Senin, 28 November 2011

'Selimut Debu', Karya Agustinus Wibowo: Sebuah Catatan

Saya pertama kali melihat dan mendengar nama Agustinus Wibowo di acara Kick Andy, episode ‘Para Petualang’. Di acara itu, Agustinus menjadi salah seorang narasumber yang bercerita banyak mengenai pengalaman backpacking-nya yang ‘nekat’ di luar negri. Unik sekali. Banyak cerita-cerita menarik, lucu dan menggelitik yang keluar dari mulutnya. Laki-laki ini pemberani! Saya begitu tertarik dan terkesan mendengar pengalaman-pengalaman Agustinus. Negara yang ia pilih untuk dikunjungi dan jelajahi jelas bukan negara biasa. Bukan Jepang, bukan Korea, Australia, Amerika, atau salah satu negara maju di benua Eropa, melainkan sebuah negara yang sudah babak belur akibat perang, terkenal reputasinya sebagai negara kacau balau: Afghanistan! Di acara Kick Andy itu pula Agustinus memperkenalkan sebuah buku yang ia tulis sendiri, berkisah tentang catatan perjalanannya menjelajah setiap sudut Afghanistan. Buku itu ia beri judul ‘Selimut Debu’. Penasaran ingin tahu lebih banyak dengan kisahnya di negri Osama bin Laden itu, saya akhirnya memutuskan untuk membeli bukunya. Buku ini tergolong tebal buat saya, 461 halaman. Namun cara menulis Agustinus yang sangat baik membuat saya tidak bosan membuka lembar demi lembarnya.

Sesuai judul bukunya, Agustinus mengibaratkan Afghanistan sebagai tempat menarik yang tertutup ‘selimut debu’. Meskipun hancur lebur akibat perang, ia menunjukkan bahwa negri ini masih punya paras jelita, sisa-sisa kejayaan peradaban di masa lampau, sisi-sisi kemanusiaan para penduduknya dan -yang paling penting- harapan masyarakatnya untuk bangkit dari keterpurukan. Agustinus menemukan kembali harta karun dunia yang telah lama hilang bernama Afghanistan.

***

Agustinus berkelana dari satu propinsi ke propinsi lain di Afghanistan. Ia beristirahat hingga terlelap dari satu shamovar –kedai teh dalam bahasa Afghan- kumuh ke shamovar kumuh lain, menghabiskan malam-malam gelap gulita tanpa penerangan dari dusun terpencil satu ke dusun terpencil yang lain. Ia turun naik menumpang jeep dan truk tua buatan Rusia, mengenakan shalwar qamiz –pakaian adat Afghan-. Wajahnya yang sangat ‘mongoloid’ membuat banyak orang Afghan mengiranya seorang pria dari suku Hazara –salah satu etnik yang mendiami Afghanistan-. Agustinus begitu menyatu. Ia menjadi bagian dari rakyat Afghanistan. Ia turut lebur dalam debu-debu yang menyelimuti tanah gersang negri Afghan.

Agustinus menjadi saksi hidup di sebuah daerah berdimensi lain dari bumi yang kita diami. Di Kabul –ibukota Afghanistan-, Agustinus melihat bagaimana perang telah memporak-porandakan negri ini. Orang-orang cacat kehilangan anggota tubuh akibat hantaman roket atau terinjak ranjau berkeliaran dimana-mana, kebanyakan menjadi pengemis di jalanan. Orang tua, wanita hingga anak-anak tak berdosa jadi korban – perang tidak memilih mangsanya (kata Agustinus). Kepentingan asing sangat kentara pula di negri ini, khususnya di Kabul. Tentara perdamaian dari macam-macam negara berpatroli di jalan setiap hari. Lembaga-lembaga donor asing menjamur, pekerja sosial dan relawan berdatangan dari seluruh penjuru dunia. Dana bantuan untuk rekonstruksi berjuta-juta dollar digelontorkan, namun ironisnya seperti sama sekali tidak berdampak apa-apa bagi rakyat Afghan. Jutaan dollar menguap begitu saja setiap tahunnya. Penyaluran dana tidak dapat diserahkan langsung kepada rakyat miskin, melainkan mesti lewat proses birokrasi yang berbelit. Lembaga donor dan rakyat miskin Afghan sepertinya punya dimensi kehidupan masing-masing.

