanya padanya, “Oh ya?” Si pria Austria langsung menjawab, “Ya.” “Kamu tidak akan pernah menemukan jalan seperti ini di negara kami. Sekali kami menemukan lubang sekecil apapun, semua orang akan complain dan pemerintah akan segera memperbaikinya.” Saya tertawa, dan kemudian bertanya pada pria Prancis,”Bagaimana dengan di Prancis?” Ia menjawab, “Di Prancis juga sama. Di Jerman juga. Tapi Austria mungkin jauh lebih baik.”
Saya kemudian kembali bertanya pada bule Prancis, “Anda dari Paris?” Ia menjawab, “Oh tidak, kami dari #@$%% (Ia menyebutkan nama kota yang tidak familiar di telinga saya). Kamu pernah dengar?” Saya menjawab “tidak” sambil tersenyum. Ketika ia mencoba menjelaskan, tiba-tiba handphone saya berdering. Si pria Prancis menunjuk kantong celana saya, dan mengisyaratkan untuk mempersilakan saya mengangkat telpon dulu. Pembicaraan terhenti sejenak. Saat saya selesai menelpon, Ia langsung berkata dengan penuh semangat, “Saya akan meneruskan yang tadi ya.. @#@$@ adalah sebuah kota kecil yang terletak beberapa kilometer dari Marseille. Kamu tahu Marseille kan?” Saya jawab “ya”. Pria Austria ikut nimbrung dengan bertanya, “@@$@ itu terkenal dengan apanya ya?” “Oh kota kami terkenal dengan pub-pub nya. Selain itu ada bangunan-bangunan bersejarah dari abad ‘sekian’ (saya lupa lagi dia bilang abad berapa). “Oh ya, ya. Saya tahu kota kamu.” Perbincangan selanjutnya adalah obrolan mereka berdua tentang kampung halaman yang membuat saya bengong karena tidak punya bayangan akan small towns di Eropa. Saya kemudian bilang pada pria Prancis, “I hope I can visit your country someday.” Ia menjawab sambil tertawa, “Of course. Tapi tentu kamu harus kaya dulu ya, hahahaha.” Ia menambahkan, “Di negara kami, semuanya mahal. Satu bungkus rokok harganya 6 Euro, kebayang ngga?” Saya hanya berkata dalam hati, “WOW! Untung saya ngga merokok.”

KAMI TIDAK SUKA POLITIK!
Saat perbincangan berselang jeda, saya kembali memulai. Kali ini dengan topik yang agak  lebih keren, untuk menunjukkan bahwa saya tidak ‘buta-buta’ isu internasional banget. “By the way, Presiden Anda baru saja terpilih bukan?” tanya saya pada pria Prancis. Pasangan Austria langsung antusias menyambut dengan menoleh ke belakang. “Oh ya, ya..” ucap mereka. Namun pria Prancis sepertinya butuh waktu untuk menangkap pertanyaan saya. Dia balik bertanya, “maaf?”. Pasangan Prancis ini tampaknya kurang fasih berbahasa Inggris, dibandingkan pasangan Austria. Saya terkadang harus mengulang ucapan saya agar mereka mengerti, tidak seperti bule Austria yang dengan cepat menangkap apa yang saya ucapkan.  Setelah saya mengulang pertanyaan, Ia menjawab sambil tertawa, “Oh ya, Hollande baru saja terpilih.” Saya bertanya lagi, “Apakah Anda memilih dia?” Ia menjawab sambil tertawa, “No!” Kami semua dan pasangan Austria pun menyambutnya dengan tawa. Pria Prancis meneruskan, “Saya tidak memilih Hollande, tapi saya tidak suka Sarkozy.” Kali ini pria Prancis ini bicara panjang lebar. Ia memaparkan hitungan matematis kebijakan-kebijakan yang akan diambil Hollande yang mulai tidak saya pahami.  “Saya kira mereka berdua sama saja, Hollande dan Sarkozy. Intinya, ini semua kan hanya masalah kepentingan. Mereka hanya memikirkan diri sendiri, bukan rakyat,” jawabnya terkesan putus asa.  Saya mengiyakan dan berkata, “Politics is bullshit!” Tawa kami meledak satu jeep, kecuali Pak Sopir. Mungkin dia sedang asyik nyetir. Kali ini wanita Austria ikut menambahkan, “Ya, saya kira juga begitu. Politik sepertinya dimana saja sama. Bukan hanya di negara kami.” Oke, kini kami semua sepakat, setidaknya satu jeep minus Pak Sopir yang abstain: politics sucks!

