Di atas trotoar sebuah jembatan kecil, seorang anak muda berjaket jeans lusuh tampak duduk termenung dengan sebuah tas yang cukup besar di punggungnya. Sesekali ia terbangun dari lamunannya dan mengedarkan pandangan ke segala arah seperti hendak mencari seseorang. Dan ia tampak mulai gelisah, sebelum akhirnya melihatku di kejauhan berlari dengan terengah-engah.
“Maaf membuatmu lama menunggu, Gil, Ayah baru mengizinkanku menutup warung pukul lima” ujarku dengan nafas tersengal.
“Tidak apa-apa, kawan” balasnya dengan senyum yang sangat ramah.
“Bis terakhir akan lewat pukul berapa?” Tanyaku lagi..
“Mungkin pukul setengah enam, sebentar lagi” jawabnya lagi dengan senyuman yang ramah.
“Kau benar-benar sudah yakin akan tetap berangkat sekarang? Tidak mau tunggu sampai ujian akhir dan ijazah SMA mu kau peroleh?” aku bertanya kembali dengan nada menyesal.
Ia menjawab, tapi kali ini cukup lama. “Tidak, aku sudah memikirkannya matang-matang. Bapak sudah benar-benar tak mampu membiayai sekolahku lagi. Kelima adikku sudah mulai besar-besar, dan mereka juga butuh pendidikan seperti aku dulu. Akan sangat sulit bagi seorang buruh tani untuk menyekolahkan semua anaknya sampai tamat SMA. Biarlah aku yang mengalah, karena memang harus aku yang mengalah.” ujarnya sambil menatap langit di arah matahari mulai memerah.
Anak muda itu masih saja selalu tersenyum, meskipun kerasnya hidup kerap menghancurkan kebahagiaan dan semangat masa mudanya. Berkali-kali ia sebenarnya sudah harus putus sekolah, bahkan dari SD, tapi berkali-kali pula ia masih mampu bertahan.
“Aku ingin selamanya menjadi anak kecil, Gil. Selamanya menjadi anak SD, yang sering berenang di sungai atau memanjat pohon asam di belakang sekolah. Tidak pernah memikirkan kerasnya hidup, apalagi mencoba berdamai dengannya.” ujarku dengan nada datar.
Agil hanya tersenyum. “Seandainya saja bisa..” jawabnya.
“Tapi kenyataannya inilah kita sekarang, dua orang anak muda yang sudah beranjak dewasa, kau dan aku. Tidak bisa tidak. Hidup sudah menunggu di depan sana, menunggu untuk dilawan atau diajak berdamai. Dan kali ini aku harus mengajaknya berdamai” ia meneruskan kata-katanya sambil melihat ke sungai kecil di bawah jembatan.
Agil adalah sahabatku sejak kecil. Sahabat yang selalu bersamaku mewarnai indahnya masa-masa kecil di kota kecil ini. Kami selalu satu sekolah, dari SD sampai SMA, hingga akhirnya ia harus pergi dan memilih untuk tidak menyelesaikan SMA-nya karena beban keluarga yang tidak tertanggungkan lagi. Sebulan lalu, abangnya yang sulung, yang bekerja sebagai buruh perkebunan kelapa sawit di sebuah negri yang sangat jauh dari kotaku ini mengiriminya surat. Dalam surat itu, abangnya mengajak Agil ikut bekerja di tempat ia bekerja, untuk meringankan beban bapak mereka yang sudah mulai benar-benar kesulitan menanggung beban tujuh orang dalam keluarga, terlebih karena musim kemarau berkepanjangan kerap mengacaukan masa panen sawah-sawah yang mulai menyempit di kota kecil ini. Dan waktu satu bulan sudah cukup bagi Agil untuk memikirkan matang-matang apa yang harus ia lakukan.
“Ini untukmu, Gil.” Ujarku sambil menyerahkan dua buah buku yang kubawa. Dan ia dengan senyum sumringah menerima buku itu. Buku yang satu adalah buku yang berisi kumpulan tulisan dan pemikiran Marx dan Engels, dan buku yang kedua adalah kumpulan cerpen Sobron Aidit.
