Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan

Kamis, 29 Januari 2015

Jawaban di Ujung Perjalanan

Perasaan apa yang muncul di hatimu jika mendengar kata Ramadhan? Sebagian besar tentu menjawab, kebahagiaan. Tapi bagiku, kata Ramadhan memunculkan dua mata perasaan. Tidak hanya kebahagiaan, tapi juga kesedihan. Terlebih jika aku harus mengingat-ingat kisah masa lalu.  Kisah  yang sudah lama berlalu, tapi tetap membekas di hatiku. Kisah yang mengejutkan di malam awal Ramadhan.
***
“Hati-hati ya, Nak. Hati-hati, Nak” berulangkali ibu mengucapkan kata-kata itu seraya memeluk erat, mengusap rambutku berkali-kali dan mencium keningku penuh haru. Air mata mengalir deras di sudut matanya. Ia tak sanggup lagi menahan ledakan emosi dalam dadanya. Perpisahan ini seolah-olah adalah pertemuan terakhir kami. Seolah-olah kami tak akan pernah bertemu lagi. Aku tak mengerti, apa yang sebenarnya terjadi. “Bukankah kami hanya pergi beberapa hari saja untuk menghabiskan liburan sekolahku dan kembali saat Ramadhan tiba?” tanyaku dalam hati.
Suara pria yang menyebalkan itu tiba-tiba memecah kesenduan.“Sudah siang! Mau berangkat jam berapa?” tanyanya nyinyir dengan nada tinggi bahkan setengah membentak. Aku menoleh padanya dengan wajah memerah dan balas membentak “Sabar! Ini juga udah mau jalan!” Setengah berlari akhirnya kususul ia yang tengah menaikkan dua buah koper berukuran jumbo ke mobil. Aku memandang koper-koper itu sekilas. Jumlah dan ukuran koper yang terlalu besar. Bahkan terlalu besar jika hanya untuk bepergian beberapa hari saja, pikirku.