“KAMI SUKA INDONESIA!”
Bule wanita Austria mengatakan “Saya kagum sama orang Indonesia, kebanyakan mereka mampu berbahasa Inggris dengan sangat baik. Mungkin yang paling baik di antara negara-negara Asia yang lain.” Saya tersenyum sambil menjawab, “Thank you”. Di dalam hati berdoa, “Mudah-mudahan saya termasuk orang yang ‘kebanyakan’ itu, hahaha. Ia meneruskan, “Dan orangnya baik-baik. Kami suka Indonesia. Kalian punya nature yang bagus, buah-buahan yang enak.” Saya kemudian bertanya, “Buah apa yang paling kamu suka?” “ Semuanya! Saya suka semuanya”jawabnya cepat.
Kalau begitu saya nobatkan kamu sebagai Ratu Buah-buahan Tropis! Simsalabim jadi apa PROKPROKPROK..

KEBESARAN TUHAN DI SEPANJANG PERJALANAN
Saya bertanya pada pria Austria yang duduk di depan, “Jadi Anda berdua berbicara dalam bahasa Jerman ya?” Pria Austria menjawab, “Ya, kami menggunakan bahasa Jerman, namun dengan dialek yang berbeda. Kami bisa paham orang Jerman saat berbicara, tapi orang Jerman belum tentu bisa paham jika kami bicara.” Wow keren! Saya tersenyum kagum.
Di sepanjang jalan menuju padang pasir ini, mata saya dibukakan lebar-lebar, akan kekuasaan Tuhan yang tidak memiliki tepian, yaitu pemandangan indah di luar jeep sana yang tidak bosan-bosan dipandang, dan yang terlihat sepele, situasi di dalam jeep ini sendiri. Sebagai seorang mahasiswa linguistik (aciyeee), saya merasakan bagaimana kerennya saat bahasa-bahasa yang begitu beragam dipukul, dipantulkan seperti sebuah bola ping-pong di atas meja. Ada lima bahasa bersliweran dalam jeep ini. Saya berbicara dengan Diga dalam bahasa Sunda, pasangan Prancis di depan saya bicara dalam bahasa Prancis, dan pasangan Austria yang duduk di depan bicara dalam bahasa Jerman dialek Austria. Saat semua penumpang jeep secara bersamaan  bicara, ini mungkin akan tampak seperti benang kusut jika digambarkan. Untuk merajut benang-benang kusut ini agar menjadi rapi, kami semua menggunakan bahasa Inggris. Ada satu lagi bahasa yang bersembunyi dalam jeep ini, yaitu bahasa Jawa yang dituturkan Sang Sopir. Ia tampak hening karena ia tidak punya partner ‘bermain ping-pong’. Tapi di balik keheningan itu terdapat power yang luar biasa. Ini terbukti saat Pak Sopir nekad bicara dalam bahasanya, yang membuat situasi dalam jeep jadi ‘geger’ karena tak satu pun penumpang yang paham apa yang ia bicarakan. Namun akhirnya saya dan Diga berhasil ‘memaksanya’ menggunakan bahasa Indonesia, yang akhirnya menunjukkan bahwa bahasa Indonesia punya peran yang tidak sembarangan sebagai alat pengurai kekusutan yang setara dengan bahasa Inggris. Itulah bahasa, ciptaan Tuhan yang terlihat sederhana, tapi bukan main ajaibnya.


(bersambung..)


*photos by Diga Dirgantara

Kamis, 24 Mei 2012

Melangkah ke Bromo # Part 1

Setelah menghabiskan waktu selama delapan jam di kereta dari Jogja, akhirnya kami tiba di Stasiun Baru Malang pada pukul delapan pagi. Kami memutuskan untuk numpang mandi di WC umum stasiun terlebih dahulu sebelum melanjutkan perjalanan menuju Probolinggo karena badan rasanya sudah terasa sangat lengket  akibat tidak mandi dua hari. Ternyata butuh waktu lama untuk dapat giliran mandi, karena keadaan di stasiun cukup ramai pengunjung yang baru saja turun dari kereta. Saya bahkan harus menunggu seorang Ibu yang mandi plus memandikan dua orang anaknya! Masuk akal..
'touch down' Malang!
Pada pukul sepuluh pagi, setelah selesai mandi dan sedikit berdandan agar terlihat keren ala backpacker kaya, kami melanjutkan perjalanan menuju terminal Arjosari, Malang, dengan menyetop angkot dengan kode AL di depan stasiun, sesuai petunjuk yang kami peroleh dari Mbah Google. Dari terminal, kami menaiki bis dengan rute Malang-Banyuwangi. Ada perasaan was-was saat kami memutuskan untuk naik bis ini. Apalagi teman saya yang menjadi ‘seksi Google’ ini tampak agak ragu-ragu. Akhirnya terjadi kejadian lucu disini. Teman saya yang sudah browsing internet bertanya pada Pak Kondektur sebelum kami naik bis, “ Pak ini bis ke Banyu Angi tidak?” Pak Kondektur menjawab ‘tegas-tegas keren’ dengan berkata, “Iya, ini ke Banyuwangi!” Kemudian beliau balik bertanya, “Emang sampean mau kemana?”. Teman saya menjawab, “Ke Banyu Angi, Pak. Ini turun disana ngga?” “Ya, ini memang kesana. Naik, naik!” tegas Pak Kondektur. Saya sebenarnya mencium sesuatu yang agak aneh disini, apakah yang dimaksud teman saya ini memang Banyuwangi, atau memang daerah yang kami tuju untuk mencapai Bromo bernama Banyu Angi. Setahu saya, Bromo tidak terletak sampai jauh ke Banyuwangi. Tapi karena bukan saya yang mengurusi urusan per-browsing-an, akhirnya saya take it for granted sajalah. Di atas bis, saya coba tanya lagi ke teman saya, ” Ini kita mau kemana sih?” “Kita mau ke Banyu Angi, nama terminalnya Probolinggo” jawabnya. Hoo..akhirnya saya tenang setelah mengetahui Banyu Angi adalah nama sebuah terminal.
Setelah duduk di bis yang berjalan beberapa kilometer, Pak Kondektur berkeliaran menagih ongkos. Akhirnya tibalah giliran kami. “Kemana?” Tanya Pak Kondektur. Saya jawab dengan pede, “Banyu Angi, Pak!” Pak Kondektur membalas, ”90 ribu (untuk dua orang)”. Saya kaget sekali dan melihat ke arah teman saya sambil berkata dalam hati, “Busyet ko mahal buanget!” Namun akhirnya saya tetap mengeluarkan uang dan membayar 90 ribu rupiah. Saat Pak Kondektur berlalu setelah menagih ongkos dan sampai di bagian depan bis, teman saya berkata sambil melihat BB-nya, “Wah salah, Bay! Bukan Banyu Angi, tapi  Bayu Angga!” O walah jon, jon..ternyata teman saya salah ingat.  Akhirnya dengan malu-malu saya colek Pak Kondek, “Pak ini ke Bayu Angga ngga?”
“Emang sampean mau kemana???” Ia malah balik bertanya dengan nada seperti orang ngajak berantem. “Bayu Angga, Pak.” kami menjawab sekali lagi. “Emang sampean mau kemana?” aduhai beliau bertanya sekali lagi dengan nada bicara layaknya seorang rocker gaek. “Ke Bromo, Pak!” akhirnya kami jawab to the point saja. “O walah, Dek, Dek..Makanya saya tanya tadi mau kemana, biar jawab yang jelas. Keliru ini” kata Pak Kondek. Saya kaget bukan kepalang, bersiap-siap untuk turun. Tapi saya tanya sekali lagi, “ini turun di Bayu Angga ngga, Pak?” Beliau menjawab sambil mengembalikan beberapa uang saya, “Makanya tadi bilang yang jelas, mau ke Bromo. Iya ini lewat Bayu Angga.” Perbincangan panas ini ternyata menarik perhatian seluruh penumpanng bis. Saya baru sadar ternyata mereka semua memandang ke arah kami dan mungkin bertanya, “Ini orang berdua dari mana sih? Ko udik banget! Hahaha. Ah tapi tidak apalah, toh akhirnya saya lega sekali, ternyata ini bis yang benar untuk menuju Bromo. Ongkosnya pun ternyata tidak semahal yang tadi, yaitu hanya 28 ribu untuk dua orang. Akhirnya kami duduk manis di bis menunggu turun di terminal Bayu Angga. Perjalanan dalam bis selanjutnya hanya dimeriahkan oleh pengamen-pengamen bersuara fals yang sambung-menyambung turun naik dengan ucapan pembukaan, “Ya maaf Bapak-bapak, Ibu-ibu..Pengamen lagi, pengamen lagi.. Selamat siang di dalam bis yang sedang menuju kotaku Pasuruan, Probolinggo dan sekitarnya..” Lantas mereka mulai bernyanyi.