Di Kandahar, Agustinus menyaksikan bagaimana teror bom, serangan roket dan penculikan telah menjadi makanan sehari-hari rakyat Afghan. Bom meledak hampir dua hari sekali. Tidurnya bahkan kerap terganggu akibat ledakan roket. Kekerasan sudah menjadi berita yang tidak hangat dan menarik lagi di media-media. Orang-orang sudah bosan. Jika ada bom meledak, masyarakat berkumpul. Kemudian bertanya berapa jumlah korban. Setelah itu? Kehidupan kembali berjalan seperti biasa seakan tidak terjadi apa-apa. Kerasnya Kandahar yang bukan main bahkan terlihat dari salah satu leluconnya ini,

Pembeli: Berapa harga kepala kambing ini?

Penjual: Lima puluh afghani (mata uang Afghanistan).

Pembeli: Lima puluh? Terlalu mahal! Dua puluh saja.

Penjual: Apa? Dua puluh afghani?Kamu gila? Kamu kira ini kepala manusia?

Di propinsi-propinsi lain dan daerah di luar Kabul, Agustinus melihat keterbelakangan dan kemiskinan telah menjadi baju rakyat Afghan. Jalan-jalan yang tak beraspal dengan medan berat telah mengisolasi banyak kampung. Jalan mulus beraspal cuma ada di Kabul dan sebagian kecil daerah saja. Tidak ada sekolah. Tanah gersang, tidak dapat ditanami gandum. Tak ada yang bisa dimakan. Jika musim dingin tiba, entah berapa orang yang mati akibat kelaparan. Namun disini pula Agustinus melihat sisi kemanusiaan yang begitu luar biasa dari masyarakat Afghan. Sikap bersahabat mereka yang tulus terhadap mehman –tamu, orang asing - membuat Agustinus tidak pernah merasa lelah melangkahkan kaki dari satu tempat ke tempat lain. Perlakuan mereka terhadap ‘musafir’ membuat Agustinus tidak pernah merasa berjalan sendiri. Masyarakat Afghan tidak pernah segan mengajak orang asing yang baru mereka jumpai di truk atau shamovar untuk menginap di rumah-rumah mereka. Roti yang tersisa satu potong pun rela mereka bagi meski dari pagi perut belum terisi. Perang telah memporak-porandakan kampung halaman, kemiskinan begitu pahit membelit, namun rasa kemanusiaan dan budaya memperlakukan ‘tamu’ dengan baik ini ternyata tidak pernah terkikis atau luntur sedikitpun. Ada pepatah Afghan yang dikutip Agustinus dalam bukunya mengatakan, Yak ruz didi dost, digar ruz didi baradar yang berarti “Hari pertama yang kau lihat adalah teman, hari berikutnya yang kau lihat adalah saudara

Rasa kebanggaan terhadap suku dan sifat primordial masih kuat menancap dalam masyarakat Afghan. Negri ini memang multietnik. Dari Hazara, Tajik, Uzbek, hingga yang paling dominan, Pashtun. Etnik yang satu kerap membangga-banggakan dirinya, tapi di sisi lain kerap pula memberikan stigma negatif pada etnik yang lain. Ada pula yang ogah memakai bahasa etnik lain dengan alasan yang melecehkan, “Ah itu bahasa ‘wanita’ ” Dua aliran agama mayoritas yang dipeluk, Syiah dan Sunni, juga turut mengkotak-kotakkan masyarakat Afghan. Agustinus memaklumi ini semua. Baginya, di sebuah negri yang telah lama digerogoti perang, perbedaan sekecil apapun bisa jadi perkara sensitif. Namun di balik kekacauan, penderitaan, kemiskinan, keterbelakangan yang tak berujung ini, rakyat Afghan masih punya harapan dan cita-cita yang besar untuk bangkit dari keterpurukan. Sebagian melakukan ikhtiar dengan menyebrang ke negri-negri tetangga dengan menjadi pengungsi seperti Iran dan Pakistan. Sedangkan yang punya uang lebih bermimpi untuk hidup layak di Australia, meskipun paling-paling tercegat di Indonesia. Jika kondisi sudah normal seperti sedia kala, mereka akan kembali ke negri tercinta: Afghanistan, vatan dan khaak (tanah air) mereka.