Buku-buku itu kuberikan padanya karena kehidupannya nanti di negri yang jauh itu pasti akan sangat keras dan rawan mengalami penindasan. Pekerjaan sebagai buruh kasar di manapun jelas bukan pekerjaan yang menyenangkan, di belahan bumi manapun.
“Buku-buku itu kuberikan untukmu, agar kelak jika sudah berada di sana, kau tahu bila kau sedang diinjak, kau ditindas, dan hak-hakmu dirampas, sehingga kelak kau berani melawan dan berontak atas nama keadilan. Banyak orang tidak melawan bukan karena tidak berani, tapi justru karena tidak tahu bahwa mereka sedang diinjak-injak.”
Aku menghela nafas sejenak dan meneruskan kata-kataku. “Aku tak mengharapkanmu jadi pahlawan bagi orang lain, yang aku ingin kau cukup jadi pahlawan bagi dirimu sendiri.”
Agil mengangguk.
“Ingat, ‘baca dan lawan!’, jangan lari seperti Forrest Gump” kupukul bahunya pelan.
Agil mengangguk sekali lagi tanda paham.
“Oh iya ini satu lagi” aku mengeluarkan sebuah buku tentang akhlak Rasulullah dari tas kecilku. “Ini untukmu juga”
“Belajar Marxisme juga harus disertai dengan moral yang kuat, dan banyak orang justru melupakan hal itu” tambahku. “Bacalah buku-buku itu olehmu”
Agil kembali mengangguk paham sambil memasukkan buku-buku itu ke dalam tas besarnya.
Sebuah plastik berisi uang kertas dan koin berbagai pecahan yang berjumlah seratus ribu
aku masukkan paksa ke dalam tasnya. “Ini hasil kerjaku menjual cengkeh sebulan ini, jangan kau tolak, dan pergunakanlah sebaik-baiknya.” Ujarku.
Agil terdiam menahan haru, sampai sesaat kemudian suara bis kencang menderu dari kejauhan terdengar mendekat.
“Terima kasih banyak, sahabat..” ujar Agil padaku.
Aku balas menjawab, “ Berjanjilah padaku bahwa kau akan baik-baik saja, kembali ke tempat ini dan menemuiku di jembatan kecil ini. Berjanjilah padaku bahwa beratnya hidup juga tidak akan membunuh mimpimu.”
“Untuk jadi Steinbeck?” Tanyanya.
“Ya, untuk jadi Steinbeck berikutnya” jawabku.
“Memang ada saat kita harus harus berdamai dengan hidup, tapi tetap berjuang melawannya untuk menyalakan mimpi-mimpi yang kian meredup” jawab Agil sambil tersenyum.
Aku memeluk anak muda itu erat sekali. Tak terasa waktu begitu cepat mengubah kami yang rasanya baru kemarin masih bocah kini menjadi dua anak muda yang beranjak dewasa. Tak terasa pula aku mulai menitikkan air mata.
Dan bis kumal yang sudah terdengar derunya dari kejauhan tadi mulai menampakkan batang hidungnya di tikungan jalan, lima ratus meter dari jembatan, hingga akhirnya berhenti dan membawa sahabat masa kecilku itu.
Agil tersenyum dari jendela sambil melambaikan tangan tanda perpisahan. Aku balas tersenyum dan lambaikan tangan padanya sambil berusaha merekam ingatan akan perpisahan ini untuk menagih janjinya bertemu kembali di jembatan ini, meskipun kelak kami tidak muda lagi. Kami berdua telah berjanji untuk tetap bertahan hidup, sampai tiba waktu yang tak ditentukan untuk bertemu kembali di tempat ini.
Suara adzan maghrib sayup-sayup berkumandang di seluruh penjuru kota kecil ini. Tapi disini aku masih berdiri, terpaku, menatap bis yang kian lama kian menjauh itu. Bis itu bergerak cepat ke arah matahari yang kian berwarna merah dan mulai terbenam, seperti hendak menabraknya, mengantar Agil untuk menabrak hidup dan kemudian mencoba berdamai dengannya.