***

Pukul setengah dua, kami tiba di terminal Bayu Angga, Probolinggo. Panas menyengat luar biasa, meskipun kota ini berada di kaki pegunungan. Badan lemas sekali rasanya. Oh iya kami baru ingat, ternyata dari pagi belum sempat ‘bertemu’ nasi. Akhirnya kami mampir dulu di kompleks perwarungan di sebelah terminal untuk makan siang, sekalian mencari kendaraan yang disebut bison oleh Mbah Google. Kendaraan ini konon katanya banyak parkir di dekat terminal, memiliki ciri-ciri berwarna hijau, dan hobinya suka ngetem. Kenapa kami mencari kendaraan ini? Karena menurut Mbah Google, kendaraan inilah yang kan mengantar kami naik ke Bromo sana.
Setelah selesai makan, kami menemukan sosok bison ini, yang ternyata adalah mobil ELF (kalo kata orang Pandeglang) berdasarkan kriteria yang sudah dijabarkan Mbah Google. Saat mau naik, ternyata penumpang masih kosong. Alamat menunggu lama, akhirnya kami memutuskan  untuk solat Dzuhur dulu dan bertanya pada sopir, dimanakah mesjid terdekat. Mas sopir menyuruh seorang anak muda sekira siswa kelas tiga SMP untuk mengantar kami ke mesjid terdekat tidak jauh di belakang warung. “Masnya santai aja dulu ya, nanti kalo udah mau berangkat kami kabarin” katanya. Ternyata benar, setelah kami solat dan beristirahat sejenak, sang kondektur tiba dengan membawa pesan bahwa mobil sudah siap berangkat. "Capcus ciyn!" (tapi dia tidak bilang begitu kok)
Bah! Setelah sampai di tempat perngeteman, ternyata mobil belum mau berangkat. “Santai dulu aja mas di luar, kira-kira dua orang lagi lah. Nunggu di dalem, panas.” Kata pemuda ini dengan logat bicara orang Bali.  “Kenalan dulu, nama saya Feri. Nanti saya yang nyopirin” tambahnya. Di dalam mobil saya lihat sudah cukup banyak penumpang, plus tiga orang bule: dua orang duduk di belakang dan satu orang duduk di depan. Tidak lama kemudian, datang tiga orang pemuda-pemudi. “Nah, sudah ada tiga orang ni, yuk kita berangkat!” kata Feri si sopir bison. Semua penumpang ditumpuk sedemikian rupa sebelum mobil berangkat. Teman saya kebagian duduk di bagian pojok paling belakang mobil, sedangkan saya duduk di depan, berdua dengan seorang bule. Mobil sudah penuh luar biasa, namun tepat saat mobil hendak berjalan, datang seorang nenek membawa barang bawaan banyak plus seorang pemuda. Aih, ini artinya penumpang akan lebih di-press sampai padat. Feri sang sopir menginstruksikan si bule untuk geser sedikit ke