'touch down' Malang! |
Pada pukul sepuluh pagi, setelah selesai mandi dan sedikit
berdandan agar terlihat keren ala backpacker kaya, kami melanjutkan perjalanan
menuju terminal Arjosari, Malang, dengan menyetop angkot dengan kode AL di
depan stasiun, sesuai petunjuk yang kami peroleh dari Mbah Google. Dari
terminal, kami menaiki bis dengan rute Malang-Banyuwangi. Ada perasaan was-was
saat kami memutuskan untuk naik bis ini. Apalagi teman saya yang menjadi ‘seksi
Google’ ini tampak agak ragu-ragu. Akhirnya terjadi kejadian lucu disini.
Teman saya yang sudah browsing internet bertanya pada Pak Kondektur sebelum
kami naik bis, “ Pak ini bis ke Banyu Angi tidak?” Pak Kondektur menjawab
‘tegas-tegas keren’ dengan berkata, “Iya, ini ke Banyuwangi!” Kemudian beliau
balik bertanya, “Emang sampean mau kemana?”. Teman saya menjawab, “Ke Banyu
Angi, Pak. Ini turun disana ngga?” “Ya, ini memang kesana. Naik, naik!” tegas
Pak Kondektur. Saya sebenarnya mencium sesuatu yang agak aneh disini, apakah
yang dimaksud teman saya ini memang Banyuwangi, atau memang daerah yang kami tuju untuk mencapai Bromo bernama Banyu Angi. Setahu saya, Bromo tidak terletak sampai jauh ke
Banyuwangi. Tapi karena bukan saya yang mengurusi urusan per-browsing-an,
akhirnya saya take it for granted
sajalah. Di atas bis, saya coba tanya lagi ke teman saya, ” Ini kita mau kemana
sih?” “Kita mau ke Banyu Angi, nama terminalnya Probolinggo” jawabnya.
Hoo..akhirnya saya tenang setelah mengetahui Banyu Angi adalah nama sebuah
terminal.
Setelah duduk di bis yang berjalan beberapa kilometer, Pak
Kondektur berkeliaran menagih ongkos. Akhirnya tibalah giliran kami. “Kemana?”
Tanya Pak Kondektur. Saya jawab dengan pede, “Banyu Angi, Pak!” Pak Kondektur
membalas, ”90 ribu (untuk dua orang)”. Saya kaget sekali dan melihat ke arah
teman saya sambil berkata dalam hati, “Busyet ko mahal buanget!” Namun akhirnya
saya tetap mengeluarkan uang dan membayar 90 ribu rupiah. Saat Pak Kondektur berlalu setelah menagih ongkos dan sampai di bagian depan bis, teman saya berkata sambil melihat BB-nya,
“Wah salah, Bay! Bukan Banyu Angi, tapi Bayu Angga!” O walah jon, jon..ternyata teman saya salah ingat. Akhirnya dengan
malu-malu saya colek Pak Kondek, “Pak ini ke Bayu Angga ngga?”
“Emang sampean mau kemana???” Ia malah balik bertanya dengan nada seperti
orang ngajak berantem. “Bayu Angga, Pak.” kami menjawab sekali lagi. “Emang
sampean mau kemana?” aduhai beliau bertanya sekali lagi dengan nada bicara layaknya seorang
rocker gaek. “Ke Bromo, Pak!” akhirnya kami jawab to the point saja. “O walah, Dek, Dek..Makanya saya tanya tadi mau
kemana, biar jawab yang jelas. Keliru ini” kata Pak Kondek. Saya kaget bukan
kepalang, bersiap-siap untuk turun. Tapi saya tanya sekali lagi, “ini turun di
Bayu Angga ngga, Pak?” Beliau menjawab sambil mengembalikan beberapa uang saya,
“Makanya tadi bilang yang jelas, mau ke Bromo. Iya ini lewat Bayu Angga.” Perbincangan
panas ini ternyata menarik perhatian seluruh penumpanng bis. Saya baru sadar
ternyata mereka semua memandang ke arah kami dan mungkin bertanya, “Ini orang
berdua dari mana sih? Ko udik banget! Hahaha. Ah tapi tidak apalah, toh
akhirnya saya lega sekali, ternyata ini bis yang benar untuk menuju Bromo.
Ongkosnya pun ternyata tidak semahal yang tadi, yaitu hanya 28 ribu untuk dua
orang. Akhirnya kami duduk manis di bis menunggu turun di terminal Bayu Angga.