Di depan pintu rumah, ibu berdiri lunglai. Ia tak henti meneteskan air mata saat melihat dua laki-laki yang begitu ia cintai dalam hidupnya berlalu dan perlahan hilang dari pandangan. Dua orang lelaki, yang sepertinya tidak akan pernah bersatu. Dua orang yang selalu saling tatap dengan penuh rasa benci.  Dada ibu semakin terasa sesak, mengingat buruknya hubunganku dengan pria itu selama ini.  Di usiaku kini yang sudah menginjak tujuh belas tahun, aku tak pernah merasa benar-benar memiliki seorang ayah. Begitupun dengan pria itu, ia juga sepertinya tak pernah merasa punya seorang anak. Seseorang yang bisa ia banggakan. Ada dinding yang begitu besar dan kokoh terbangun di antara kami berdua. Dinding yang membuat hubungan kami tak ubahnya air dan api.
Air semakin deras mengalir dari mata ibu, saat ia mulai menyalahkan suaminya, pria yang sedang bersamaku. Pertanyaan yang menyakitkan terus menghantuinya. “Mengapa suamiku tak pernah mampu melakukan apa yang aku lakukan: menghancurkan dinding penghalang itu?”
***
Mobil jeep yang kami kendarai melindas jalan-jalan tak beraspal dan berliku membelah hutan. Sudah dua hari kami menghabiskan waktu di perjalanan, masuk hutan keluar hutan, tapi tak satu katapun terucap dari mulut kami masing-masing. Takada percakapan apapun. Soal sekolah, pekerjaan atau sekedar obrolan-obrolan ringan dan hangat layaknya seorang ayah dan putranya. Selama perjalanan, aku hanya sibuk dengan musik dari mp3 player yang mengalir lewat earphone-ku. Sementara pria itu, tetap larut di balik kemudi dengan berbatang-batang rokok yang entah keberapa ia hisap. Suasana di luar begitu hening, tapi atmosfer di dalam mobil takkalah dingin. Aku memandang wajahnya sesekali, sembunyi-sembunyi. Ia tampak kelelahan menahan beban ribuan ton di pelupuk matanya, karena perjalanan berhari-hari diselingi hanya beberapa kali istirahat.
Tiba-tiba..BRAAAAK!!! Suara yang sangat keras terdengar hebat. Kepalaku terasa berputar-putar. Seluruh badanku terasa remuk.  Setelah itu, aku tak ingat apa-apa lagi.
***
Mataku sedikit demi sedikit terbuka. Perlahan aku bisa melihat dengan jelas sekelilingku. Kami berada di hutan yang sangat lebat. Matahari hanya mampu mengintip sedikit saja karena pepohonan begitu rapat. Aku melihat pria itu sedang berusaha mengeluarkan beberapa peralatan dari mobil yang sudah terjungkal dan ringsek parah. Mobil kami terjerembab ke jurang dalam. Namun beruntung kami berdua masih selamat. Karena melihatku sudah sadar, ia menghampiri dengan tertatih. Kakinya pincang. Lukanya tampak serius.
“Kamu sudah bangun, Jane?” tanyanya datar, berusaha terlihat dingin. Aku melihat tanganku yang sudah dipenuhi luka-luka kering. Kepalaku pun, ternyata sudah dibalut kain. Kami memang selamat, tapi persoalan berikutnya menanti. Bagaimana bertahan di jurang berhutan rapat ini sampai bantuan datang?
Bertahan hidup di hutan belantara dengan fisik penuh luka sungguh mengerikan. Terlebih lagi kami hanya bertahan dengan sisa tiga bungkus roti dan satu botol air mineral. Berkali-kali aku putus asa, jika mengingat sudah berhari-hari kami terjebak di sini, namun belum ada satu orangpun yang datang menolong. Tapi di balik situasi mengerikan ini, ada hikmah terselubung bagi diriku, bagi pria itu. Ganasnya hutan, keadaan yang serba tak pasti perlahan mencairkan hubungan kami. Setiap usaha bahu-membahu untuk bertahan hidup ternyata menyatukan emosi kami. Dan dalam situasi seperti ini, perlahan aku mulai melihat sisi yang lain dari dirinya. Sisi berbeda yang tak pernah kuketahui sebelumnya. Kasih sayang, perhatian, dan kelembutan, yang aku pikir ia tidak terlahir untuk miliki. Aku melihat ketulusan dalam dirinya.
Puncak mencairnya hubunganku dengan pria itu adalah malam ini, di malam keempat kami terjebak di tempat ini. Keputusasaanku sudah sampai di titik puncaknya. Bagaimanapun aku hanya seorang anak muda berumur tujuh belas tahun. Keadaan ini begitu mengerikan bagiku. Sudah tiga hari, kami tidak lagi makan dan minum. Mencari makan di alam liar tak semudah seperti di film Rambo. Badanku luar biasa lemasnya. Kami berbaring di lantai hutan beralaskan baju yang sudah berhari-hari tak diganti. Ia terbaring di sampingku. Mata kami tertuju ke langit malam yang dipenuhi bintang.
“Dua hari lagi Ramadhan..” setengah berbisik aku berkata, seolah bicara pada diriku sendiri. “Yah..” tanpa sadar aku memanggilnya dengan sebutan itu. Mungkin ini yang pertama kali dalam hidupku. Ia memandangku dengan lemah. Ada raut bahagia yang tak bisa ia sembunyikan saat mendengar panggilan itu.“Kalau kita selamat, aku ingin Ramadhan nanti jadi titik awal permulaan hidupku. Aku ingin memulai hidupku yang baru, bersamamu..” aku berucap setengah terbata.