kanan, mendekat ke sisinya. Si bule pun menyuruh saya untuk memangku nenek yang baru datang tadi. WOW! Namun setelah diatur sedemikian sehingga oleh kondektur, hasil akhirnya adalah: saya duduk bertiga di depan di samping Pak Sopir yang sedang bekerja untuk membantu mobil agar tidak baik jalannya. Saya duduk di tengah, diapit seorang pemuda asal Jombang di kiri, dan seorang bule di kanan. Lamanya perjalanan kata Feri sekitar 1,5 jam. Oke Bromo, kami datang!
Situasi di dalam bison sebelum kedatangan Sang Nenek (dilihat dari posisi Diga)
Perjalanan dari Bayu Angga menuju Bromo adalah perjalanan yang sedikit demi sedikit menanjak. Udara lama kelamaan mulai terasa dingin. Jurang-jurang dengan pohon-pohon pinus mulai bermunculan. Tanjakan semakin lama semakin curam, tapi pemandangan makin lama makin indah. Kebun-kebun sayuran menghias lembah-lembah begitu rupa. Namun udara sejuk sayangnya membuat  mata terasa makin lama makin mengantuk. Beberapa kali saya tersentak bangun dari posisi tidur yang sangat tidak nyaman. Untuk menepis rasa kantuk, saya coba mengajak ngobrol bule yang terus menatap ke depan dengan tatapan  mata galau.  “Where are you from, Sir?” tanya  saya pada bule yang duduk di sebelah.  “Wales. You know it?” Ia balik bertanya. Waduh ini bule meremehkan pengetahuan geografi saya. “So you’re a British.” Jawab saya. Ia menjawab “Ya”. “Tuh kan tau gua juga, sembarangan sih lu” jawab saya dalam hati. Kemudian saya bertanya apakah ia sudah pernah ke Bromo sebelumnya. Ia menjawab belum, ini adalah yang pertama. Ia balik bertanya hal yang sama dan saya jawab, ini juga kali pertama saya kemari, soalnya rumah saya jauh dari sini. “You’ll take a jeep tomorrow?” si bule bertanya pada saya. Saya jawab, “Ya.” Selebihnya Si orang Wales banyak diam dan terus memandang ke depan. Bule ini sepertinya memang tipikal bule-bule Britania yang cool dan tidak suka banyak cakap.
Tidak lama mobil kemudian berhenti di sebuah hotel. Feri si sopir bertanya pada Mas-mas Wales, ”You stay here, right?” “Yeah,” jawab si bule. Kami yang berada di sebelah bule Wales ini pun turun satu persatu untuk memberi jalan agar ia bisa turun. Dua orang temannya yang duduk di belakang menyusulnya turun dari mobil. Ransel-ransel mereka yang diletakkan di atas mobil juga diturunkan. “Thank you. See you tomorrow.” ucapnya sebelum saya naik lagi ke mobil. Saya membalas, “Okay!”

(bersambung..)