***

Agustinus menceritakan pengalaman-pengalaman yang ia temui dalam bukunya dengan detil. Gaya deksripsinya yang kuat membuat kita seolah ikut serta dalam perjalanannya, duduk dalam jeep yang sama dengan yang ia tumpangi, terombang-ambing dalam truk berisi hewan ternak bersama-sama dengannya, tidur di sampingnya dalam shamovar kumuh yang dikerubuti lalat. Debu kendaraan yang ia naiki seakan masuk ke sela mata dan ikut tertelan dalam tenggorokan. Agustinus tidak membiarkan Anda sepenuhnya berimajinasi dengan kata-kata yang ditulisnya, tapi ia juga menuntun anda dengan menyertakan beberapa hasil foto yang diabadikannya dalam beberapa lembar halaman berwarna di tengah buku. Anda masih diberi gambaran.

Buku ini sangat direkomendasikan bagi Anda yang menyukai petualangan, yang tertarik dengan perbedaan budaya, bahasa, adat istiadat sebuah bangsa di bagian bumi yang lain, serta Anda yang ingin tahu lebih banyak mengenai dimensi-dimensi lain kehidupan dari ‘negri-negri mimpi’ yang jarang diekspos media mainstream.

Selamat membaca! Selamat bertualang bersama Agustinus Wibowo!



Bayu Permana Sukma

Selasa, 01 November 2011

MENGENAL DIRI SENDIRI

TIDAK MUDAH MENGENAL DIRI SENDIRI

Beberapa hari yang lalu, saat makan siang di sebuah warteg, saya bertanya pada seorang teman yang kebetulan kemarin juga makan siang bersama saya, “Wah bukannya kemarin baru aja makan siang pakai cumi ya, sekarang kok makan cumi lagi? Ga bosen?” tanya saya sambil tertawa. Ia kemudian menjawab, “Iya ni, saya juga ngga ngerti, kalo tiap makan di warung dan menunya ada cumi, pasti saya pilih cumi buat lauknya. Saya juga baru nyadar ni, kayaknya cumi emang makanan favorit saya” ujarnya sambil tertawa.

Cerita tentang seorang teman di atas bagi saya merupakan sebuah contoh sederhana mengenai betapa sulitnya terkadang mengenal dan memahami diri sendiri, bahkan untuk hal-hal sederhana, seperti makanan favorit, olahraga favorit, atau hal-hal lain. Seseorang bisa saja mengatakan ‘A’ adalah makanan atau olahraga favoritnya, namun kerapkali pula Ia akhirnya sadar bahwa ‘A’ ternyata bukanlah makanan atau olahraga yang benar-benar disukainya. Jika untuk menentukan hal-hal yang ‘mudah’ seperti itu saja kita terkadang masih mungkin keliru, maka menjadi tidak mudah bagi kita untuk mendeskripsikan diri atau karakter diri sendiri. Tidak sedikit dari kita, bahkan saya sendiri, yang masih merasa kesulitan menjawab pertanyaan: “Apa kelebihan dan kekurangan Anda?” Rasanya jauh lebih mudah untuk menilai lantas memahami orang lain daripada diri sendiri, walaupun sebenarnya pernyataan ini juga tidaklah benar.

Mengenal dan memahami diri sendiri memang bukanlah perkara mudah, terlebih untuk menggalinya jauh lebih dalam. Menemukan dan memaksimalkan potensi diri bahkan lebih sulit lagi. Kita bahkan terkadang tak dapat benar-benar mengerti motivasi-motivasi, kegelisahan-kegelisahan, mimpi-mimpi, kata hati, dan psikologi kita sendiri. Butuh waktu yang tidak sebentar untuk dapat memahami diri kita seutuhnya, bisa bertahun-tahun bahkan sepanjang hayat. Menurut Rene Suhardono, untuk menemukan passion diri sendiri saja, seseorang harus merenung setiap malam sebelum tidur, menulis atau mencatat apa saja yang telah ia lakukan, dan hal apa saja yang membuat ia senang selama satu hari tadi. Mungkin karena sulitnya memahami dan benar-benar mengenal diri sendiri inilah, profesi motivator dan career coach selalu dibutuhkan untuk menyediakan ‘cermin’ bagi diri kita.