“Aku ingin menikmati setiap momen di bulan Ramadhan nanti bersamamu, bersama ibu juga, kalau kita memang diberi kesempatan kedua, kesempatan untuk melanjutkan hidup. Tapi jika Tuhan menginginkan yang lain, aku tetap bahagia. Setidaknya aku mati di sampingmu. Diberi kesempatan untuk mengenalmu lebih dalam. Melihat sisi lain yang tak pernah kutemui pada dirimu sebelumnya. Dan, setidaknya aku telah melihat sosok ayah yang nyata dalam hidupku sebelum aku pergi” aku meneruskan ucapanku dalam hati. Tak terasa pipiku terasa hangat. Air mata ternyata telah membasahi. Aku pejamkan mata agar tak mengalir semakin deras. Tapi itu tak menolong.
“Kita akan selamat, Nak. Kita akan selamat.” Pendengaranku mulai tak jelas, tapi aku bisa mendengar panggilan ‘Nak’ itu. Untuk pertama kalinya aku mendengar kata itu keluar dari mulutnya. Aku tak bisa berucap apa-apa lagi. Aku tak punya energi lagi. Bibirku mengeras karena lama tak tersentuh air. Rasanya sulit untuk tersenyum. Mataku mulai layu, tapi langit malam itu tampak begitu jernih sehingga bintang-bintang terlihat sangat bercahaya. Aku menggigil kedinginan dan mulai terpejam, tapi bisa merasakan seseorang menyelimutiku dengan sebuah jaket dan mengusap kepalaku sambil berkata, “kita akan baik-baik saja. Kita akan baik-baik saja, Nak.” Malam itu, cinta, kepedulian, kehangatan dan kasih sayang mengudara. Akhirnya aku menemukannya, dan ia menemukanku, di tengah perjalanan panjang ini.
Tak disangka, keesokan harinya, setengah sadar aku mendengar suara orang ramai-ramai. Para pembuka ladang yang sedang menyusuri hutan secara tak sengaja menemukan kami siang itu.
***
“Ayah capek ngga? Kalau capek, kita istirahat saja dulu sebentar” tanyaku padanya yang sudah terlihat sangat kelelahan.
Ngga kok. Kita lanjutkan saja. Rumah teman ayah sudah dekat. Sebentar lagi kita sampai”  jawabnya hangat.
Setelah cukup jauh berjalan, akhirnya kami sampai di teras sebuah rumah kayu di atas bukit. Rumah itu adalah ujung dari perjalanan ini. Ada hawa yang begitu aneh menyeruak dalam hatiku sedari masuk pekarangan rumah itu. Tapi aku taktahu itu apa.
Lama ayah baru mengetuk pintu. Getaran tangannya mengisyaratkan sebuah keraguan yang besar. Taklama kemudian langkah seseorang terdengar dari balik pintu. Sseorang pria seumuran ayah. Ia tampak bersahaja dengan baju muslimnya, bersiap menuju mesjid untuk menunaikan salat tarawih pertama di bulan Ramadhan ini.Wajahku layu seketika berhadapan dan berbagi pandang dengan lelaki itu. Aku melihat diriku dalam dirinya. Ia seperti replika saat aku kelak dimakan usia. Belum lagi keterkejutan yang luar biasa menghampiri, seorang wanita seumuran ibuku muncul dari dari belakang punggung pria itu. “Siapa, Pak?” tanyanya lembut penuh hormat pada suaminya.
Keterkejutanku semakin menjadi-jadi, saat tatapanku jauh masuk ke dalam mata wanita itu. Kupandang lekat-lekat bola matanya. Coklat muda. Warna yang sama dengan yang kupunya. Aku hilang tenaga. Raut wajahku kini sangat kontras dengan wajah sumringah kedua orang di hadapanku yang seolah kedatangan tamu yang telah lama mereka tunggu-tunggu. Semua puzzle kini telah terkumpul, membentuk sebuah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan: Apa tujuan perjalanan panjang ini? Untuk apa aku dibawa ke tempat asing ini? Apa isi dua koper berukuran besar yang dibawa ayah? Dan mengapa ibu tak kuasa menahan kesedihan saat melepasku?
Perasaan yang bergejolak dalam dada tak lagi mampu kutahan. Air mata ternyata telah membasahi pipi. Kulayangkan pandangan ke arah ayah yang tepat berdiri di sampingku, memberi isyarat untuk meminta penjelasan. Ia tampak gugup dan berusaha mengalihkan pandangan. Sesekali ditengadahkannya wajah, menahan air mata. Kini aku sadar, apa yang menyebabkanku dan dirinya begitu berbeda dan sulit untuk bersatu. Mengapa selama ini –bahkan sampai saat usiaku menginjak dewasa- selalu ada semacam penghalang yang membuatku merasa jauh darinya. Penghalang yang aku sendiri tidak tahu itu apa.
Adzan Isya di malam pertama Ramadhan sayup-sayup sampai di telinga, menambah sendu suasana. Hatiku hancur berkeping-keping. Mengapa harus kuterima kejutan pahit ini, saat kasih sayang dan kedekatan itu sudah mulai terbangun di hatiku, pun di hatinya. Saat tembok penghalang yang kokoh itu sudah mulai berhasil kami robohkan.