Rabu, 08 Februari 2012

Sekolah Kehidupan


Ini adalah sekolah di luar sekolah. Semua orang bisa mendaftar jadi murid tanpa bayar sepeser pun. Semua yang bergerak, semua yang menua, dan semua yang berubah ini sedang menjelaskan banyak pelajaran. Merekalah gurunya. Belajarlah dengan mengambil hikmahnya. Merenunglah sebagai ganti membaca buku. Ujian bisa datang sewaktu-waktu, seringnya tiba-tiba. Siap tidak siap. Kalau kamu terus belajar,mudah-mudahan ujianmu lancar. Kemajuan dan prestasimu tidak dinilai dengan angka-angka atau huruf-huruf semata, tapi dengan kematangan, kedewasaan, kepekaan. Keberhasilanmu kelak tidak dijanjikan kebahagiaan semu seperti materi, tapi diganjar kebahagiaan hakiki. Ia datang dari hati.
Ini sekolah tanpa bangunan. Semua orang boleh datang dan pergi silih berganti, sesukanya, semaunya. Kamu semua boleh menolak pelajaran, duduk diam, menyimak antusias, jadi aktif atau memilih jadi pasif. Disini semua bisa jadi murid, semua juga bisa jadi guru.Hari ini kamu jadi murid, mungkin besok atau lusa, kamu yang jadi gurunya.
Ini sekolah tanpa pagar, ini sekolah tanpa bangunan. Ini sekolah, karunia Tuhan. ‘Sekolah kehidupan.’

Bandung, 5 Februari 2012

Selasa, 24 Januari 2012

Aku dan Bapakku

Bapakku lahir 57 tahun lalu, dan aku lahir 23 tahun yang tahun lalu. 
Bapakku sekolah sampai sarjana, tapi ia ingin aku wisuda sampai S3. 
Bapakku dulu mengabdi pada negri, tapi ia ingin esok aku mengabdi pada rakyat. 
Bapakku sudah pernah keluar negri. Tapi jika ia pernah injakkan kaki di padang Arafah, ia ingin aku menjelajah hingga gurun Nevada. 
Bapakku dulu berkutat dengan mesin tik, tapi kini ia ingin aku piawai memainkan jari di tuts-tuts keyboard komputer. 
Bapakku pecandu rokok nomer wahid, tapi ia kecewa jika aku coba-coba menghisap benda itu walau sedikit. 
Jika ketabahan ibunda Widji Tukul mengubah sayur murah terasa meriah, ketulusan bapakku menyulap ambulance jadi mobil mewah. 
Bapakku menitipkan sesuatu yang ia sebut ‘kebanggaan’ di pundakku, tapi ia tidak mau aku balik membangga-banggakannya. 
Bapakku memang tidak sempurna. Tapi kasih sayang dan pengorbanan yang ia curahkan dalam keadaan yang tidak sempurna itu meyakinkanku, bahwa ia dikirim ke dunia oleh Zat Yang Maha Sempurna.   
  

Ini bapakku, mana bapakmu?

Kamis, 12 Januari 2012

Jangan Tangkap Jangkrik!