Perjalanan dalam bis selanjutnya hanya dimeriahkan oleh pengamen-pengamen
bersuara fals yang sambung-menyambung turun naik dengan ucapan pembukaan, “Ya
maaf Bapak-bapak, Ibu-ibu..Pengamen lagi, pengamen lagi.. Selamat siang di
dalam bis yang sedang menuju kotaku Pasuruan, Probolinggo dan sekitarnya..”
Lantas mereka mulai bernyanyi.
***
Pukul setengah dua, kami tiba di terminal Bayu Angga,
Probolinggo. Panas menyengat luar biasa, meskipun kota ini berada di kaki
pegunungan. Badan lemas sekali rasanya. Oh iya kami baru ingat, ternyata dari
pagi belum sempat ‘bertemu’ nasi. Akhirnya kami mampir dulu di kompleks
perwarungan di sebelah terminal untuk makan siang, sekalian mencari kendaraan
yang disebut bison oleh Mbah Google. Kendaraan ini konon katanya banyak
parkir di dekat terminal, memiliki ciri-ciri berwarna hijau, dan hobinya suka
ngetem. Kenapa kami mencari kendaraan ini? Karena menurut Mbah Google,
kendaraan inilah yang kan mengantar kami naik ke Bromo sana.
Setelah selesai makan, kami menemukan sosok bison ini, yang ternyata adalah mobil ELF (kalo kata orang Pandeglang) berdasarkan kriteria yang sudah dijabarkan Mbah Google. Saat mau
naik, ternyata penumpang masih kosong. Alamat menunggu lama, akhirnya kami
memutuskan untuk solat Dzuhur dulu dan
bertanya pada sopir, dimanakah mesjid terdekat. Mas sopir menyuruh seorang anak
muda sekira siswa kelas tiga SMP untuk mengantar kami ke mesjid terdekat tidak
jauh di belakang warung. “Masnya santai aja dulu ya, nanti kalo udah mau
berangkat kami kabarin” katanya. Ternyata benar, setelah kami solat dan
beristirahat sejenak, sang kondektur tiba dengan membawa pesan bahwa mobil
sudah siap berangkat. "Capcus ciyn!" (tapi dia tidak bilang begitu kok)
Bah! Setelah sampai di tempat perngeteman, ternyata mobil
belum mau berangkat. “Santai dulu aja mas di luar, kira-kira dua orang lagi lah.
Nunggu di dalem, panas.” Kata pemuda ini dengan logat bicara orang Bali. “Kenalan dulu, nama saya Feri. Nanti saya
yang nyopirin” tambahnya. Di dalam mobil saya lihat sudah cukup banyak
penumpang, plus tiga orang bule: dua orang duduk di belakang dan satu orang
duduk di depan. Tidak lama kemudian, datang tiga orang pemuda-pemudi. “Nah,
sudah ada tiga orang ni, yuk kita berangkat!” kata Feri si sopir bison. Semua
penumpang ditumpuk sedemikian rupa sebelum mobil berangkat. Teman saya kebagian
duduk di bagian pojok paling belakang mobil, sedangkan saya duduk di depan,
berdua dengan seorang bule. Mobil sudah penuh luar biasa, namun tepat saat
mobil hendak berjalan, datang seorang nenek membawa barang bawaan banyak plus
seorang pemuda. Aih, ini artinya penumpang akan lebih di-press sampai padat.
Feri sang sopir menginstruksikan si bule untuk geser sedikit ke kanan, mendekat ke sisinya. Si
bule pun menyuruh saya untuk memangku nenek yang baru datang tadi. WOW! Namun
setelah diatur sedemikian sehingga oleh kondektur, hasil akhirnya adalah: saya
duduk bertiga di depan di samping Pak Sopir yang sedang bekerja untuk membantu
mobil agar tidak baik jalannya. Saya duduk di tengah, diapit seorang pemuda
asal Jombang di kiri, dan seorang bule di kanan. Lamanya perjalanan kata Feri
sekitar 1,5 jam. Oke Bromo, kami datang!
Situasi di dalam bison sebelum kedatangan Sang Nenek (dilihat dari posisi Diga) |
Tidak lama mobil kemudian berhenti di sebuah hotel. Feri si
sopir bertanya pada Mas-mas Wales, ”You stay here, right?” “Yeah,” jawab si
bule. Kami yang berada di sebelah bule Wales ini pun turun satu persatu untuk
memberi jalan agar ia bisa turun. Dua orang temannya yang duduk di belakang
menyusulnya turun dari mobil. Ransel-ransel mereka yang diletakkan di atas
mobil juga diturunkan. “Thank you. See you tomorrow.” ucapnya sebelum saya naik
lagi ke mobil. Saya membalas, “Okay!”
(bersambung..)