YANG BAHAGIA, YANG MENGENAL DIRI SENDIRI DAN MENGIKUTI KATA HATI

Diri sendiri adalah kompas. Nugie menyebutnya ‘lentera jiwa’ dalam lagunya, mengacu pada nurani yang berasal dari diri sendiri. Dengan kompas atau lentera jiwa inilah kita menapaki jalan-jalan sunyi menuju kebahagiaan dalam hidup. Ia membantu menentukan arah, menunjukkan jalan kemana kita harus melangkah, serta memahami apa yang benar-benar kita inginkan untuk kita dapatkan. Oleh karena itu, sebelum menemukan kebahagiaan, seseorang harus lebih dulu menemukan diri sendiri dengan mengenalnya.

Banyak orang yang tidak bahagia dengan apa yang dikerjakannya, meskipun orang-orang di luar menilainya sukses dan pasti bahagia dinilai dari segi materi. Ia terjebak dalam opini dan definisi orang lain yang sebenarnya tidak pernah ia amini: kebahagiaan adalah materi, dan materi adalah kebahagiaan. Ia tidak bahagia dengan apa yang dilakukannya Yang berusaha ia dapatkan bukan yang sungguh-sungguh ia inginkan. Sebaliknya, ada orang yang merasa sangat bahagia dengan apa yang ia kerjakan, meskipun orang lain menilainya tidak bahagia jika dipandang dari segi materi. Namun tidak sedikit pula orang yang sukses dan bahagia secara materi, rupanya sukses dan bahagia pula batinnya. Orang-orang ini telah berhasil mengenali dirinya, dan berani mengikuti kata hatinya. Ada orang yang tahu apa yang ia inginkan, tapi tidak berani mendapatkannya. “Yang berhasil dan bahagia adalah yang mampu mengenali diri, mengikuti kata hati, dan menemukan apa yang benar-benar ia cari dalam pekerjaannya,” mengutip (dengan perubahan seperlunya) ucapan seorang teman.

BEKERJA SEBAGAI PENCARIAN DIRI

Karl Marx kurang lebih mengatakan bahwa bekerja adalah kegiatan menemukan identitas, menemukan jati diri. Hal ini dipertegas pula oleh perkataan Pak Subhan, seorang rekan, bahwa aktualisasi diri adalah hierarki tertinggi dalam kebutuhan manusia, ia melampaui materi (hasil pembelajarannya semasa kuliah di jurusan Psikologi). Saya kira dalam soal ini mereka sejalan, hanya beda istilah. Marx menyebutnya ‘menemukan identitas’, Pak Subhan menyebutnya ‘aktualisasi diri’. Pak Subhan tidak terinspirasi Karl Marx, lebih-lebih Marx tidak pernah nge-fan pada Pak Subhan. Marx mungkin tidak percaya Tuhan, sedangkan Pak Subhan relijius bukan kepalang. Tapi mereka kini berada dalam satu kereta pemikiran, bahwa bekerja adalah media penting untuk mengenal dan menemukan identitas diri. Kenali dan temukan diri sendiri, definisikan bahagia itu menurut hati nurani, lalu mulailah melangkah untuk meraihnya.

MENGENAL DIRI, MENGENAL TUHAN

Pada akhirnya, mengenal diri sendiri mengantarkan kita pada sebuah misi paling suci: menemukan Sang Maha Kasih, Sang Pemilik Kekuasaan yang tiada berbatas, yaitu Tuhan. Mengenal diri sendiri adalah anak tangga kecil untuk mengenal Sang Khalik, seperti kata pepatah: “Siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya.” Dan di penghujung tulisan ini, seraya kita melangkah menuju ruang-ruang perenungan baru tentang diri ini, saya akan mengutip kata-kata Fakhruddin al-Razi yang begitu menyentuh, yang berbunyi:

“Yang paling dekat dengan seseorang adalah dirinya. Apabila cahaya akal lemah tidak bisa menerangi hakikat dirinya, lalu bagaimana ia bisa menjangkau keagungan Tuhan yang jauhnya tiada terhingga?” -Fakhruddin al-Razi (544-606 H/1149-1209 M)-

Mari kenali diri lebih dekat lagi..


Bayu Permana Sukma