Saya ingat masa-masa SMP dulu, di suatu subuh di bulan Ramadhan. Usai solat, berangkat cari jangkrik bersama seorang teman di belakang rumahnya. Saya berniat tangkap jangkrik lalu masukkan ke dalam toples, botol air mineral, atau wadah apa saja yang bisa ditaruh di kamar. “Suara jangkrik dalam kamar bikin suasana tidur macam di hutan, seperti di alam bebas,” kata teman. Saya jadi kepingin pelihara dan taruh di kamar jadinya. Biar bisa tidur macam di alam bebas.
Subuh itu kami dapat jangkriknya, walaupun cuma dua ekor. Itu pun kecil-kecil. Saya simpan di botol air mineral yang sudah diberi lubang-lubang kecil biar mereka bisa bernafas. Saya beri pula daun-daunan untuk mereka makan. Daun-daunnya bahkan saya basahi, biar mereka tidak kehausan. Masalah mereka senang atau bahagia, saya tak tahu dan terlalu peduli. Yang penting mereka bersuara buat saya, membuat suasana tidur saya nyaman bagai di hutan.
Cuma satu hari saja jangkrik-jangkrik itu bertahan. Satu ekor mencoba kabur, seekor lagi akhirnya mati. Apa yang saya berikan untuk mereka; tempat tinggal yang serupa habitat aslinya, makanan dan minuman, ternyata sama sekali tak membuat mereka mau bertahan. Mungkin karena disitu bukan tempatnya, bukan habitat aslinya. Ah, saya tidak mau lagi mencari. Istilah kerennya mungkin, saya tidak mau lagi mengeksploitasi.
Kemarin malam sepulang dari warung, saya dapati seorang tetangga bersama putrinya sedang menyisir semak-semak di tanah kosong depan rumah. Mau cari jangkrik katanya. Mereka sepertinya tergoda memelihara jangkrik di kamar setelah mendengar nyanyian serangga-serangga  yang mulai menggema kembali di sekitaran komplek rumah kami.
Kawan-kawan, saya bukan pecinta hewan sejati. Saya juga bukan seorang vegetarian. Tapi yang saya yakini, ketika orang-orang menangkap jangkrik dan berusaha mengkandangkannya untuk mendengar suaranya, di sisi lain mereka telah mengurangi kenyaringan dan kemerduan suara hewan-hewan itu. Saya yakin, suara-suara mereka di alam liar akan jauh lebih indah dan nyaring. Usia mereka pun mungkin akan lebih panjang daripada usia mereka di dalam kandang. Selain itu, ketika orang-orang menangkap jangkrik dan meletakkannya dalam kamar, rumah, atau di tempat mana pun yang mereka anggap ‘private’, maka perlahan-lahan mereka telah mencoba menangkap dan mengkandangkan hak orang lain, hak tetangganya, untuk bisa menikmati orkestra jangkrik dari tempat yang seharusnya mereka berada, di alam bebas sana.

Sabtu, 07 Januari 2012

Struggling to Suffer*

The application form has been sent and the confirmation email has been received. There's a little bit of serenity to feel because I have stayed up all night for almost two weeks to rewrite these essays. It reminds me of about six months ago, when I did the same thing: spending nights to convert memories in my head into words that eventually become a complete writing. Frankly, I’m afraid to face another failure. But I have finally decided that I won’t back off or just surrender. I’ve tried as hard as I can, and now is time to pray. I’ve just taken my ‘second-time’ small step tonight. There’s a prayer said to accompany this application, “God please give the best place for my sincerity.” By the time the form has just been sent successfully, an imagination beautifully painted inside my head.
***
I will be standing in front of the door of the classroom at a plain school building, waiting for my lovely shoeless-students to run and come closer. Their shirts and faces look dirty but the smiles and laughter sparkle naturally with no editing as I always see in some ‘commercial break’ of cosmetic products on television. The afternoon comes, the sun is gone, then we're all home. The collaboration of quiet night, the sound of night-insects and river at the back of traditional woody house play a melodious symphony. The people’s faces are just lit by dim kerosene-lamps. When the morning comes, we don’t have to watch and hear some irritating news of graft, bribery, and other corruption cases anymore. Life's so simple here, but I realize this kind of simplicity does bring happiness into my life. I talk to myself as I'm starring at the ceiling before going to sleep, "The kids here must get the best education. They have rights to be smart, enlightened, and to stand equally with their peers in other places. I hope some day there will be, at least one out of tens or two out of hundreds of children coming to school this morning who are brave to fight against injustice and bring a big change to their society.
***
I suddenly awake from my beautiful daydream. The night has deeply fallen and I begin to feel the cold. I pull the blanket and wrap almost the whole of my body. If only God opens this small path for me then I’ll be able to enjoy this comfortable bed and shining electrical lamps no more, at least for a year. Yet who wants not to exchange these comforts with a more real happiness?

Thursday, December 15, 2011
I wrote this note soon after sending my application form for Gerakan Indonesia Mengajar
*inspired by a title of book written by Jeffrey Lang, ‘Struggling to Surrender’