Kini kutahu, mengapa tak semua pertanyaan harus menemukan jawaban.
        
         Bandung, 4 Juli 2013

*Dimuat dalam buku antologi cerpen Kejutan Sebelum Ramadhan oleh penerbit independen Nulisbuku


Bayu Permana Sukma lahir di Lubuksikaping, sebuah kota kecil di utara Sumatra Barat. Satu setengah tahun belakangan sibuk merenung di Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran, sambil sesekali mengunjungi tempat-tempat baru untuk menikmati matahari terbenam.

Sabtu, 08 Mei 2010

Makna Kelam



Aku selalu bertanya pada Ibu, apa makna kelam pada malam yang selalu tampak penuh misteri dalam diam. Tapi Ibu tak pernah menjawab, justru Ia hanya tersenyum, lantas berbalik badan dan menutup pintu kamar dan berlalu.

Aku terdiam, berusaha merenungkan makna malam dan kelamnya dalam-dalam. Aku selalu bertanya setiap malam. Setiap lampu kamar mulai Ibu buat padam. Aku selalu bertanya padanya, tiap kali selimut mulai Ia tutupkan ke seluruh badan. Namun, Ia masih tetap diam, lantas tersenyum, kemudian berbalik badan, dan menutup pintu kamarku dalam diam. Itulah yang selalu Ibu lakukan, dan begitulah setiap malam aku saksikan, dan akhirnya kembali aku bertanya, juga dalam diam.

Tapi tidak malam ini, karena Ibu kini bernyanyi. Mendendangkan lagu tentang bulan dan bintang. Tentang bulan, tentang bintang, yang tampak terang benderang di kala malam, di kala orang-orang telah membaringkan badan dengan mata terpejam. Namun aku masih bertanya-tanya dalam diam di kediaman yang dalam.

Setelah berdendang tentang bulan dan bintang itu, Ibu menyelimutiku. Aku heran, karena lampu kamar belum lagi Ia padamkan, saat berlalu dan berdiri di depan pintu. Lama Ia diam di sana, mengembangkan senyum sampai sesaat kemudian lampu kamar Ia padamkan, hingga kamar kembali kelam, kelam dengan perlahan.

Tapi di sana, di ujung kamar, aku melihat segenggam cahaya. Indah sekali, luar biasa indah. Ternyata itu sebuah lampu tidur, kawan. Lampu tidur mungil yang dulu Ibu pernah beli. Bukan main, kawan, tak kusangka benda itu akan bersinar sedemikian indahnya, justru di saat lampu kamar telah padam, di saat malam telah datang, dan di saat langit telah berubah kelam..

Tuhan ternyata mengajarkanku tentang makna kelam lewat tangan-tangan mungil itu, tangan Ibu..