Jatinangor, 17 Februari 2010
untuk kakak saya, Adhi Permana Yudha, dan sahabat-sahabat masa kecil di berbagai kota..
Senin, 22 Februari 2010
Kamis, 04 Februari 2010
Sesuatu yang Ditulis tentang ‘Rumah’
Rumah kami sederhana, kawan. Ukurannya tidak besar, karena hanya ada satu ruang tamu, dua kamar tidur, satu kamar mandi dan dapur. Atapnya terbuat dari seng. Jika siang, panasnya luar biasa menyengat. Jika malam, dingin kuat membekap. Lantai rumah kami tidak terbuat dari keramik. Bila musim hujan tiba, kadang air merendam sampai ke lutut orang dewasa karena sungai yang ada di dekat tikungan sana meluap hebat.
Di rumah kami tak banyak barang mewah. Yang mewah itu mungkin hanya sebuah televisi berukuran 14 inchi yang warnanya sudah mulai kabur, karena dibeli bekas oleh Ayah. Sisanya hanya kursi-kursi dan meja, serta satu buah kompor yang ada di dapur.Rumah kami letaknya di samping sebuah sekolah dasar yang menghadap ke sebuah jalan kecil. Bila pagi datang, terdengar suara keras anak-anak sekolah menghafalkan perkalian. Bila siang hingga sore menjelang, lalu lalang gerobak kuda yang mengangkut jagung hasil perkebunan warga kampung di balik gunung. Beberapa meter di belakang rumah kami ada kandang kuda milik tetangga. Terkadang aku main kesana, melihat tingkah polah kuda-kuda dan anaknya, sebuah pemandangan yang tak pernah kulihat di tempat tinggal kami sebelumnya. Di samping rumah kami ada pohon kapuk. Jika angin bertiup agak kencang isi buahnya akan menghambur seperti salju kumal yang turun bergumpal dari langit. Ibu sering memungut kapuk-kapuk itu untuk dimasukkan ke dalam bantal dan menjahitnya di belakang rumah.
Rumah kami sederhana kawan, tapi aku tenang jika ada di dalamnya. Jika jenuh di sekolah karena kesal dengan teman-teman baru atau hampir ditampar guru karena lupa memasukkan baju, aku teringat rumah. Dan jika lonceng tanda pulang telah dibunyikan, aku segera lari menghambur keluar pagar sekolah menuju rumah. Menemui Ibu yang sedang mencuci, Kakak yang ternyata sudah pulang sekolah dari tadi, dan menyambut Ayah yang tampak letih sepulang bekerja.
Rumah kami memang sederhana, kawan, tapi aku senang ada di dalamnya. Menonton televisi yang hanya menyiarkan TVRI pun tak pernah aku sesali asalkan di rumah. Di luar kadang mengesalkan, tapi disini selalu menyenangkan.
***
Kini kami telah pindah rumah, kawan. Tapi perasaan cinta dan rinduku pada sesuatu bernama rumah tak pernah berubah, masih selalu sama. Tak peduli dimana letak dan bagaimana bentuk rumah kami kini. Hingga akhirnya aku sadar, ternyata bukan rumah itu yang aku cintai dan rindukan selama ini. Bukan rumah itu, tapi ‘rumah’ itulah. Suasana rumah buah karya para penghuninya yang selalu berusaha saling melengkapi di kala susah atau senang, di kala punya atau tak punya, saling membantu berdiri di kala salah seorang dari kami terjatuh dan kemudian memberi motivasi untuk tetap berlari. Suasana indah karya orang-orang di rumah yang selalu menghadirkan tawa dan canda itulah ternyata yang selalu aku rindukan selama ini. Suasana indah hasil karya orang-orang yang membuatku tak pernah merasa berjalan sendiri, karena kami saling memiliki.
“What can money buy, my friends? House, but not home..”
Jatinangor, 31 Januari 2010
Langganan:
Postingan (Atom)