Senin, 21 Maret 2011

Kebebasan

Suatu ketika kami sedang terjebak macet di dalam mobil di jalanan Jakarta, Papa bicara,"ck..ck..ck..kok kuat ya orang-orang kerja di Jakarta? Berangkat subuh, pulang malam. Rutinitas selalu berulang. Besok begitu lagi, lusa juga begitu, bulan depan, tahun depan. Gak kerasa usia sudah 43, anak sudah pada dewasa. Hidup terasa begitu singkat."

Tiba-tiba saja saya teringat obrolan itu, ketika berhenti di lampu merah perempatan jalan. Ah, mungkin memang ada yang salah dengan hidup kita ini. Kita kerap terjebak oleh perangkap-perangkap yang ironisnya kita buat sendiri. Jika sudah begini, pikiran saya akan terbang jauh, membayangkan apa yang dilakukan Christopher McCandless dalam film Into The Wild: mengemasi barang-barang, melakukan perjalanan ke tempat-tempat asing untuk mencari sesuatu yang kerap didengar, tapi sulit untuk benar-benar didapatkan. Sesuatu yang bernama 'kebebasan'..

Jumat, 18 Maret 2011

Yang Dicemaskan dari Masa Tua

Ayahmu akan berbalik badan, membelakangimu, menyeka air matanya, hingga kamu berlalu dengan orang yang sudah kamu pilih, kamu yakini dengan sungguh-sungguh, bahwa ia adalah orang yang tepat untuk mendampingi kamu menghabiskan sisa-sisa hidupmu, mengulang siklus yang dulu ayahmu, ibumu, serta kakek nenekmu lakukan, mengarungi kehidupan baru yang disebut pernikahan. Ayahmu pasti berat melepas kamu, ketika sadar bahwa anaknya akan segera melepaskan genggaman sang ayah yang sudah bertahun-tahun lamanya tidak terlepas. Ia takut, tidak sanggup membayangkan hari-hari begitu sepi tanpa gelak tawamu. Tak akan ada lagi yang bisa Ia panggil untuk sekedar berbagi obrolan, hanya ibumu yang akan terus di sampingnya, menghiburnya, mengatakan, "hidup memang seperti itu, ketika anak-anak sudah beranjak dewasa, kita mesti rela melepasnya."
Ia akan teringat masa-masa mudanya, saat kamu menghiburnya ketika ia letih pulang bekerja. Ia rindu menghabiskan akhir pekan bersama kamu dan ibumu dengan pergi keluar kota. Esok sudah tak ada, kamu sudah bukan miliknya, kamu sudah lepas darinya. Air matanya akan berlinang lebih hebat ketika membayangkan kenyataan bahwa kamu akan lebih cinta pada anak-anakmu ketimbang dirinya. "Cinta orang tua adalah untuk anaknya, tapi cinta anaknya adalah untuk cucu-cucunya," begitu pikirnya sambil mengusap air mata.
Kamu akhirnya undur diri, mencium tangannya. Kamu mengecil di matanya. Lambaian tanganmu tidak lagi tampak di dalam matanya yang berkaca-kaca. Kamu sudah pergi, tapi Ayahmu tetap berdiri di belakang pintu pagar, lunglai.
Ia tak bisa menerima kenyataan bahwa hidup tak pernah benar-benar memiliki. Berat baginya memahami bahwa dalam hidup selalu ada yang pergi, meski kadang tidak kembali. Ia lantas tidak mengerti, bahwa hidup memang seperti roda, berputar-putar, membawa kita dari bawah ke atas, dan dari atas kembali ke bawah. Dari tidak memiliki jadi memiliki, dari sendiri menjadi bersama, hingga kembali sendiri. Ia tidak mengerti, meski kata-kata dari buku Bukan Pasar Malam-nya Pram yang kerap Ia baca, "Hidup bukan pasar malam. Kita datang beramai-ramai, tapi pulang tidak beramai-ramai" selalu terngiang di kupingnya.
Inilah yang ia cemaskan ketika tiba masa tua, satu per satu yang ia punya pergi meninggalkannya. Ia takut sepi, Ia tidak mau sendiri..


Serang, 19 Maret 2011