Jatinangor, 7 Mei 2010

Senin, 22 Februari 2010

Senja di Sebuah Jembatan Kecil

Di atas trotoar sebuah jembatan kecil, seorang anak muda berjaket jeans lusuh tampak duduk termenung dengan sebuah tas yang cukup besar di punggungnya. Sesekali ia terbangun dari lamunannya dan mengedarkan pandangan ke segala arah seperti hendak mencari seseorang. Dan ia tampak mulai gelisah, sebelum akhirnya melihatku di kejauhan berlari dengan terengah-engah.

“Maaf membuatmu lama menunggu, Gil, Ayah baru mengizinkanku menutup warung pukul lima” ujarku dengan nafas tersengal.

“Tidak apa-apa, kawan” balasnya dengan senyum yang sangat ramah.

“Bis terakhir akan lewat pukul berapa?” Tanyaku lagi..
“Mungkin pukul setengah enam, sebentar lagi” jawabnya lagi dengan senyuman yang ramah.

“Kau benar-benar sudah yakin akan tetap berangkat sekarang? Tidak mau tunggu sampai ujian akhir dan ijazah SMA mu kau peroleh?” aku bertanya kembali dengan nada menyesal.

Ia menjawab, tapi kali ini cukup lama. “Tidak, aku sudah memikirkannya matang-matang. Bapak sudah benar-benar tak mampu membiayai sekolahku lagi. Kelima adikku sudah mulai besar-besar, dan mereka juga butuh pendidikan seperti aku dulu. Akan sangat sulit bagi seorang buruh tani untuk menyekolahkan semua anaknya sampai tamat SMA. Biarlah aku yang mengalah, karena memang harus aku yang mengalah.” ujarnya sambil menatap langit di arah matahari mulai memerah.

Anak muda itu masih saja selalu tersenyum, meskipun kerasnya hidup kerap menghancurkan kebahagiaan dan semangat masa mudanya. Berkali-kali ia sebenarnya sudah harus putus sekolah, bahkan dari SD, tapi berkali-kali pula ia masih mampu bertahan.

“Aku ingin selamanya menjadi anak kecil, Gil. Selamanya menjadi anak SD, yang sering berenang di sungai atau memanjat pohon asam di belakang sekolah. Tidak pernah memikirkan kerasnya hidup, apalagi mencoba berdamai dengannya.” ujarku dengan nada datar.

Agil hanya tersenyum. “Seandainya saja bisa..” jawabnya.
“Tapi kenyataannya inilah kita sekarang, dua orang anak muda yang sudah beranjak dewasa, kau dan aku. Tidak bisa tidak. Hidup sudah menunggu di depan sana, menunggu untuk dilawan atau diajak berdamai. Dan kali ini aku harus mengajaknya berdamai” ia meneruskan kata-katanya sambil melihat ke sungai kecil di bawah jembatan.

Agil adalah sahabatku sejak kecil. Sahabat yang selalu bersamaku mewarnai indahnya masa-masa kecil di kota kecil ini. Kami selalu satu sekolah, dari SD sampai SMA, hingga akhirnya ia harus pergi dan memilih untuk tidak menyelesaikan SMA-nya karena beban keluarga yang tidak tertanggungkan lagi. Sebulan lalu, abangnya yang sulung, yang bekerja sebagai buruh perkebunan kelapa sawit di sebuah negri yang sangat jauh dari kotaku ini mengiriminya surat. Dalam surat itu, abangnya mengajak Agil ikut bekerja di tempat ia bekerja, untuk meringankan beban bapak mereka yang sudah mulai benar-benar kesulitan menanggung beban tujuh orang dalam keluarga, terlebih karena musim kemarau berkepanjangan kerap mengacaukan masa panen sawah-sawah yang mulai menyempit di kota kecil ini. Dan waktu satu bulan sudah cukup bagi Agil untuk memikirkan matang-matang apa yang harus ia lakukan.

“Ini untukmu, Gil.” Ujarku sambil menyerahkan dua buah buku yang kubawa. Dan ia dengan senyum sumringah menerima buku itu. Buku yang satu adalah buku yang berisi kumpulan tulisan dan pemikiran Marx dan Engels, dan buku yang kedua adalah kumpulan cerpen Sobron Aidit.

Buku-buku itu kuberikan padanya karena kehidupannya nanti di negri yang jauh itu pasti akan sangat keras dan rawan mengalami penindasan. Pekerjaan sebagai buruh kasar di manapun jelas bukan pekerjaan yang menyenangkan, di belahan bumi manapun.

“Buku-buku itu kuberikan untukmu, agar kelak jika sudah berada di sana, kau tahu bila kau sedang diinjak, kau ditindas, dan hak-hakmu dirampas, sehingga kelak kau berani melawan dan berontak atas nama keadilan. Banyak orang tidak melawan bukan karena tidak berani, tapi justru karena tidak tahu bahwa mereka sedang diinjak-injak.”
Aku menghela nafas sejenak dan meneruskan kata-kataku. “Aku tak mengharapkanmu jadi pahlawan bagi orang lain, yang aku ingin kau cukup jadi pahlawan bagi dirimu sendiri.”

Agil mengangguk.

“Ingat, ‘baca dan lawan!’, jangan lari seperti Forrest Gump” kupukul bahunya pelan.

Agil mengangguk sekali lagi tanda paham.

“Oh iya ini satu lagi” aku mengeluarkan sebuah buku tentang akhlak Rasulullah dari tas kecilku. “Ini untukmu juga”
“Belajar Marxisme juga harus disertai dengan moral yang kuat, dan banyak orang justru melupakan hal itu” tambahku. “Bacalah buku-buku itu olehmu”
Agil kembali mengangguk paham sambil memasukkan buku-buku itu ke dalam tas besarnya.
Sebuah plastik berisi uang kertas dan koin berbagai pecahan yang berjumlah seratus ribu
aku masukkan paksa ke dalam tasnya. “Ini hasil kerjaku menjual cengkeh sebulan ini, jangan kau tolak, dan pergunakanlah sebaik-baiknya.” Ujarku.

Agil terdiam menahan haru, sampai sesaat kemudian suara bis kencang menderu dari kejauhan terdengar mendekat.
“Terima kasih banyak, sahabat..” ujar Agil padaku.
Aku balas menjawab, “ Berjanjilah padaku bahwa kau akan baik-baik saja, kembali ke tempat ini dan menemuiku di jembatan kecil ini. Berjanjilah padaku bahwa beratnya hidup juga tidak akan membunuh mimpimu.”

“Untuk jadi Steinbeck?” Tanyanya.

“Ya, untuk jadi Steinbeck berikutnya” jawabku.

“Memang ada saat kita harus harus berdamai dengan hidup, tapi tetap berjuang melawannya untuk menyalakan mimpi-mimpi yang kian meredup” jawab Agil sambil tersenyum.

Aku memeluk anak muda itu erat sekali. Tak terasa waktu begitu cepat mengubah kami yang rasanya baru kemarin masih bocah kini menjadi dua anak muda yang beranjak dewasa. Tak terasa pula aku mulai menitikkan air mata.

Dan bis kumal yang sudah terdengar derunya dari kejauhan tadi mulai menampakkan batang hidungnya di tikungan jalan, lima ratus meter dari jembatan, hingga akhirnya berhenti dan membawa sahabat masa kecilku itu.

Agil tersenyum dari jendela sambil melambaikan tangan tanda perpisahan. Aku balas tersenyum dan lambaikan tangan padanya sambil berusaha merekam ingatan akan perpisahan ini untuk menagih janjinya bertemu kembali di jembatan ini, meskipun kelak kami tidak muda lagi. Kami berdua telah berjanji untuk tetap bertahan hidup, sampai tiba waktu yang tak ditentukan untuk bertemu kembali di tempat ini.

Suara adzan maghrib sayup-sayup berkumandang di seluruh penjuru kota kecil ini. Tapi disini aku masih berdiri, terpaku, menatap bis yang kian lama kian menjauh itu. Bis itu bergerak cepat ke arah matahari yang kian berwarna merah dan mulai terbenam, seperti hendak menabraknya, mengantar Agil untuk menabrak hidup dan kemudian mencoba berdamai dengannya.


Jatinangor, 17 Februari 2010

untuk kakak saya, Adhi Permana Yudha, dan sahabat-sahabat masa kecil di berbagai kota..

Minggu, 15 November 2009

Monolog Seorang Tukang Nasi Goreng

Hari sudah cukup malam. Pembeli datang silih berganti, satu-satu. Satu datang, satu pergi. Lama sekali selang waktu antara yang datang dan yang pergi, hingga si tukang nasi goreng punya banyak waktu untuk bermonolog. Mulailah ia..
“Ya Tuhan..saya tidak ingat ini malam ke berapa yang saya jumpai sejak hidup di dunia ini. Yang saya tahu setiap pertemuan saya dengan malam adalah bukti kasih sayang Engkau pada hamba..”
“Ya Tuhan..saya tidak ingat berapa uang yang sudah saya peroleh sejak saya berjualan nasi goreng ini. Yang saya tahu, jika saya mencoba menghitung-hitung semua nikmat dari-Mu, maka saya tidak akan pernah dapat menghitungnya..”

***
Seorang pembeli datang, tersentak si tukang nasi goreng. Berhenti Ia bermonolog. Pembeli pergi, Ia lanjut kembali.
“Ya Tuhan..saya ini tukang nasi goreng. Tidak pernah bermimpi punya mobil dan rumah mewah dari hasil berjualan ini. Tidak pernah bermimpi menyekolahkan anak sampai perguruan tinggi. Menyekolahkan anak buat saya hanya formalitas agar kelak ia tidak gampang dibodohi..”
“Ya Tuhan..saya ini tukang nasi goreng. Hidup buat saya hanyalah untuk malam ini, dan apa yang bisa saya dan anak istri makan esok hari. Saya tidak paham apa yang diributkan petinggi-petinggi negara ini di ibukota, tidak mengerti apa itu kriminalisasi, bahkan tak tahu apa dampak korupsi..”

***
Datang lagi seorang pembeli, si tukang nasi goreng kembali tersentak. Ia berhenti lagi bermonolog. Pembeli pergi, Ia lanjut kembali.
“Ya Tuhan..saya ini tukang nasi goreng. Standar kebahagiaan buat saya tidak setinggi langit. Pertemuan dengan malam ini buat saya adalah kebahagiaan, menghabiskan waktu bersama anak dan istri dalam kesederhanaan dengan rizki yang halal adalah kebahagiaan. Kebahagiaan buat saya tidak dinilai dari seberapa besar rumah yang bisa dibangun dan seberapa banyak mobil mewah yang bisa diparkir di halamannya, tapi justru diperoleh dengan cara-cara yang mencederai hak-hak orang lain..”

***
Sudah tak ada pembeli yang datang, bahkan di jalan tak ada lagi orang yang lalu-lalang. Sepi sekali. Malam sudah sangat larut. Si tukang nasi goreng berkemas untuk pulang. Semua sudah dibereskan dan dimasukkan ke dalam gerobak. Ketika hendak mendorong gerobak, tak sengaja dilihatnya tokek sedang menangkap seekor serangga di tembok sebuah warung yang sudah tutup.
Dalam perjalanan pulang menuju rumah, bermonolog lagi Ia dalam hati.
“Ya Tuhan..pembeli malam ini memang benar-benar sepi. Tapi saya tidak khawatir..karena bukankah tidak ada makhluk yang rizkinya tidak Engkau atur, bahkan seekor binatang melata sekalipun..”

Ia tersenyum. Besok siang Ia harus kembali bangun dan mempersiapkan kembali dagangannya untuk menjalani rutinitas malam yang nyaris selalu sama..


Jatinangor, 10 November 2009