TIDAK MUDAH MENGENAL DIRI SENDIRI
Beberapa hari yang lalu, saat makan siang di sebuah warteg, saya bertanya pada seorang teman yang kebetulan kemarin juga makan siang bersama saya, “Wah bukannya kemarin baru aja makan siang pakai cumi ya, sekarang kok makan cumi lagi? Ga bosen?” tanya saya sambil tertawa. Ia kemudian menjawab, “Iya ni, saya juga ngga ngerti, kalo tiap makan di warung dan menunya ada cumi, pasti saya pilih cumi buat lauknya. Saya juga baru nyadar ni, kayaknya cumi emang makanan favorit saya” ujarnya sambil tertawa.
Cerita tentang seorang teman di atas bagi saya merupakan sebuah contoh sederhana mengenai betapa sulitnya terkadang mengenal dan memahami diri sendiri, bahkan untuk hal-hal sederhana, seperti makanan favorit, olahraga favorit, atau hal-hal lain. Seseorang bisa saja mengatakan ‘A’ adalah makanan atau olahraga favoritnya, namun kerapkali pula Ia akhirnya sadar bahwa ‘A’ ternyata bukanlah makanan atau olahraga yang benar-benar disukainya. Jika untuk menentukan hal-hal yang ‘mudah’ seperti itu saja kita terkadang masih mungkin keliru, maka menjadi tidak mudah bagi kita untuk mendeskripsikan diri atau karakter diri sendiri. Tidak sedikit dari kita, bahkan saya sendiri, yang masih merasa kesulitan menjawab pertanyaan: “Apa kelebihan dan kekurangan Anda?” Rasanya jauh lebih mudah untuk menilai lantas memahami orang lain daripada diri sendiri, walaupun sebenarnya pernyataan ini juga tidaklah benar.
Mengenal dan memahami diri sendiri memang bukanlah perkara mudah, terlebih untuk menggalinya jauh lebih dalam. Menemukan dan memaksimalkan potensi diri bahkan lebih sulit lagi. Kita bahkan terkadang tak dapat benar-benar mengerti motivasi-motivasi, kegelisahan-kegelisahan, mimpi-mimpi, kata hati, dan psikologi kita sendiri. Butuh waktu yang tidak sebentar untuk dapat memahami diri kita seutuhnya, bisa bertahun-tahun bahkan sepanjang hayat. Menurut Rene Suhardono, untuk menemukan passion diri sendiri saja, seseorang harus merenung setiap malam sebelum tidur, menulis atau mencatat apa saja yang telah ia lakukan, dan hal apa saja yang membuat ia senang selama satu hari tadi. Mungkin karena sulitnya memahami dan benar-benar mengenal diri sendiri inilah, profesi motivator dan career coach selalu dibutuhkan untuk menyediakan ‘cermin’ bagi diri kita.
YANG BAHAGIA, YANG MENGENAL DIRI SENDIRI DAN MENGIKUTI KATA HATI
Diri sendiri adalah kompas. Nugie menyebutnya ‘lentera jiwa’ dalam lagunya, mengacu pada nurani yang berasal dari diri sendiri. Dengan kompas atau lentera jiwa inilah kita menapaki jalan-jalan sunyi menuju kebahagiaan dalam hidup. Ia membantu menentukan arah, menunjukkan jalan kemana kita harus melangkah, serta memahami apa yang benar-benar kita inginkan untuk kita dapatkan. Oleh karena itu, sebelum menemukan kebahagiaan, seseorang harus lebih dulu menemukan diri sendiri dengan mengenalnya.
Banyak orang yang tidak bahagia dengan apa yang dikerjakannya, meskipun orang-orang di luar menilainya sukses dan pasti bahagia dinilai dari segi materi. Ia terjebak dalam opini dan definisi orang lain yang sebenarnya tidak pernah ia amini: kebahagiaan adalah materi, dan materi adalah kebahagiaan. Ia tidak bahagia dengan apa yang dilakukannya Yang berusaha ia dapatkan bukan yang sungguh-sungguh ia inginkan. Sebaliknya, ada orang yang merasa sangat bahagia dengan apa yang ia kerjakan, meskipun orang lain menilainya tidak bahagia jika dipandang dari segi materi. Namun tidak sedikit pula orang yang sukses dan bahagia secara materi, rupanya sukses dan bahagia pula batinnya. Orang-orang ini telah berhasil mengenali dirinya, dan berani mengikuti kata hatinya. Ada orang yang tahu apa yang ia inginkan, tapi tidak berani mendapatkannya. “Yang berhasil dan bahagia adalah yang mampu mengenali diri, mengikuti kata hati, dan menemukan apa yang benar-benar ia cari dalam pekerjaannya,” mengutip (dengan perubahan seperlunya) ucapan seorang teman.
BEKERJA SEBAGAI PENCARIAN DIRI
Karl Marx kurang lebih mengatakan bahwa bekerja adalah kegiatan menemukan identitas, menemukan jati diri. Hal ini dipertegas pula oleh perkataan Pak Subhan, seorang rekan, bahwa aktualisasi diri adalah hierarki tertinggi dalam kebutuhan manusia, ia melampaui materi (hasil pembelajarannya semasa kuliah di jurusan Psikologi). Saya kira dalam soal ini mereka sejalan, hanya beda istilah. Marx menyebutnya ‘menemukan identitas’, Pak Subhan menyebutnya ‘aktualisasi diri’. Pak Subhan tidak terinspirasi Karl Marx, lebih-lebih Marx tidak pernah nge-fan pada Pak Subhan. Marx mungkin tidak percaya Tuhan, sedangkan Pak Subhan relijius bukan kepalang. Tapi mereka kini berada dalam satu kereta pemikiran, bahwa bekerja adalah media penting untuk mengenal dan menemukan identitas diri. Kenali dan temukan diri sendiri, definisikan bahagia itu menurut hati nurani, lalu mulailah melangkah untuk meraihnya.
MENGENAL DIRI, MENGENAL TUHAN
Pada akhirnya, mengenal diri sendiri mengantarkan kita pada sebuah misi paling suci: menemukan Sang Maha Kasih, Sang Pemilik Kekuasaan yang tiada berbatas, yaitu Tuhan. Mengenal diri sendiri adalah anak tangga kecil untuk mengenal Sang Khalik, seperti kata pepatah: “Siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya.” Dan di penghujung tulisan ini, seraya kita melangkah menuju ruang-ruang perenungan baru tentang diri ini, saya akan mengutip kata-kata Fakhruddin al-Razi yang begitu menyentuh, yang berbunyi:
“Yang paling dekat dengan seseorang adalah dirinya. Apabila cahaya akal lemah tidak bisa menerangi hakikat dirinya, lalu bagaimana ia bisa menjangkau keagungan Tuhan yang jauhnya tiada terhingga?” -Fakhruddin al-Razi (544-606 H/1149-1209 M)-
Mari kenali diri lebih dekat lagi..
Bayu Permana Sukma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar